“Jika
kita harus menulis sejarah, wahai al Qadhil Fadhil. Jangan menulis yang tidak
kita lihat. Kita bertanggungjawab atas tulisan itu.” Demikian pesan Shalahuddin
Al Ayyubi kepada al Qadhil Fadhil yang akan menuliskan sejarah kepemimpinannya.
Sekilas
pesan itu sederhana dan apa adanya. Memang sewajarnyalah tidak menuliskan yang
tak dilihat. Memang sepantasnyalah tidak menuliskan yang tak diketahui. Sebab
tulisan bagian dari ucapan, yang harus dipertanggungjawaban kebenarannya.
Namun
pesan itu menjadi istimewa, saat keluar dari lisan Shalahuddin Al Ayyubi kepada
al Qadhil Fadhil. Shalahuddin Al Ayyubi adalah Sultan, sementara al Qadhil
Fadhil adalah Juru Tulis-nya yang kredibel. Masih perlukah pesan itu?
Shalahuddin
Al Ayyubi memanglah sosok pemimpin yang mungkin asing bagi zaman kita hari ini.
Sekarang dalam dunia ‘pencitraan’, para pemimpin justru meminta-minta
dituliskan biografinya. Namun Shalahuddin Al Ayyubi, saat Juru Tulis-nya hendak
menuliskan perjalanan kepemimpinannya, justru enggan meresponnya. Bahkan ketika
akhirnya ia respon, maka pesan ‘wanti-wanti’ itulah yang ia sampaikan pertama.
Sungguh
pesan itu penegasan bagi al Qadhil Fadhil, bukan sebagai kesangsian Shalahuddin
al Ayyubi pada al Qadhil Fadhil. Sebab al Qadhil Fadhil bukanlah orang yang tak
dikenal, melainkan Juru Tulis yang telah mendampinginya sepanjang kepemimpinan.
Sementara para pemimpin saat ini, selain mencari sembarang Juru Tulis, pun
luput mengingatkan untuk tak menulis yang tak diketahui. Bahkan, ianya sendiri
yang ingin dituliskan dengan sesuatu yang tak sebenarnya.
Al
Qadhil Fadhil adalah orang dekatnya Shalahuddin al Ayyubi. Penasehat sekaligus Juru
Tulis-nya; sudah lama bersamanya. Namun Shalahuddin masih merasa perlu untuk
mengingatkannya agar tidak menuliskan sesuatu yang tak ada pada diri
Shalahuddin Al Ayyubi. Mungkin sosok seperti inilah yang dijelaskan oleh Ibnu
Katsir ketika menafsirkan ayat ke-54 dari surat al Baqarah, “Beberapa sifat orang-orang beriman yang
sempurna yaitu hendaklah salah seorang dari mereka bersikap rendah hati kepada
saudara dan orang dekatnya, namun terlihat gagah di hadapan lawannya.”
Shalahuddin
Al Ayyubi memang Sultan yang gagah di medan perang, melawan segala lawan bagi
agama dan ummat ini. Namun, rupanya ia adalah sosok yang rendah hati kepada saudara
dan orang dekatnya, termasuk kepada al Qadhil Fadhil yang telah membersamainya
sepanjang perjalanan kepemimpinannya.
Itulah
di antara keteladanan Shalahuddin Al Ayyubi. Sebagaimana menurut kitab Sirah An Nashir Sholahuddin, disebutkan
bahwa salah satu karakter Shalahuddin adalah menjaga muru’ah; yaitu menjaga akhlak yang mulia, adab yang baik dan sifat
ksatria yang sempurna.
Kata
Ibnul Qayyim, bahwa hakekat muru’ah
adalah menghindari berbagai ucapan, perbuatan dan akhlak rendah yang tak
pantas. Lalu beliau memberikan salah satu contohnya yaitu muru’ah lidah; berupa manisnya, baiknya, dan halusnya kata-kata
serta dapat dipetik buahnya dengan gampang dan mudah.
Maka
mencukupkan menulis yang dilihat dan diketahui adalah bagian muru’ah tersebut. Sehingga Shalahuddin
Al Ayyubi tak ingin terjatuh pada ketidak-pantasan dituliskan yang tak ada padanya.
Ada
satu episode dalam kehidupan Shalahuddin Al Ayyubi yang perlu kita seksamai
saat ini, yaitu ketika beliau menulis surat kepada Al ‘Adil sebagai wakilnya di
Mesir. Saat itu beliau harus berkirim pesan surat, sebab kondisi Mesir sedang
bergejolak dengan provokasi fanatisme antar kelompok. Di ujung suratnya itu
beliau mengguratkan penanya, “Hendaklah
seorang hamba menyadari, bahwa dia menulis sebuah surat kepada Tuhan-nya, maka
hendaklah ia memikirkan tentang apa yang dia tulis dan kepada siapa ia menulis.”
Itulah sepenuh kesadaran Shalahuddin Al
Ayyubi sebagai makhluk-Nya. Bahwa surat yang beliau tulis, semata-mata
merupakan pengabdian kepada Rabb semesta, bukan sekadar hubungan sesama maupun
hubungan pemimpin dengan wakilnya. Karenanya, pertanggungjawaban ada kepada
Allah subhanahu wata’ala.
Maka, jangan menulis
yang tidak kita lihat! Begitu nasehat Shalahuddin Al Ayyubi untuk Al Qadhil
Fadhil, juga dapat pula bagi kita semua. Sosok pemimpin bersahaja itu, tak mau
larut dengan tipu daya publisitas. Apapun bentuknya, bahkan di saat ia telah tuntas
memimpin dan layak mendapat aneka pujian. Begitulah Shalahuddin Al Ayyubi.[]
Rabu, 9 Maret 2016
Muhammad Irfan Abdul Aziz
Tidak ada komentar:
Posting Komentar