“Bertakwalah
kepada Allah atas apa yang engkau tulis!” pesan Shalahuddin al Ayyubi kepada al
Qadhil Fadhil, menjelang ia lanjutkan penulisan sejarah masa kepemimpinan
Shalahuddin. Lalu Shalahuddin al Ayyubi
melanjutkan, “Jangan jadikan aku satu-satunya sumber dari kisah ini. Aku hanyalah satu orang di antara satu umat.”
Qadhi
Baha’uddin atau yang dikenal dengan Ibnu Syidad sempat mengungkapkan kesannya
akan sosok Shalahuddin al Ayyubi. Menurutnya, Shalahuddin adalah sosok yang memiliki
aqidah yang bagus dan banyak berzikir kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Begitulah
Shalahuddin al Ayyubi, ia telah mempelajari aqidah dari para ulama berdasarkan
dalil dalam al Qur’an dan as Sunnah. Di antara gurunya adalah Syeikh Imam
Quthubuddin an Naisaburi yang merangkumkan pelajaran aqidah baginya. Maka kata
Ibnu Syidad, aqidah yang ia yakini bebas dari kekeruhan Tasybih
(penyerupaan), serta tidak mengarah pada Ta’thil (penafian) dan Tamwih
(pembelokan arti).
Shalahuddin
al Ayyubi memang sosok yang sangat memperhatikan perkara aqidah. Bahkan kesungguhan
Shalahuddin dalam belajar aqidah tidak berhenti pada dirinya sendiri, melainkan
ia juga mengajarkan kepada anak-anaknya sejak kecil. Maka tak heran bila tampil
dari pribadinya sosok yang penuh optimisme dan jauh dari kelemahan jiwa,
tersebab pemahaman aqidah yang baik. Baginya, cukuplah kemuliaan bila tersambung
kepada-Nya semata. Meski tiada hiruk-pikuk tepuk tangan.
Sementara al
Qadhil Fadhil juga merupakan sosok yang sungguh bertakwa. Ketakwaan itulah yang
melahirkan jiwa jujur dan bertanggungjawab dalam diri al Qadhil Fadhil. Maka ia
pernah tinggal di Mesir untuk mengontrol administrasi keuangan dengan modal jiwa
kejujurannya dan menyiapkan pasukan dengan modal jiwa tanggungjawabnya. Ia
selalu menemani Shalahuddin pada seluruh jihad-Nya, kecuali sekali izin dari
medan jihad di Harim tahun 573 H (1177 M) karena pergi Haji. Bukankah itu cukup
membuktikannya sebagai insan bertakwa?
Inilah dua sosok yang sungguh
memelihara ketakwaannya. Lalu kenapa Shalahuddin masih berpesan kepada al
Qadhil Fadhil, agar bertakwa kepada Allah subhanahu wata’ala.
Namun demikianlah wasiat takwa, ia memang tradisi orang beriman.
Kapanpun dan di manapun, hendaknya kita terus mendawamkan wasiat takwa. Sebab
iman bertambah dan berkurang, sebab ajal tak pasti kapan menjelang; sedang husnul
khatimah dapat diperjuangkan dengan adanya wasiat takwa yang terus-menerus.
Bertakwa atas apakah yang
diwasiatkan Shalahuddin al Ayyubi kepada al Qadhil Fadhil? Yaitu atas yang ia
tuliskan. Bahwa seorang penulis, hendaknya memperhatikan betul kebaikan dan
kelayakan tulisannya, hendaknya pula memperhatikan kevalidan dan kesolidan
tulisannya.
Maka,
bilapun ada dari episode Shalahuddin yang baik, tidak serta-merta dituliskan
kecuali bila memang episode itu layak bagi khalayak. Maka tidak cukup pula
validnya sumber tulisan, melainkan juga hendaknya sumber tulisan itu solid.
Inilah yang
kemudian dipesankan oleh Shalahuddin al Ayyubi, “Jangan jadikan aku
satu-satunya sumber dari kisah ini. Aku hanyalah
satu orang di antara satu umat.” Maksudnya adalah sumber yang akan dikumpulkan
oleh al Qadhil Fadhil tidak saja valid langsung dari Shalahuddin al Ayyubi,
melainkan juga solid karena menyertakan sumber-sumber selain Shalahuddin al
Ayyubi.
Tapi, jauh
di belakang pesan tersurat ini, ada pelajaran tersirat dari sosok Shalahuddin
al Ayyubi. Yaitu, “Aku hanyalah
satu orang di antara satu umat.”
Inilah
esensi pribadi bertakwa. Karena sungguh-sungguh mengimani Allah dengan segala
kuasa Sang Pencipta, maka ia letakkan semua selain-Nya adalah makhluk yang
sama. Demikianlah pribadi bertakwa melahirkan jiwa yang tawadhu’, sebab ia
memandang bahwa dirinya hanyalah bagian kecil dari makhluk Allah. Bahkan bila
makhluk yang dimaksud adalah manusia atau sekelompok umat saja, maka
individunya tetaplah hanya bagian kecil darinya.
Maka sebagai
bagian kecil, perannya mungkin saja bisa dikatakan ‘signifikan’ namun sesungguhnya sama sekali tak
menggenapi. Sebab yang dapat menggenapi hanyalah Allah, dan yang menutupi
kekurangan-kekurangannya adalah banyak dari individu-individu di sekitarnya.
Dan
sesungguhnya pernyataan seperti inilah yang dapat membentuk sebuah umat. Sebab satu
umat adalah bangunan yang terdiri dari orang per-orang. Maka bila satu orang
cenderung berdiri sendiri, niscaya satu umat tak akan terbentuk. Bilapun seakan
ada satu umat, maka adanya hanyalah lebel tanpa fisik yang sesungguhnya. Sebab
satu umat hanya menjadi lebel bagi satu orang, dan bukannya merupakan bangunan
fisik satu umat tersebut.
Sungguh, kita hanyalah satu orang
dari satu umat. Sadarilah!
Rabu, 23
Maret 2016
Muhammad
Irfan Abdul Aziz
Tidak ada komentar:
Posting Komentar