Selasa, 22 Maret 2016

BERSYARIAT ITU TUNTUTAN ALAM SEMESTA

Sumber: radioaustralia.net.au

Mari kita simak sejenak perbincangan antara Ibrahim alaihissalam dengan Raja Namrud. Ibrahim adalah Nabi Allah, sementara Namrud adalah Raja yang merasa memiliki kekuasaan tak tertandingi. Demi tak ingin tunduk dalam pengagungan sang Raja, maka berujarlah Ibrahim, “Tuhanku ialah Yang Menghidupkan dan Mematikan.”


Apa respon Namrud? “Aku dapat menghidupkan dan mematikan,” demikian jawab angkuhnya. Tapi Ibrahim tak berhenti, meskipun ia paham bahwa maksud Namrud menghidupkan adalah membiarkan manusia hidup dan maksud mematikan adalah membunuh manusia. Maka ia melanjutkan dengan nada menantang, “Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah dia dari barat!” Dan Namrud sang Raja angkuh itu pun terbisu.

Episode tersebut diabadikan dalam surat al Baqarah ayat 258. Dari perbincangan itu, kita dapat mengetahui satu hal; bahwa Namrud lupa bahwa selain bumi dan seisinya ini, sesungguhnya ada kehidupan semesta raya di luar bumi. Ia sungguh lupa; mungkin saja ia bisa menguasai seisi jagat bumi -meskipun sebenarnya mustahil-, namun mungkinkah ia juga bisa menguasai jagat alam raya di luar bumi. Ini yang ia lupa, sehingga ketika Ibrahim mengajukan fenomena matahari yang berada di luar bumi, tetiba Namrud terdiam tiada jawab.

Inilah nilai paradigma seorang Muslim yang beriman dengan sebenar-benar iman. Seperti yang pernah diungkapkan oleh Sayyid Qutb, bahwa seorang Muslim berpikir secara komprehensif mencakup semua entitas alam, bukan sebatas entitas manusia saja. Begitulah syariat Islam; membicarakan konsep yang mengatur semua alam, bukan sebatas pengaturan kehidupan manusia.

Dalam pembahasan kali ini, kita akan merunut cara pandang syariat Islam. Yang sering disalah-pahami oleh banyak manusia, ataupun sering sengaja tak mau dipahami oleh banyak manusia lainnya.

Alam Semesta dan Manusia

Kita memulai cara pandang syariat Islam dengan membuat frame tentang alam semesta. Bahwa semua alam ini merupakan ciptaan Allah. Sebagaimana yang dinyatakan dalam surat an Nahl ayat 40, “Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya: ‘Kun (Jadilah)’, maka jadilah ia.”

Sungguh mudah bagi Allah menciptakan apapun. Dia-lah Yang Maha Pencipta. Bahkan dengan segala ketelitian komponen ciptaan-Nya seperti yang digambarkan dalam surat al Furqan ayat 2, “…Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.”

Begitulah frame alam semesta sebagai ciptaan-Nya seluruhnya. Kini kita beralih kepada Manusia yang merupakan penghuni unik di dalam alam semesta tersebut. Kenapa manusia unik? Karena hanya ia yang diberikan kemampuan berpikir; menimbang dan memutuskan.

Bila seluruh alam semesta adalah ciptaan-Nya, maka manusia yang berada di dalam alam semesta tersebut tentu juga merupakan ciptaan-Nya. Begitulah manusia diciptakan-Nya; diberi kehidupan dan bentuknya menurut kehendak Allah semata. Maka bila demikian, menjadi maklum bahkan kemestian; jika Allah yang menentukan segala ketetapan atas wujud ciptaan-Nya, maka semestinya pula segala perjalanan makhluk-Nya selalu dalam ketundukan pada kehendak-Nya. Yaitu kehendak yang lahir dari Kuasa-Nya dan mewujud dalam Hukum-Nya.

Allah azza wa jalla Pemilik Kuasa

Setelah kita membuat frame atas alam semesta dan manusia yang berada di dalamnya, kita telah memahami bahwa semuanya adalah ciptaan Allah subhanahu wata’ala. Dengan demikian, kita menjadi paham bahwa Pemilik Kuasa atas alam raya dan manusia ini hanyalah Allah subhanahu wata’ala. Jadi memang menjadi maklum; bila Allah yang Menciptakan alam raya dan manusia, maka Allah jua yang berkuasa atas alam raya dan manusia. Itulah kekuasaan yang mengatur kepentingan alam raya dan kepentingan manusia.

Selanjutnya, apa saja Kuasa Allah atas alam raya dan manusia? Yaitu tiga hal berikut:
Pertama; Allah memiliki Kuasa Kehendak yang mengatur alam raya dan manusia.
Kedua; Allah memiliki Kuasa Kekuatan yang menggerakkan alam raya dan manusia.
Ketiga; Allah memiliki Kuasa Hukum yang menertibkan alam raya dan manusia.

Dengan ketiga kuasa itulah, tampil hakikat Sunah Qouliyah (tata aturan syariat-Nya) dan Sunah Kauniyah (tata aturan ciptaan-Nya). Keduanya menjadi selaras, sehingga tidak saling bertentangan.

Itulah yang dimaksud dalam surat al A’raaf ayat 54, “Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas 'Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.

Maka apa jadinya bila yang punya kuasa mencipta tak punya kuasa menata? Pun apa jadinya bila yang punya kuasa menata tak punya kuasa mencipta? Sebab, sesungguhnya yang berhak menata adalah yang telah mencipta, karena paham betul seluk-beluk ciptaan yang hendak ditata. Demikianlah kearifan akal telah memahami syariat Islam dengan sebenar dan sebijak pemahaman.

Bijak dan Benar dalam Memahami Syariat Islam

Kita telah menelusuri pemahaman akan syariat Islam dengan membuat frame hakikat alam raya dan manusia yang merupakan ciptaan Allah. Lalu kita telah lanjutkan konsekuensi Kuasa Mencipta alam raya dan manusia ini dengan tiga kuasa turunannya; yaitu Kuasa Kehendak, Kuasa Kekuatan, dan Kuasa Hukum. Jadi hanya Allah yang punya kuasa berkehendak, hanya Allah yang punya kekuatan, dan hanya Allah yang kuasa menetapkan hukum.

Nah, setelah kita melakukan perunutan tersebut, sampailah kita pada pemahaman akan alasan dalam mengikuti Syariat Islam yaitu Syariat Allah. Bahwasannya alasan kita untuk tunduk pada Syariat Islam ada 3 hal sebagaimana yang pernah dirincikan oleh Sayyid Qutb:

Pertama; Kita perlu merealisasikan keharmonisan antara kehidupan manusia dan pergerakan alam yang menjadi tempat hidup manusia. Dan yang bisa mengharmonisasikan itu adalah Syariat Islam, itulah Syariat Allah yang telah kuasa menciptakan manusia dan kuasa mengatur pergerakan  alam raya. Demikianlah Syariat Islam sangat arif menata hubungan manusia dengan alam raya.

Kedua; Kita perlu merealisasikan keserasian antara hukum yang mengatur fitrah tersembunyi manusia dan hukum yang mengatur kehidupan mereka secara kasat mata. Dan yang bisa menserasikan itu adalah Syariat Islam, itulah Syariat Allah yang telah kuasa mengetahui detail fitrah manusia dan detail pola kehidupan manusia sehingga kuasa pula menetapkan hukum yang mengatur seluruh detail-detail tersebut. Demikianlah Syariat Islam sangat arif menata hubungan manusia dengan sesama manusia.

Ketiga; Kita perlu merealisasikan keharmonisan antara kepribadian manusia yang tersembunyi dan kepribadian yang tampak. Dan yang bisa mengharmonisasikan itu adalah Syariat Islam, itulah Syariat Allah yang telah kuasa mengetahui perasaan batin manusia dan perlakuan lahir manusia sehingga kuasa menetapkan yang harus dilakukan dan yang harus ditinggalkan oleh seorang diri manusia. Demikianlah Syariat Islam sangat arif mengelola setiap jiwa dan raga manusia.

Dengan tiga alasan perlunya kita tunduk pada Syariat Islam tersebut, maka menjadi jelaslah bagi kita kebutuhan sesungguhnya pada Syariat Islam (Syariat Allah). Yang disimpulkan oleh Sayyid Qutb dalam 2 poin kebutuhan berikut:

Pertama; karena manusia tidak mampu memahami semua aktivitas alam, maka manusia tidak akan mampu menetapkan undang-undang yang menyeimbangkan antara kehidupan manusia dan pergerakan alam.

Kedua; karena manusia tidak mampu mengetahui hukum bagi fitrah yang tersembunyi, maka manusia tidak akan mampu menetapkan undang-undang yang menyeimbangkan antara kehidupan fitrah dan kehidupan nyata.

Dengan demikian, mengamalkan syariat Allah sesungguhnya untuk merealisasikan keteraturan. Sehingga, mengamalkan syariat Allah sesungguhnya tidak sekadar kewajiban menancapkan Islam secara keyakinan. Lebih jauh lagi, untuk memberikan keteraturan dalam kehidupan semesta maupun kehidupan setiap pribadi.

Maka sebuah komunitas yang tunduk kepada Syariat akan terhindar dari kerusakan alam. Begitupun seorang individu yang tunduk kepada Syariat akan terhindar dari kerusakan jiwa. Sebaliknya, bila ada alam yang rusak maka kemungkinan komunitas di sekitarnya tidak tunduk pada Syariat, dan bila ada jiwa yang rusak maka kemungkinan individu tersebut tidak tunduk pada Syariat.

Akhirnya kita paham akan manfaat Syariat Islam. Pertama; dengan Syariat Islam maka kehidupan akan terjaga dari kehancuran, karena aktivitas manusia selaras dengan aktivitas alam semesta dan orientasi manusia sesuai dengan orientasi alam semesta. Inilah kunci kedamaian bersama. Kedua; dengan Syariat Islam maka manusia akan hidup dalam suasana damai bersama jiwa mereka, karena aktivitas manusia sesuai dengan intuisi yang benar. Inilah kunci kedamaian jiwa.

Itulah dua manfaat Syariat Islam; menghadirkan Kedamaian Bersama dan menghadirkan Kedamaian Jiwa.

Penentang Syariat Islam

Syariat Islam adalah Syariat yang berasal dari Allah. Ialah Syariat Allah, yang memiliki dua pilar sebagaimana dua kalimat Syahadat. Pilar pertama adalah Tiada Tuhan selain Allah, yang melahirkan prinsip tauhid dalam keyakinan dan perundang-undangan. Pilar kedua adalah Muhammad adalah Rasulullah, yang melahirkan prinsip teladan dalam beribadah dan bermuamalah.

Syariat yang memang berasal dari Sang Pencipta yang memahami betul ciptaan-Nya inilah yang sesungguhnya merupakan cara pandang yang arif dan bijak dalam menjalani kehidupan. Maka kepentingan Syariat bukan semata pada beragama, melain lebih dari itu kepentingannya adalah kebaikan seluruh alam termasuk manusia yang menjadi penghuninya. Lalu, kenapa masih ada yang menentang Syariat Islam?

Ketahuilah, bahwa yang menentang Syariat Islam sesungguhnya adalah hawa nafsu manusia. Sebab bila Syariat itu menyelamatkan kehidupan, maka hawa nafsu itu menghancurkan kehidupan. Dengannya, yang menteng Syariat Islam adalah lawan darinya yaitu hawa nafsu. Inilah yang dijelaskan oleh Allah subhanahu wata’ala dalam surat al Mu’minun ayat 71, “Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya…

Maka cobalah cermati seluruh konflik dalam kehidupan ini, baik dalam pribadi maupun dalam interaksi. Dalam pribadi, sesungguhnya konflik internal antara manusia dan fitrahnya terjadi ketika manusia melanggar kebenaran nuraninya. Begitupun dalam interaksi, sesungguhnya sumber energi dan kekayaan alam yang semestinya menjadi motif persaudaraan dan sarana kemakmuran, berubah menjadi motif pertikaian dan sarana kehancuran.

Epilog

Jadi, bersyariat itu sesungguhnya merupakan tuntutan alam semesta. Sebab, target nyata dari penegakan syariat Allah di bumi bukan semata berorientasi pada akhirat. Sebagaimana yang diyakini, bahwa kehidupan dunia dan kehidupan akhirat merupakan dua fase hidup yang saling melengkapi. Dan syariat Allah yang menyelaraskan antara kedua fase tersebut.

Sungguh, Syariat Islam bukanlah untuk kepentingan langit, melainkan juga untuk kepentingan. Sehingga kesesuaian dengan syariat Allah tidak berarti menangguhkan kebahagiaan manusia di kehidupan akhirat, melainkan justru mendorong kebahagiaan manusia menjadi tampak nyata dan dapat diraih pada fase kehidupan dunia yang kemudian mencapai puncak kesempurnaannya pada kehidupan akhirat.

Demikianlah ummat Islam memandang kehidupan ini dan Syariat-Nya. Maka menerapkan syariat Islam adalah menerapkan keberlangsungan kehidupan.



من كتاب معالم في الطريق لسيد قطب

Baca juga:

Tidak ada komentar: