Jumat, 25 Maret 2016

(Kajian Hadits) BEGINILAH SEHARUSNYA KITA HIDUP BERSOSIAL


عَنْ أَبِي نَجِيْحٍ الْعِرْبَاضِ بْنِ سَاريةَ رَضي الله عنه قَالَ: وَعَظَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ الله عليه وسلم مَوْعِظَةً وَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوْبُ، وَذَرِفَتْ مِنْهَا الْعُيُوْنُ، فَقُلْنَا: "يَا رَسُوْلَ اللهِ، كَأَنَّهَا مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ، فَأَوْصِنَا." قَالَ: "أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ، فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلاَفاً كًثِيْراً. فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ، فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ."

Dari Abu Najih Al Irbadh bin Sariah radhiyallahu ‘anhu dia berkata: Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam memberikan kami nasehat yang membuat hati kami bergetar dan air mata kami bercucuran. Maka kami berkata: “Ya Rasulullah, seakan-akan ini merupakan nasehat perpisahan, maka berilah kami wasiat.” Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Aku wasiatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah ta’ala, dengar dan taat kepada pemimpin kalian meskipun yang memimpin kalian adalah seorang budak. Karena di antara kalian yang hidup (setelah ini) akan menyaksikan banyaknya perselisihan. Hendaklah kalian berpegang teguh terhadap ajaranku dan ajaran Khulafaurrasyidin yang mendapatkan petunjuk, gigitlah (genggamlah dengan kuat) dengan geraham. Hendaklah kalian menghindari perkara yang diada-adakan, karena semua perkara bid’ah adalah sesat.”

Hadits ini terdapat dalam Sunan Abu Dawud dan Sunan at Tirmidzi. Pada Sunan Abu Dawud, ia diletakkan pada kitab Sunah di bab Melazimkan Sunah. Sementara pada Sunan At Tirmidzi, ia diletakkan pada kitab Ilmu di bab Mengambil Sunah dan Meninggalkan Bid’ah. Imam at Tirmidzi sendiri menilai hadits ini berderajat Hasan Shahih.

Periwayatnya adalah Abu Najih, yaitu panggilan atau kuniyah-nya Al Irbadh bin Sariah. Ia adalah sahabat dari kalangan Muhajirin, yang pasca Hijrah ke Madinah turut menjadi Ahlus Suffah yaitu kaum muhajirin yang berkediaman tepat di samping Masjid Nabawi yang juga baru dibangun. Kelak ia mendapat tugas dari Khalifah untuk berjihad di Syam dan akhirnya menetap di sana. Hingga meninggal pada tahun 75 H di kota Hims, Suriah. Itulah kota yang sempat menjadi kuburan massal pembantaian masyarakat yang dilakukan oleh Hafidz Assad, ayahnya Basyar Assad.

Al Irbadh bin Sariah mencatat hadits ini setelah Shalat Shubuh, sebagaimana yang dinyatakan Imam Ahmad. Saat itu para sahabat sedang berkumpul dengan Rasulullah, yang kemudian tergetar hati dan bercucur air mata para sahabat yang ada di situ karena menyimak wejangan dari Rasulullah. “Ya Rasulullah, seakan-akan ini merupakan nasehat perpisahan, maka berilah kami wasiat,” demikian kata sahabat.

Nasehat perpisahan. Nasehatnya begitu penting, dan seakan suara Rasul penuh cinta bagaikan jelang perpisahan. Syahdu keharuan seketika merasuk seluruh kalbu para sahabat. Maka sahabatpun segera menyambut di ujungnya, “Berilah kami wasiat!

Sementara kita cukupkan pendahuluannya. Baiknya kita masuk pada sesuatu yang mungkin dapat kita dalami dari hadits ini. Sebagaimana judul tulisan ini yaitu ‘Beginilah Seharusnya Kita Hidup Bersosial’, maka kira-kira kita dapat memetakan poin-poin dari hadits ini sebagai berikut.

Tahapan Pertama: Membangun Kepribadian Individu

Sebelum kita hidup bersosial, hendaknya kita telah usai dalam membangun kepribadian diri. Dan contoh kepribadian terbaik yang pernah dimiliki kehidupan ini adalah kepribadian Rasulullah beserta para sahabatnya. Maka dari hadits inilah kita dapat meneladani kepribadian sahabat yang diwakili dengan ungkapan, “Nasehat yang membuat hati kami bergetar dan air mata kami bercucuran.”

Itulah kira-kira gambaran jiwa dalam kepribadian para sahabat; Bergetar hatinya dan Bercucur Air matanya. Sesungguhnya inilah karakter orang beriman dan bertakwa sebagaimana yang diungkap dalam surat al Anfaal ayat 2, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Rabb-lah mereka bertawakkal.

Jadi pada tahapan pertama ini, yang perlu kita pastikan dalam proses membangun kepribadian setiap diri kita adalah sensitivitas hati dan mata. Apakah hati kita bergetar dan air mata kita bercucur saat menyimak sebuah nasehat? Atau justru tiada getar di hati sedikitpun dan tiada cucur air mata setetespun saat diri ini menyimak nasehat? Utamanya pada nasehat-nasehat Takwa dan Keimanan. Mungkinkah saat itu hati kita sudah mengeras, sehingga tiada satupun nasehat yang dapat menembusnya dan bermanfaat baginya.

Sungguh, saat kepribadian kita telah memiliki sensitivitas hati dan mata, maka saat itulah kita telah tampil dengan pribadi yang siap hidup bersosial. Sebab hanya dengan pribadi-pribadi seperti inilah kehidupan sosial akan terangkai dengan harmoni dan jauh dari saling menikami.

Tahapan Kedua: Memulai dan Menjalani Kehidupan Sosial

Setelah kita siap dengan kepribadian yang matang dalam tahapan pertama, maka kita dapat memulai dan menjalani kehidupan sosial dalam tahapan kedua. Dan pelajaran dari hadits ini terkait tahapan kedua adalah ujung respon para sahabat, “Berilah kami wasiat!

Inilah kunci sejati dalam memulai dan menjalani kehidupan sosial yang baik. Meminta nasehat adalah tradisi positif dalam bermasyarakat. Ialah yang dapat mempererat kehidupan yang harmoni.

Maka sebaliknya, kehidupan sosial sangat potensi berkecamuk bila tradisi ‘meminta nasehat’ ini telah hilang, lebih-lebih bila setiap diri tak lagi mau menerima nasehat. Maka siapa yang bisa menegakkan keadilan di tengah masyarakat angkuh seperti itu, yang tidak hanya enggan meminta nasehat namun juga tak berkenan menerima nasehat. Maka semua akan mengaku sebagai yang ‘benar’, dan tak satupun yang siap ‘bertanggungjawab’.

Oleh karenanya, tumbuhkan tradisi meminta nasehat. Sebab dengan tumbuhnya tradisi ini, masing-masing kita akan tampil sebagai individu yang juga siap menerima nasehat. Bagaimana tidak siap? Bila sebelum diberi nasehat, ia telah memintanya terlebih dahulu. Di tahapan kedua ini; mulailah hidup bersosial dengan cara meminta nasehat dari orang lain dan teruslah menjalani kehidupan sosial dengan terus meminta nasehat dari orang lain. Maka semua orang akan menaruh penghargaan pada pribadi semacam itu, maka kehidupan sosial akan berjalan dengan sepenuh rasa saling menghormati. Bahkan, keburukan dalam hidup bersosial akan semakin tiada, sebab setiap diri punya tradisi introspeksi yang baik dengan cara ‘meminta nasehat’.

Tahapan Ketiga: Mengokohkan Bangunan Sosial

Demikianlah kunci kepribadian yang matang dengan indikator sensitivitas hati pada kebenaran. Demikian pula kunci kehidupan sosial yang matang dengan indikator sensitivitas akan kesalahan dan ketidak-pantasan diri dengan cara selalu meminta nasehat. Maka pada tahapan ketiga ini kita dapat melanjutkan dengan proses mengokohkan bangunan sosial.

Jadi, setelah kehidupan sosial dimulai dan dijalani, maka secara perlahan kita perlu mengokohkannya. Apa yang bisa mengokohkan bangunan sosial? Yaitu seperti wasiat Rasulullah dalam hadits ini, “Aku wasiatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah ta’ala, dengar dan taat kepada pemimpin kalian meskipun yang memimpin kalian adalah seorang budak.

Inilah kunci mengokohkan bangunan sosial, yaitu mengokohkan kepemimpinan sosial. Karena sosial adalah kehidupan banyak orang, maka perlu ada kepemimpinan yang menata dan mengharmonikan kehidupan orang banyak tersebut. Nah, kunci kokohnya kepemimpinan adalah Ketakwaan kepada Allah. Karena ketakwaan akan menghadirkan cita rasa Mendengar dan Ketaatan yang baik.

Di sinilah bedanya orang bertakwa dan yang tiada bertakwa. Bagi orang bertakwa, mereka betul-betul menjaga janji dalam Ketaatan. Sementara bagi orang yang tiada bertakwa, mereka sungguh mudah mengingkari janji sehingga hidup penuh Pengkhianatan.

Demikianlah, bila kita telah memulai dan menjalani kehidupan sosial, maka kokohkan kehidupan sosial kita dengan Ketakwaan yang akan melahirkan sifat Mendengar dan Taat kepada pemimpin. Siapapun pemimpin tersebut, meskipun ia mungkin dipandang bukan dari kalangan terhormat.

Tahapan Keempat: Menyikapi Keberagaman Sosial

Tahapan keempat inilah yang terakhir. Setelah kita membangun kepribadian yang siap bersosial, lalu kita memulai hingga terus menjalani kehidupan sosial, akhirnya kita sampai pada tahapan mengokohkan kehidupan sosial. Pertanyaannya, setelah kehidupan sosial itu kokoh apakah tidak mungkin runtuh kembali?

Kemungkinan itulah yang selalu ada. Sebab, seberapa kokohnya, tetap saja memiliki kemungkinan runtuh. Tetapi sebagaimana kemungkinan-kemungkinan pada umumnya, yang perlu kita lakukan untuk menghadapi kemungkinan adalah sikap antisipasi. Inilah tahapan keempat kita dalam hidup bersosial.

Yaitu menyikapi keberagaman sosial. Karena kemungkinan runtuhnya kehidupan sosial itu ada pada intensitas keberagaman sosial. Semakin beragam kehidupan sosial, maka semakin mungkin terpecah belah hingga runtuh. Inilah pelajaran terakhir yang kita dapati dari nasehat Rasulullah dalam hadits ini, “Karena di antara kalian yang hidup (setelah ini) akan menyaksikan banyaknya perselisihan. Hendaklah kalian berpegang teguh terhadap ajaranku dan ajaran Khulafaurrasyidin yang mendapatkan petunjuk, gigitlah (genggamlah dengan kuat) dengan geraham. Hendaklah kalian menghindari perkara yang diada-adakan, karena semua perkara bid’ah adalah sesat.

Petuah Rasulullah itu telah memaparkan cara kita menyikapi keberagaman sosial; itulah berpegang teguh terhadap ajaran Rasulullah dan ajaran Khulafaurrasyidin yang mendapatkan petunjuk. Sebab Rasulullah sebagai tauladan seluruh alam, hendaknya pula menjadi pemimpin kita semua. Meskipun Rasulullah telah wafat, namun kepemimpinan beliau dalam hal wasiat-wasiat Sunah beserta panduan al Qur’an hendaknya tetap ditaati. Begitupun Khulafaurrasyidin yaitu empat Khalifah pertama; Abu Bakar, Umar bin Khathab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Sebab keempat kepemimpinan inilah yang masih teguh memegang petunjuk dari Rasulullah, dan keempatnya adalah sahabat Rasulullah yang terbaik.

Secara lebih implementatif lagi adalah dengan cara menghindari perkara-perkara beragama yang diada-adakan. Sebab perkara agama ini akan melahirkan keyakinan, sehingga bila muncul perkara-perkara agama yang baru akan berdampak melahirkan banyak keyakinan-keyakinan baru. Menyatukan keyakinan inilah yang tidak mudah. Maka cukupkan keyakinan ini sesuai yang diajarkan Rasulullah, sehingga mudah bagi kita menyatukan keyakinan yang mulanya memang sederhana ini.

Semoga dengan komitmen pada keteladanan Rasulullah dan Khulafaurrasyidin, kita akan dapat menyederhanakan keberagaman sosial. Dengan demikian potensi perpecahan tidak semakin besar, dan kehidupan sosial tetap akan kokoh.


Depok, 25 Maret 2016

Tidak ada komentar: