Rabu, 23 Maret 2016

[Pelajaran IV] SATU ORANG DI ANTARA SATU UMAT


“Bertakwalah kepada Allah atas apa yang engkau tulis!” pesan Shalahuddin al Ayyubi kepada al Qadhil Fadhil, menjelang ia lanjutkan penulisan sejarah masa kepemimpinan Shalahuddin. Lalu Shalahuddin al Ayyubi melanjutkan, “Jangan jadikan aku satu-satunya sumber dari kisah ini. Aku hanyalah satu orang di antara satu umat.”


Qadhi Baha’uddin atau yang dikenal dengan Ibnu Syidad sempat mengungkapkan kesannya akan sosok Shalahuddin al Ayyubi. Menurutnya, Shalahuddin adalah sosok yang memiliki aqidah yang bagus dan banyak berzikir kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Begitulah Shalahuddin al Ayyubi, ia telah mempelajari aqidah dari para ulama berdasarkan dalil dalam al Qur’an dan as Sunnah. Di antara gurunya adalah Syeikh Imam Quthubuddin an Naisaburi yang merangkumkan pelajaran aqidah baginya. Maka kata Ibnu Syidad, aqidah yang ia yakini bebas dari kekeruhan Tasybih (penyerupaan), serta tidak mengarah pada Ta’thil (penafian) dan Tamwih (pembelokan arti).

Shalahuddin al Ayyubi memang sosok yang sangat memperhatikan perkara aqidah. Bahkan kesungguhan Shalahuddin dalam belajar aqidah tidak berhenti pada dirinya sendiri, melainkan ia juga mengajarkan kepada anak-anaknya sejak kecil. Maka tak heran bila tampil dari pribadinya sosok yang penuh optimisme dan jauh dari kelemahan jiwa, tersebab pemahaman aqidah yang baik. Baginya, cukuplah kemuliaan bila tersambung kepada-Nya semata. Meski tiada hiruk-pikuk tepuk tangan.

Sementara al Qadhil Fadhil juga merupakan sosok yang sungguh bertakwa. Ketakwaan itulah yang melahirkan jiwa jujur dan bertanggungjawab dalam diri al Qadhil Fadhil. Maka ia pernah tinggal di Mesir untuk mengontrol administrasi keuangan dengan modal jiwa kejujurannya dan menyiapkan pasukan dengan modal jiwa tanggungjawabnya. Ia selalu menemani Shalahuddin pada seluruh jihad-Nya, kecuali sekali izin dari medan jihad di Harim tahun 573 H (1177 M) karena pergi Haji. Bukankah itu cukup membuktikannya sebagai insan bertakwa?

Inilah dua sosok yang sungguh memelihara ketakwaannya. Lalu kenapa Shalahuddin masih berpesan kepada al Qadhil Fadhil, agar bertakwa kepada Allah subhanahu wata’ala.

Namun demikianlah wasiat takwa, ia memang tradisi orang beriman. Kapanpun dan di manapun, hendaknya kita terus mendawamkan wasiat takwa. Sebab iman bertambah dan berkurang, sebab ajal tak pasti kapan menjelang; sedang husnul khatimah dapat diperjuangkan dengan adanya wasiat takwa yang terus-menerus.

Bertakwa atas apakah yang diwasiatkan Shalahuddin al Ayyubi kepada al Qadhil Fadhil? Yaitu atas yang ia tuliskan. Bahwa seorang penulis, hendaknya memperhatikan betul kebaikan dan kelayakan tulisannya, hendaknya pula memperhatikan kevalidan dan kesolidan tulisannya.

Maka, bilapun ada dari episode Shalahuddin yang baik, tidak serta-merta dituliskan kecuali bila memang episode itu layak bagi khalayak. Maka tidak cukup pula validnya sumber tulisan, melainkan juga hendaknya sumber tulisan itu solid.

Inilah yang kemudian dipesankan oleh Shalahuddin al Ayyubi, “Jangan jadikan aku satu-satunya sumber dari kisah ini. Aku hanyalah satu orang di antara satu umat.” Maksudnya adalah sumber yang akan dikumpulkan oleh al Qadhil Fadhil tidak saja valid langsung dari Shalahuddin al Ayyubi, melainkan juga solid karena menyertakan sumber-sumber selain Shalahuddin al Ayyubi.

Tapi, jauh di belakang pesan tersurat ini, ada pelajaran tersirat dari sosok Shalahuddin al Ayyubi. Yaitu, Aku hanyalah satu orang di antara satu umat.”

Inilah esensi pribadi bertakwa. Karena sungguh-sungguh mengimani Allah dengan segala kuasa Sang Pencipta, maka ia letakkan semua selain-Nya adalah makhluk yang sama. Demikianlah pribadi bertakwa melahirkan jiwa yang tawadhu’, sebab ia memandang bahwa dirinya hanyalah bagian kecil dari makhluk Allah. Bahkan bila makhluk yang dimaksud adalah manusia atau sekelompok umat saja, maka individunya tetaplah hanya bagian kecil darinya.

Maka sebagai bagian kecil, perannya mungkin saja bisa dikatakan signifikan’ namun sesungguhnya sama sekali tak menggenapi. Sebab yang dapat menggenapi hanyalah Allah, dan yang menutupi kekurangan-kekurangannya adalah banyak dari individu-individu di sekitarnya.

Dan sesungguhnya pernyataan seperti inilah yang dapat membentuk sebuah umat. Sebab satu umat adalah bangunan yang terdiri dari orang per-orang. Maka bila satu orang cenderung berdiri sendiri, niscaya satu umat tak akan terbentuk. Bilapun seakan ada satu umat, maka adanya hanyalah lebel tanpa fisik yang sesungguhnya. Sebab satu umat hanya menjadi lebel bagi satu orang, dan bukannya merupakan bangunan fisik satu umat tersebut.

Sungguh, kita hanyalah satu orang dari satu umat. Sadarilah!



Rabu, 23 Maret 2016
Muhammad Irfan Abdul Aziz


Tidak ada komentar: