Tengku Haji Ahmad,
itulah Muslim yang mengenalkan Islam di Bangli. Bersama sahabatnya, Tengku
Umar, ia turut diangkut oleh kapal Kompeni Belanda pada 1908. Mereka yang
terangkut dalam kapal itu adalah pemberontak pada perang Aceh. Merekalah kaum
Paderi, kaum Santri yang tak rela bumi nusantara dijajah oleh siapapun.
Tapi takdir dua
sahabat ini berbeda. Tengku Haji Ahmad diturunkan oleh tentara VOC di Bali
Utara, tepatnya Buleleng. Sementara Tengku Umar diturunkan oleh tentara VOC di
Lombok Barat, tepatnya Ampenan.
Tapi takdir inilah
yang kemudian menjadi berkah tersendiri. Pasalnya, saat Tengku Haji Ahmad
berada di tanah Bali Utara ini, bertepatan saat istri komandan tangsi Belanda menderita
sakit yang kunjung pulih. Maka Tengku Haji Ahmad pun berinisiatif membantu
penyembuhannya, dan Allah pun berikan kesembuhan melaluinya. Tentu menjadi
kebahagiaan yang teramat sangat bagi jajaran tentara VOC Belanda.
Imbalannya, Tengku
Haji Ahmad mendapat izin untuk pergi keluar Buleleng menuju Karangasem (Bali Selatan).
Sebagai seorang Muslim, Tengku Haji Ahmad sungguh melestarikan tradisi
silaturrahim. Maka di sepanjang perjalanan, iapun bersilaturrahim dengan
beragam komunitas Muslim. Ada yang di desa Nyuling, desa Karang Cerme, desa
Dangin Peken, desa Karang Tohpati, desan Subagan, desa Saren Jawa dan desa
Sindu. Dari perjalanan silaturrahim inilah ia kemudian memiliki dua sahabat
dekat yang alim, yaitu guru Mustafa dan guru Sanah dari desa Subagan. Bahkan
kelak setelah ia menetap di Karangasem, iapun menjalin hubungan baik dengan
pihak istana Karangasem.
Pada tahun 1917,
Tengku Haji Ahmad pergi ke Bangli untuk mengunjungi sahabatnya sesama tawanan
Belanda dari Aceh. Namun akhirnya menetap di Bangli, sebab ia menyunting Ni
Wayan Pala yang kemudian berganti nama menjadi Aisyah. Dari pernikahan inilah, Tengku
Haji Ahmad dikaruniai seorang anak. Namun belum sempat ia melihat kelahiran
anaknya, Allah telah mengambilnya kembali ke haribaan ketika janin anaknya
berusia 3 bulan di dalam kandungan istrinya. Saat itu, 18 November 1918 M.
Sang Istri yang
ditinggalnya terus merawat janin dalam kandungannya, hingga ia lahir dan terus
bertumbuh. Aisyah sendiri wafat pada tahun 1963 M, 45 tahun setelah wafatnya
Tengku Haji Ahmad. Kelak, dari pernikahannya ini, dari Aisyah dan anaknya,
Islam semakin dikenal di Bangli.
Ada satu wasiat
yang ditinggalkan oleh Tengku Haji Ahmad kepada istrinya; yaitu menyerahkan dua
buku berbahasa Arab kepada sahabatnya di Ampenan, NTB. Tapi menurut Tengku
Nurdin yang juga disebut Wayan Badung, keturunan yang sekarang menetap di
Bangli Kota, buku yang diwasiatkan itu diminta oleh sahabatnya di desa Patemon
yang menjadi Punggawa Banjar Angkan (Klungkung).
Jakarta, 2 Maret 2016
Muhammad Irfan Abdul Aziz
SMART (Studi Masyarakat untuk Reformasi Terpadu)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar