sumber: remaspegayaman |
Masuknya
Islam di Buleleng merupakan berkah tidak langsung kekalahan Blambangan dari serangan
pasukan Truna Goak yang dipimpin oleh I Gusti Ngurah Panji pada tahun 1587.
Kekalahannya tragis, karena Santa Guna sebagai Raja Blambangan meskipun sudah
turun tahta dan mengindari kecamuk dengan bersemedi akhirnya mati ditikam
dengan Ki Semang, yaitu kerisnya I Gusti Ngurah Panji. Tetapi duka tak hanya
menjadi milik Blambangan, melainkan juga milik Mataram di Jawa. Sebab Santa
Guna adalah Senapati Mataram untuk wilayah Blambangan.
Begitulah
pertumbuhan I Gusti Ngurah Panji yang semakin mengkhawatirkan wilayah-wilayah
Mataram. I Gusti Ngurah Panji sendiri adalah anak dari Dalem Sagening, salah
satu trah kerajaan Klungkung, yang ditugaskan oleh ayahnya untuk memerintah di
Bali utara sejak 1568 sampai 1647 M. Menurut Babad tahun 1587, pasukan Truna
Goak sendiri telah dibentuk tiga tahun sebelum penaklukan, yaitu tahun 1584.
Dengan basis di desa Panji, awalnya ia hanyalah pasukan pengamanan. Namun terus
berkembang, perekrutan demi perekrutan dilakukan seirama dengan tradisi seni
permainan burung gagak-gagakan yang disebut ‘magoak-goakan’, maka pasukan ini
dalam waktu singkat dapat mengumpulkan personil hingga 2000 orang.
Kembali
kepada kekalahan Santa Guna selaku Senapati Mataram, akhirnya membuat Raja
Mataram perlu memikirkan hubungan damai dan persahabatan dengan I Gusti Ngurah
Panji. Dalem Solo, demikian sebutan bagi Raja Mataram, kemudian memberikan
hadiah berupa Gajah Airawana. Di sinilah sejarah menjadi berkah bagi pengenalan
Islam di Buleleng.
Pasalnya,
Gajah Airawana itu kemudian diantarkan oleh tiga orang penggembala yang
notabenenya adalah Muslim. Yang setelah tiba di Buleleng dan diterima oleh I
Gusti Ngurah Panji, maka gajah beserta ketiga penggembalanya yang muslim ini
mendapat sambutan hangat bahkan disediakan tempat khusus.
Di
sebelah utara istana dibuatkan kandang bagi gajah tersebut yang kemudian
disebut Banjar Petak (desa kandang). Sementara dua orang penggembala dipersilakan
menetap di sebelah utaranya Banjar Petak, yang setelah berkembang warganya
akhirnya disebut Banjar Jawa. Adapun satu orang lagi penggembalanya
dipersilakan menetap di Lingga yang dekat dengan muara sungai Mala, karena
asalnya dari Prabu Lingga atau Probolinggo.
Ada
satu tempat yang juga khusus, yaitu Banjar Peguyangan. Banjar ini terletak di
antara Banjar Petak dan Banjar Jawa. Disebut Peguyangan sebagaimana artinya
yang berasal dari istilah Ngguyang atau memandikan binatang. Jadi Banjar
Peguyangan ini adalah tempat mandi gajah pemberian itu.
Demikianlah
pertumbuhan kaum Muslimin di Buleleng. Hingga terus berkembang, dan sebagiannya
diperintahkan oleh Raja untuk membuka hutan di desa Pegatepan sekaligus untuk
menjaga keamanan di daerah pegunungan. Desa Pegatepan inilah yang kini dikenal
dengan Desa Pegayaman.
Jakarta, 11 Maret 2016
Muhammad Irfan Abdul Aziz
SMART (Studi Masyarakat untuk Reformasi Terpadu)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar