Kamis, 03 Maret 2016

TAWANAN BELANDA DARI ACEH YANG MENGENALKAN ISLAM DI BANGLI


Tengku Haji Ahmad, itulah Muslim yang mengenalkan Islam di Bangli. Bersama sahabatnya, Tengku Umar, ia turut diangkut oleh kapal Kompeni Belanda pada 1908. Mereka yang terangkut dalam kapal itu adalah pemberontak pada perang Aceh. Merekalah kaum Paderi, kaum Santri yang tak rela bumi nusantara dijajah oleh siapapun.


Tapi takdir dua sahabat ini berbeda. Tengku Haji Ahmad diturunkan oleh tentara VOC di Bali Utara, tepatnya Buleleng. Sementara Tengku Umar diturunkan oleh tentara VOC di Lombok Barat, tepatnya Ampenan.

Tapi takdir inilah yang kemudian menjadi berkah tersendiri. Pasalnya, saat Tengku Haji Ahmad berada di tanah Bali Utara ini, bertepatan saat istri komandan tangsi Belanda menderita sakit yang kunjung pulih. Maka Tengku Haji Ahmad pun berinisiatif membantu penyembuhannya, dan Allah pun berikan kesembuhan melaluinya. Tentu menjadi kebahagiaan yang teramat sangat bagi jajaran tentara VOC Belanda.

Imbalannya, Tengku Haji Ahmad mendapat izin untuk pergi keluar Buleleng menuju Karangasem (Bali Selatan). Sebagai seorang Muslim, Tengku Haji Ahmad sungguh melestarikan tradisi silaturrahim. Maka di sepanjang perjalanan, iapun bersilaturrahim dengan beragam komunitas Muslim. Ada yang di desa Nyuling, desa Karang Cerme, desa Dangin Peken, desa Karang Tohpati, desan Subagan, desa Saren Jawa dan desa Sindu. Dari perjalanan silaturrahim inilah ia kemudian memiliki dua sahabat dekat yang alim, yaitu guru Mustafa dan guru Sanah dari desa Subagan. Bahkan kelak setelah ia menetap di Karangasem, iapun menjalin hubungan baik dengan pihak istana Karangasem.

Pada tahun 1917, Tengku Haji Ahmad pergi ke Bangli untuk mengunjungi sahabatnya sesama tawanan Belanda dari Aceh. Namun akhirnya menetap di Bangli, sebab ia menyunting Ni Wayan Pala yang kemudian berganti nama menjadi Aisyah. Dari pernikahan inilah, Tengku Haji Ahmad dikaruniai seorang anak. Namun belum sempat ia melihat kelahiran anaknya, Allah telah mengambilnya kembali ke haribaan ketika janin anaknya berusia 3 bulan di dalam kandungan istrinya. Saat itu, 18 November 1918 M.

Sang Istri yang ditinggalnya terus merawat janin dalam kandungannya, hingga ia lahir dan terus bertumbuh. Aisyah sendiri wafat pada tahun 1963 M, 45 tahun setelah wafatnya Tengku Haji Ahmad. Kelak, dari pernikahannya ini, dari Aisyah dan anaknya, Islam semakin dikenal di Bangli.

Ada satu wasiat yang ditinggalkan oleh Tengku Haji Ahmad kepada istrinya; yaitu menyerahkan dua buku berbahasa Arab kepada sahabatnya di Ampenan, NTB. Tapi menurut Tengku Nurdin yang juga disebut Wayan Badung, keturunan yang sekarang menetap di Bangli Kota, buku yang diwasiatkan itu diminta oleh sahabatnya di desa Patemon yang menjadi Punggawa Banjar Angkan (Klungkung).


Jakarta, 2 Maret 2016

Muhammad Irfan Abdul Aziz
SMART (Studi Masyarakat untuk Reformasi Terpadu)

Tidak ada komentar: