Sumber: radioaustralia.net.au |
Mari
kita simak sejenak perbincangan antara Ibrahim alaihissalam dengan Raja Namrud.
Ibrahim adalah Nabi Allah, sementara Namrud adalah Raja yang merasa memiliki
kekuasaan tak tertandingi. Demi tak ingin tunduk dalam pengagungan sang Raja,
maka berujarlah Ibrahim, “Tuhanku ialah Yang Menghidupkan dan Mematikan.”
Apa
respon Namrud? “Aku dapat menghidupkan dan mematikan,” demikian jawab
angkuhnya. Tapi Ibrahim tak berhenti, meskipun ia paham bahwa maksud Namrud
menghidupkan adalah membiarkan manusia hidup dan maksud mematikan adalah
membunuh manusia. Maka ia melanjutkan dengan nada menantang, “Sesungguhnya
Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah dia dari barat!” Dan
Namrud sang Raja angkuh itu pun terbisu.
Episode
tersebut diabadikan dalam surat al Baqarah ayat 258. Dari perbincangan itu,
kita dapat mengetahui satu hal; bahwa Namrud lupa bahwa selain bumi dan
seisinya ini, sesungguhnya ada kehidupan semesta raya di luar bumi. Ia sungguh
lupa; mungkin saja ia bisa menguasai seisi jagat bumi -meskipun sebenarnya
mustahil-, namun mungkinkah ia juga bisa menguasai jagat alam raya di luar
bumi. Ini yang ia lupa, sehingga ketika Ibrahim mengajukan fenomena matahari
yang berada di luar bumi, tetiba Namrud terdiam tiada jawab.
Inilah
nilai paradigma seorang Muslim yang beriman dengan sebenar-benar iman. Seperti
yang pernah diungkapkan oleh Sayyid Qutb, bahwa seorang Muslim berpikir secara
komprehensif mencakup semua entitas alam, bukan sebatas entitas manusia saja.
Begitulah syariat Islam; membicarakan konsep yang mengatur semua alam, bukan
sebatas pengaturan kehidupan manusia.
Dalam
pembahasan kali ini, kita akan merunut cara pandang syariat Islam. Yang sering
disalah-pahami oleh banyak manusia, ataupun sering sengaja tak mau dipahami
oleh banyak manusia lainnya.
Alam
Semesta dan Manusia
Kita
memulai cara pandang syariat Islam dengan membuat frame tentang alam semesta.
Bahwa semua alam ini merupakan ciptaan Allah. Sebagaimana yang dinyatakan dalam
surat an Nahl ayat 40, “Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila
Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya: ‘Kun (Jadilah)’, maka
jadilah ia.”
Sungguh
mudah bagi Allah menciptakan apapun. Dia-lah Yang Maha Pencipta. Bahkan dengan
segala ketelitian komponen ciptaan-Nya seperti yang digambarkan dalam surat al
Furqan ayat 2, “…Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan
ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.”
Begitulah
frame alam semesta sebagai ciptaan-Nya seluruhnya. Kini kita beralih kepada
Manusia yang merupakan penghuni unik di dalam alam semesta tersebut. Kenapa
manusia unik? Karena hanya ia yang diberikan kemampuan berpikir; menimbang dan
memutuskan.
Bila
seluruh alam semesta adalah ciptaan-Nya, maka manusia yang berada di dalam alam
semesta tersebut tentu juga merupakan ciptaan-Nya. Begitulah manusia
diciptakan-Nya; diberi kehidupan dan bentuknya menurut kehendak Allah semata.
Maka bila demikian, menjadi maklum bahkan kemestian; jika Allah yang menentukan
segala ketetapan atas wujud ciptaan-Nya, maka semestinya pula segala perjalanan
makhluk-Nya selalu dalam ketundukan pada kehendak-Nya. Yaitu kehendak yang
lahir dari Kuasa-Nya dan mewujud dalam Hukum-Nya.
Allah
azza wa jalla Pemilik Kuasa
Setelah
kita membuat frame atas alam semesta dan manusia yang berada di dalamnya, kita
telah memahami bahwa semuanya adalah ciptaan Allah subhanahu wata’ala. Dengan
demikian, kita menjadi paham bahwa Pemilik Kuasa atas alam raya dan manusia ini
hanyalah Allah subhanahu wata’ala. Jadi memang menjadi maklum; bila
Allah yang Menciptakan alam raya dan manusia, maka Allah jua yang berkuasa atas
alam raya dan manusia. Itulah kekuasaan yang mengatur kepentingan alam raya dan
kepentingan manusia.
Selanjutnya,
apa saja Kuasa Allah atas alam raya dan manusia? Yaitu tiga hal berikut:
Pertama;
Allah memiliki Kuasa Kehendak yang mengatur alam raya dan manusia.
Kedua;
Allah memiliki Kuasa Kekuatan yang menggerakkan alam raya dan manusia.
Ketiga;
Allah memiliki Kuasa Hukum yang menertibkan alam raya dan manusia.
Dengan
ketiga kuasa itulah, tampil hakikat Sunah Qouliyah (tata aturan syariat-Nya)
dan Sunah Kauniyah (tata aturan ciptaan-Nya). Keduanya menjadi selaras, sehingga
tidak saling bertentangan.
Itulah
yang dimaksud dalam surat al A’raaf ayat 54, “Sesungguhnya Tuhan kamu ialah
Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia
bersemayam di atas 'Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya
dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang
(masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan
memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.”
Maka
apa jadinya bila yang punya kuasa mencipta tak punya kuasa menata? Pun apa
jadinya bila yang punya kuasa menata tak punya kuasa mencipta? Sebab,
sesungguhnya yang berhak menata adalah yang telah mencipta, karena paham betul
seluk-beluk ciptaan yang hendak ditata. Demikianlah kearifan akal telah
memahami syariat Islam dengan sebenar dan sebijak pemahaman.
Bijak
dan Benar dalam Memahami Syariat Islam
Kita
telah menelusuri pemahaman akan syariat Islam dengan membuat frame hakikat alam
raya dan manusia yang merupakan ciptaan Allah. Lalu kita telah lanjutkan
konsekuensi Kuasa Mencipta alam raya dan manusia ini dengan tiga kuasa
turunannya; yaitu Kuasa Kehendak, Kuasa Kekuatan, dan Kuasa Hukum. Jadi hanya
Allah yang punya kuasa berkehendak, hanya Allah yang punya kekuatan, dan hanya
Allah yang kuasa menetapkan hukum.
Nah,
setelah kita melakukan perunutan tersebut, sampailah kita pada pemahaman akan
alasan dalam mengikuti Syariat Islam yaitu Syariat Allah. Bahwasannya alasan
kita untuk tunduk pada Syariat Islam ada 3 hal sebagaimana yang pernah
dirincikan oleh Sayyid Qutb:
Pertama;
Kita perlu merealisasikan keharmonisan antara kehidupan manusia dan pergerakan
alam yang menjadi tempat hidup manusia. Dan yang bisa mengharmonisasikan itu
adalah Syariat Islam, itulah Syariat Allah yang telah kuasa menciptakan manusia
dan kuasa mengatur pergerakan alam raya.
Demikianlah Syariat Islam sangat arif menata hubungan manusia dengan alam raya.
Kedua;
Kita perlu merealisasikan keserasian antara hukum yang mengatur fitrah
tersembunyi manusia dan hukum yang mengatur kehidupan mereka secara kasat mata.
Dan yang bisa menserasikan itu adalah Syariat Islam, itulah Syariat Allah yang
telah kuasa mengetahui detail fitrah manusia dan detail pola kehidupan manusia
sehingga kuasa pula menetapkan hukum yang mengatur seluruh detail-detail
tersebut. Demikianlah Syariat Islam sangat arif menata hubungan manusia dengan
sesama manusia.
Ketiga;
Kita perlu merealisasikan keharmonisan antara kepribadian manusia yang
tersembunyi dan kepribadian yang tampak. Dan yang bisa mengharmonisasikan itu
adalah Syariat Islam, itulah Syariat Allah yang telah kuasa mengetahui perasaan
batin manusia dan perlakuan lahir manusia sehingga kuasa menetapkan yang harus
dilakukan dan yang harus ditinggalkan oleh seorang diri manusia. Demikianlah
Syariat Islam sangat arif mengelola setiap jiwa dan raga manusia.
Dengan
tiga alasan perlunya kita tunduk pada Syariat Islam tersebut, maka menjadi
jelaslah bagi kita kebutuhan sesungguhnya pada Syariat Islam (Syariat Allah).
Yang disimpulkan oleh Sayyid Qutb dalam 2 poin kebutuhan berikut:
Pertama;
karena manusia tidak mampu memahami semua aktivitas alam, maka manusia tidak
akan mampu menetapkan undang-undang yang menyeimbangkan antara kehidupan
manusia dan pergerakan alam.
Kedua;
karena manusia tidak mampu mengetahui hukum bagi fitrah yang tersembunyi, maka
manusia tidak akan mampu menetapkan undang-undang yang menyeimbangkan antara
kehidupan fitrah dan kehidupan nyata.
Dengan
demikian, mengamalkan syariat Allah sesungguhnya untuk merealisasikan
keteraturan. Sehingga, mengamalkan syariat Allah sesungguhnya tidak sekadar
kewajiban menancapkan Islam secara keyakinan. Lebih jauh lagi, untuk memberikan
keteraturan dalam kehidupan semesta maupun kehidupan setiap pribadi.
Maka
sebuah komunitas yang tunduk kepada Syariat akan terhindar dari kerusakan alam.
Begitupun seorang individu yang tunduk kepada Syariat akan terhindar dari
kerusakan jiwa. Sebaliknya, bila ada alam yang rusak maka kemungkinan komunitas
di sekitarnya tidak tunduk pada Syariat, dan bila ada jiwa yang rusak maka
kemungkinan individu tersebut tidak tunduk pada Syariat.
Akhirnya
kita paham akan manfaat Syariat Islam. Pertama; dengan Syariat Islam maka kehidupan
akan terjaga dari kehancuran, karena aktivitas manusia selaras dengan aktivitas
alam semesta dan orientasi manusia sesuai dengan orientasi alam semesta. Inilah
kunci kedamaian bersama. Kedua; dengan Syariat Islam maka manusia akan hidup
dalam suasana damai bersama jiwa mereka, karena aktivitas manusia sesuai dengan
intuisi yang benar. Inilah kunci kedamaian jiwa.
Itulah
dua manfaat Syariat Islam; menghadirkan Kedamaian Bersama dan menghadirkan
Kedamaian Jiwa.
Penentang
Syariat Islam
Syariat
Islam adalah Syariat yang berasal dari Allah. Ialah Syariat Allah, yang
memiliki dua pilar sebagaimana dua kalimat Syahadat. Pilar pertama adalah Tiada
Tuhan selain Allah, yang melahirkan prinsip tauhid dalam keyakinan dan
perundang-undangan. Pilar kedua adalah Muhammad adalah Rasulullah, yang
melahirkan prinsip teladan dalam beribadah dan bermuamalah.
Syariat
yang memang berasal dari Sang Pencipta yang memahami betul ciptaan-Nya inilah
yang sesungguhnya merupakan cara pandang yang arif dan bijak dalam menjalani
kehidupan. Maka kepentingan Syariat bukan semata pada beragama, melain lebih
dari itu kepentingannya adalah kebaikan seluruh alam termasuk manusia yang
menjadi penghuninya. Lalu, kenapa masih ada yang menentang Syariat Islam?
Ketahuilah,
bahwa yang menentang Syariat Islam sesungguhnya adalah hawa nafsu manusia.
Sebab bila Syariat itu menyelamatkan kehidupan, maka hawa nafsu itu
menghancurkan kehidupan. Dengannya, yang menteng Syariat Islam adalah lawan
darinya yaitu hawa nafsu. Inilah yang dijelaskan oleh Allah subhanahu
wata’ala dalam surat al Mu’minun ayat 71, “Andaikata kebenaran itu
menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang
ada di dalamnya…”
Maka
cobalah cermati seluruh konflik dalam kehidupan ini, baik dalam pribadi maupun
dalam interaksi. Dalam pribadi, sesungguhnya konflik internal antara manusia
dan fitrahnya terjadi ketika manusia melanggar kebenaran nuraninya. Begitupun
dalam interaksi, sesungguhnya sumber energi dan kekayaan alam yang semestinya
menjadi motif persaudaraan dan sarana kemakmuran, berubah menjadi motif
pertikaian dan sarana kehancuran.
Epilog
Jadi,
bersyariat itu sesungguhnya merupakan tuntutan alam semesta. Sebab, target
nyata dari penegakan syariat Allah di bumi bukan semata berorientasi pada
akhirat. Sebagaimana yang diyakini, bahwa kehidupan dunia dan kehidupan akhirat
merupakan dua fase hidup yang saling melengkapi. Dan syariat Allah yang
menyelaraskan antara kedua fase tersebut.
Sungguh,
Syariat Islam bukanlah untuk kepentingan langit, melainkan juga untuk
kepentingan. Sehingga kesesuaian dengan syariat Allah tidak berarti
menangguhkan kebahagiaan manusia di kehidupan akhirat, melainkan justru
mendorong kebahagiaan manusia menjadi tampak nyata dan dapat diraih pada fase
kehidupan dunia yang kemudian mencapai puncak kesempurnaannya pada kehidupan
akhirat.
Demikianlah
ummat Islam memandang kehidupan ini dan Syariat-Nya. Maka menerapkan syariat
Islam adalah menerapkan keberlangsungan kehidupan.
من كتاب معالم في الطريق لسيد قطب
Baca juga:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar