Agama Tauhid adalah agama yang hakikatnya sederhana, sehingga ummatnya
hendaklah merupakan ummat yang sederhana dalam menjalani kehidupan ini; konsen
pada efektivitas dan efisiensi. Namun, kenapa ummat Islam saat ini terasa pelik
dengan beragam permasalahan? Di antara sebabnya adalah karena hilangnya
konsentrasi ummat ini terhadap perkara efektivitas dan efisiensi dalam menjalani
kehidupannya. Padahal konsep dan sistem Islam yang telah dituntunkan oleh Allah
melalui Rasul-Nya telah menetapkan panduan tata kelola kehidupan yang efektif
dan efisien.
Sederhananya seperti prinsip ibadah dan prinsip muamalah. Bahwa semua
peribadatan adalah haram, kecuali ada dalil yang memerintahkannya. Dengan
demikian, menjadi sederhanalah peribadatan kita, jangan melakukan kecuali yang
diperintahkan. Begitupun bahwa semua interaksi kehidupan adalah boleh, kecuali
ada dalil yang mengharamkannya. Dengan demikian, menjadi sederhanalah interaksi
kehidupan kita, silakan bereksperimen apapun dan berhentilah bila telah
dilarangkan.
Terkait hal ini, maka sesungguhnya pangkal persoalan ummat Islam bila kita
rincikan dapat dikerucutkan pada tujuh permasalahan. Berikut inilah tujuh titik
permasalahan ummat yang hendaknya kita konsen memenuhi solusi padanya.
Pertama adalah Fardhu Kifayah
Ini adalah titik kewajiban bersama dalam sebuah komunitas ataupun
teritorial, maupun ummat secara keseluruhan. Fardhu Kifayah adalah
kewajiban yang bila telah ada penunainya maka gugur kewajibannya. Namun bila
belum ada yang menunaikannya, kewajiban itu tetap menjadi beban bagi semua
individu sampai ada yang menunaikannya.
Maka langkah untuk menunaikan kewajiban ini ada dua; Ada yang berinisiatif
menunaikannya atau Dirancang bersama untuk mendelegasikan seorang yang akan
menunaikannya. Dua-duanya memiliki kekhasan kendalanya masing-masing. Kendala
inisiatif muncul bila merebaknya nilai-nilai egoisme dalam tataran sosial.
Sementara kendala merancang bersama muncul bila kondisi kepemimpinan ummat
tidak teratur.
Dalam nuansa yang diliputi jiwa-jiwa egoisme serta kepemimpinan ummat yang
tak teratur, maka ummat akhirnya melalaikan Fardhu Kifayah ini. Dan
inilah persoalannya. Sebab bila Fardhu Kifayah tidak terpenuhi, maka
kehidupan ummat ini tidak sempurna. Lubang-lubang itulah yang pada akhirnya
melemahkan ummat.
Tentu di era sekarang, kita perlu memberikan perhatian pada titik
permasalahan ini. Sebab era modern ini telah melahirkan sekian banyak jiwa-jiwa
individualis dan juga pola kepemimpinan yang tidak teratur. Semua merancang
cita-citanya masing-masing, semua bergerak sekehendak hatinya sendiri-sendiri.
Kedua adalah Fardhu ’Ain
Ini adalah titik kewajiban setiap individu. Fardhu ’Ain adalah
kewajiban bagi individu yang harus ditunaikan oleh setiap individu semampu
mungkin. Maka tidak ada pilihan untuk menunaikan kewajiban ini kecuali setiap
kitalah yang menunaikannya. Toleransinya hanya pada kadar penunaiannya, namun
bukan pada meninggalkan penunaiannya.
Sayangnya, saat ini banyak individu ummat yang mengabaikan Fardhu ’Ain
ini. Dan inilah persoalannya. Sebab bila Fardhu ’Ain tidak terpenuhi,
maka kehidupan ummat menjadi sangat tidak teratur. Semakin banyak yang tidak
menunaikan kewajibannya masing-masing, maka semakin banyak yang akan juga menjadi
malas-malasan menunaikan kewajibannya. Hingga akhirnya akan semakin banyak pula
yang saling menunjuk, saling mengandalkan dan saling menyalahkan.
Apa di antara kewajiban individu yang sering diabaikan? Yaitu amar
ma’ruf nahi munkar, mengoptimalkan kebaikan dan meminimalisir keburukan.
Hampir-hampir fungsi seorang Muslim untuk mengoptimalkan kebaikan hilang, sebab
banyak dari mereka yang justru meninggalkan kebaikan. Begitupun hampir-hampir
fungsi seorang Muslim untuk meminimalisir keburukan hilang, sebab banyak dari
mereka yang justru melakukan keburukan.
Padahal bila fungsi ini diperankan dengan baik oleh setiap muslim, dengan
semampunya sekalipun, akan banyak permasalahan-permasalahan ummat yang bisa
diselesaikan bahkan diantisipasi.
Ketiga adalah Amal Rukun Islam
Selain titik permasalahan pada Fardhu Kifayah maupun Fardhu ’Ain
tersebut, titik lainnya adalah pada pengamalan Rukun Islam. Berapa banyak
individu ummat ini yang telah timpang dalam pengamalan Rukun Islam?
Berapa banyak yang bersyahadat namun tidak shalat? Berapa banyak yang
shalat namun enggan membayar zakat? Berapa banyak yang berpuasa Ramadhan namun
sehari-harinya tidak shalat? Berapa banyak yang pergi haji bahkan
berulang-ulang, padahal zakat tak tertunaikan, bahkan puasa dan shalatnya
bolong-bolong?
Sungguh titik permasalahan ini tidak bisa dibiarkan timpang begitu saja.
Sebab sebagaimana namanya adalah Rukun, maka inilah yang sesungguhnya menyangga
bangunan Islam. Namun bila timpang rukun (penyangga)nya, maka bangunan Islam
pun tak akan kokoh. Bila bangunannya tak kokoh, maka dapat dibayangkan begitu
gaduh dan paniknya ummat yang menghuni di dalamnya.
Inilah titik permasalahan yang solusinya cuma satu; tunaikan semua rukun
Islam yang lima itu dengan seimbang sebagaimana tuntunannya.
Keempat adalah Amal Sunah
Bila tiga titik sebelumnya terkait kewajiban-kewajiban, baik yang berupa
kewajiban bersama, kewajiban individu, hingga kewajiban yang lebih individu
lagi karena bagian dari Rukun Islam, maka kini kita masuk pada titik
permasalahan yang keempat. Yaitu titik amalan Sunah.
Titik inilah yang telah membuat kehidupan ummat tidak teratur, karena tidak
efektif dan efisien. Di mana
saat ummat lebih mementingkan amalan Sunah daripada amalan Wajib. Lalu
kelelahan dengan amalan Sunah, hingga tak mampu lagi menunaikan amalan Wajib.
Bahkan begitu disiplin dengan amalan Sunah, namun menunda-nunda amalan Wajib.
Padahal dalam manajemen modern, kitapun mengenal Primer dan Sekunder. Mana
yang harus dilakukan dahulu, dan mana yang dilakukan menyusul nan dahulu.
Kegamangan ummat dalam menimbang yang Wajib dan yang Sunah inilah, yang telah
membuat ummat ini terus menambah permasalahannya; karena tidak memahami
prioritas, karena kewajiban tak kunjung terselesaikan sementara energi telah
terkuras untuk amalan sunah yang berlebihan.
Solusinya sederhana, yang wajib tidak lebih banyak dari yang sunah, maka
selesaikan yang wajib segera mungkin. Yang sunah pun tuntunannya sederhana,
maka tidak perlu berimprovisasi yang semakin mempersulit amalan sunah.
Kelima adalah Fardhiyah
Bila titik-titik sebelumnya terkait amalan, maka titik kelima ini adalah
terkait pelaksanaan amalan; yaitu permasalahan Fardhiyah (Individual).
Bahwa pelaksanaan amalan secara individual telah berlangsung secara
berlebih-lebihan. Sehingga hanya meningkatkan kualitas hubungan dengan Khaliq,
namun menurunkan kualitas hubungan dengan makhluq. Maka, tidak heran bila
kehidupan ummat menjadi bermasalah. Sebab intensitas sosialnya bermasalah,
sedangkan ummat adalah komunitas sosial.
Sebagian kita bermasyuk dengan wirid-wiridnya, bahkan semakin ekstrim
mengunci diri dalam mihrab peribadatannya. Maka tak ada lagi tradisi amal
berjamaah. Maka tak ada lagi musyawarah guna memecahkan masalah. Maka yang
tumbuh hanya ego diri masing-masing.
Mencari aman dan mencari selamat; itulah yang mungkin melandasi semua
sikapnya. Sehingga solusinya adalah mencukupkan ibadah-ibadah fardhiyah
saat kita memang sedang sendiri. Sementara bila tiba saatnya kehidupan bergerak
menginteraksikan setiap diri kita, maka saatnya ibadah kita masuk pada tataran
berjamaah hingga menjadi rahmat bagi sekitar.
Keenam adalah Furu’
Titik keenam ini terkait dengan interaksi sosial. Bahwa permasalahan ummat
ini salah satu pemicunya adalah pada titik ini; yaitu persoalan Furu’
(Cabang). Ketika hal-hal yang notabenenya sebagai cabang -sehingga memiliki
banyak pendapat- lebih dianggap penting daripada hal-hal yang ushul
(pokok), atau ketika hal-hal cabang ini dipertentangkan dengan hal-hal yang
pokok. Padahal kedua hal ini tidak selaras, dan merupakan dua hal yang sesungguhnya
berbeda.
Kita bisa mendapati bagaimana hiruk-pikuk dengan ragam atribut, namun tak
kunjung menyelesaikan permasalahan ummat dengan sepenuh hikmat. Kita dapati
bagaimana ributnya terkait sarana-sarana, sementara lupa dengan tujuannya. Kita
juga dapati bagaimana mati-matiannya membela wacana dan pendapat, namun tidak
juga tertarik mendalami al Qur’an dan Hadits.
Persoalan inilah yang akhirnya mengaburkan fokus ummat, dan ketidak-fokusan
ummat telah menghantarkannya pada beragam permasalahan. Maka solusinya
sederhana, kembalikan fokus ummat pada perkara-perkara pokok. Dan bilapun kita
punya konsen pada perkara-perkara cabang, maka jangan sampai menghilangkan
substansi pokoknya.
Dengan demikian, kita akan lebih mudah disatukan dan lebih mudah meredam
konflik. Bersatu dan terhindar dari konflik adalah kunci efektif dan efisien
menyelesaikan beragam masalah.
Ketujuh adalah An Nahiy
Titik terakhir ini juga terkait interaksi sosial kita. Yaitu perkara An
Nahiy (melarang, menghilangkan, dan sebagainya). Kita memang diperintahkan amar
ma’ruf nahi munkar (mengoptimalkan kebaikan dan menimilasir keburukan).
Tapi perintah terhadap dua hal ini sedikit berbeda karakternya. Bila pada
perintah amar ma’ruf, kita melaksanakan semampu mungkin. Sementara pada
perintah nahi munkar, kita harus melaksanakannya.
Sebab meninggalkan kemunkaran adalah keharusan, sedangkan melaksanakan
kebaikan adalah seruan. Maka meninggalkan kemunkaran didahulukan dari
melaksanakan kebaikan. Karena kemunkaran memiliki dampak sosial yang lebih
daripada dampak sosial dari kebaikan.
Secara kecenderungan pribadi pun kita lebih banyak yang mudah tergerak
melarang daripada memerintah. Banyak pula dari kita yang lebih mudah merespon kemunkaran
daripada menginspirasi kebaikan. Maka persoalan ‘melarang’ ini menjadi titik penting juga
dalam peta permasalahan ummat.
Solusinya adalah memahami peta perkara yang perlu dilarang. Bahwa yang
dilarang itu memiliki tingkatan; Haram, Syubhat, dan Makruh. Haram itu artinya hal
yang dilarang. Syubhat itu artinya hal yang diragukan. Makruh itu artinya hal
yang dibenci.
Maka menghilangkan yang Haram lebih didahulukan dari yang Syubhat,
sementara meninggalkan yang Syubhat lebih didahulukan dari yang Makruh. Dengan
demikian, akan efektif dan efisien usaha kita dalam meminimalisir kemunkaran.
Setiap langkah meminimalisir kemunkaran adalah mengurangi kemunkaran itu, dan
bukannya mengembang-biakkan kemunkaran serupa ataupun mengganti dengan
kemunkaran yang lebih besar.
Memahami peta permasalahan ini yang akan membuat langkah-langkah kita
bijak. Maka permasalahan ummat akan semakin minim, kian langkah ke langkah.
Bukan justru sebaliknya.
Pasar Rebo, 8 Maret 2016
Muhammad Irfan Abdul Aziz
#GenerasiFokus1437H
Baca juga:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar