Rabu, 30 Maret 2016

[Pelajaran V] ENGKAU TIDAK TAHU APA-APA TENTANG MASALAH INI


Tahun itu 532 H atau bertepatan dengan 1137 M. Dalam benteng Tikrit yang berada di utara negeri Syam tepatnya tepi sungai Tigris, Najmuddin Ayyub yang akan memiliki anak berjuluk Shalahuddin al Ayyubi berkata lirih, “Kita harus meninggalkan benteng ini sebelum fajar esok hari.”


“Kita pemilik benteng ini. Kenapa kita harus patuh pada perintah Bahrus? Dia tiada lain adalah budak,” sahut Asaduddin Syirkuh cepat. Suaranya meninggi.

“Sebelum budak itu menjadi Raja dan Menteri di Baghdad,” sergah Najmuddin Ayyub kemudian. “Bagaimanapun benteng ini telah menjadi miliknya.”

“Benteng ini warisan ayah kita. Syadzi.” Asaduddin tetap tak mau mendengar sang kakak. Ia tetap yakin berada di pihak yang benar, dan sedang dizalimi. Maka melawan adalah pilihan yang paling bijak, demikian menurutnya saat itu.

“Engkau tidak tahu apa-apa tentang masalah ini. Bahrus memberi kita benteng ini, sudah haknya dia mengambilnya kembali.” Najmuddin Ayyub membentak sang adik.

“Tetapi kita memiliki senjata.”

Maksudmu, kita akan melawannya dengan pedang? Kemudian membuat Bahrus marah kepada kita?”

Bahrus belum tentu melakukan itu.”

“Bagaimanapun Engkau tak boleh membunuhnya.” Putus Najmuddin Ayyub.

Asaduddin lalu berargumen, “Jika ia menantangku dan aku tidak menjawab tantangannya, maka wibawa hukum di sini akan hilang.”

“Aku pemimpin benteng ini! Aku masih menjadi pemimpin hingga detik ini.” Tak kalah Najmuddin meninggikan suaranya mempertegas. “Aku telah menduga ini akan terjadi,” ujarnya kemudian.

Tapi Asaduddin Syirkuh masih saja bersikeras. Bahkan sejak beberapa tahun lalu,” balasnya. Membunuhnya tidak menyebabkan kita diusir. Kau tahu itu.”

“Tidak ada gunanya bicara saat ini. Semuanya telah berakhir. Surat menteri itu resmi.” Najmuddin Ayyub hendak mengakhiri pembicaraan.

Jika kita tidak meninggalkan benteng ini besok pagi,” lanjutnya. Kita akan diusir. Apakah kita akan menang melawan pasukan Bahrus dan Amirul Mukminin?”

Sekarang, kita segera berangkat ke Baghdad.” Putus Najmuddin Ayyub. Ia memilih Baghdad karena letak Baghdad lebih dekat daripada Mosul. Namun dalam kitab Shalahuddin al Ayyubi wa Juhuduhu fil Qadha’ ala ad Daulah al Fathimiyah wa Tahriri Baitil Maqdis karya Prof. Dr. Ali Muhammad ash Shalabi dijelaskan bahwa mereka hijrah ke Mosul.

Pasukan Bahrus sudah siaga di luar benteng,” sambung Najmuddin lagi. Kita tak punya kesempatan lagi. Perintahkan laki-laki, para wanita, para pengikut dan para pelayan untuk bersiap-siap pergi ketika matahari terbenam hari ini.”

Asaduddin Syirkuh merasa heran dengan instruksi Najmuddin Ayyub, Kenapa kita pergi malam hari?”

“Mati lebih ringan bagiku daripada aku terlihat siang hari oleh banyak orang,” jawab Najmuddin lugas. “Kondisi kita sudah berbeda. Allah mengetahui bahwa aku sangat mencintai tempat ini.”

Itulah obrolan kakak-beradik pada detik-detik akhir keluarnya keluarga Ayyub dari benteng Tikrit yang telah mereka huni sejak mendiang ayah mereka Syadzi masih memimpin. Setelah wafatnya sang ayah Syadzi, Muhammad Malik Syah selaku Sultan Saljuk pun menunjuk Najmuddin Ayyub sebagai Kepala Administrasi di Benteng Tikrit. Pengabdian Najmuddin sungguh totalitas, hingga kemakmuran mengisi kehidupan di Benteng tersebut, bahkan pemasukan kas Benteng setiap tahunnya dapat mencapai 900 dinar. Nominal yang cukup besar di masanya. Maka, wajar bila ia berat meninggalkan Benteng yang telah ia makmurkan itu. Setidaknya, berat bagi kehormatannya untuk terlihat keluar Benteng di siang hari sebagai pihak yang diusir. Karenanya, keluar di malam hari menjadi pilihannya. Bukan karena kepengecutan atau karena kelemahan diri, melainkan demi terjaganya segala perasaan manusiawi yang menyelimuti jiwa.

Adapun Asaduddin Syirkuh, wajar bila ia marah. Karena alasan pengusiran ini adalah pembunuhan terhadap salah satu Komandan Benteng yang telah dilakukannya. Asaduddin gusar, bukan karena ia tidak terima atas sanksi ini. Tapi karena ia merasa bahwa dirinya tidak salah, sebab ia membunuh Komandan Benteng karena sang komandan telah melecehkan kehormatan seorang perempuan yang kemudian meminta tolong kepadanya. Maka ia membunuh komandan itu dalam rangka menjaga kehormatan perempuan.

Sedangkan Bahrus yang telah menginstruksikan kepada keluarga Ayyub untuk keluar dari Benteng Tikrit, nama lengkapnya adalah Mujahiduddin Bahrus al Khadim. Ia adalah salah seorang Gubernur Kesultanan Saljuk di bawah kepemimpinan Sultan Muhammad bin Malik Syah.

Dan Najmuddin Ayyub telah komitmen sejak awal ia menerima surat perintah tersebut. Kami akan dengar dan patuh,” jawabnya saat menerima surat yang diserahkan oleh utusan Bahrus.

Sikap Najmuddin itu sungguh bijak. Ia tak membantah dan melawan, bahkan sigap bersedia mendengar dan taat. Walaupun itu menyesakkan jiwanya. Sebab jiwa dan keluarganya telah menyatu dengan benteng tersebut. Benteng yang disebutkan dalam Mu'jam al Buldan merupakan peninggalan bangsa Persia yang direbut oleh kaum Muslimin pada masa Khilafah Umar bin Khathab pada tahun 6 H. Maka pada benteng tersebut, ada kemuliaan keluarga Ayyub sekaligus kemuliaan sejarah kaum Muslimin.

Tapi satu hal yang bisa kita ambil pelajaran dari perbincangan kakak-beradik itu adalah saat Najmuddin Ayyub berujar, "Engkau tidak tahu apa-apa tentang masalah ini." Ujaran ini sesungguhnya yang melandasi sikap bijak Najmuddin saat menerima surat pengusiran dan saat kemudian mengambil keputusan. Bagi insan yang bijak, memahami permasalahan secara utuh integratif adalah sebuah keniscayaan. Maka selalu bertanya 'apa yang belum aku ketahui?' adalah langkah kearifan. Meski kita berada di pihak yang tak salah, tetap saja keputusan tak sekadar butuh modal posisi yang Benar namun juga butuh modal strategi yang Tepat.

Belajarlah kita pada Najmuddin Ayyub akan kebijaksanaan dan kearifan dengan memahami yang berada di sebalik sesuatu dan yang tersambung dari warisan pendahulu. Sebagaimana ia memahami bahwa di sebalik perlawanan, akan berujung pada kehancuran. Sebagaimana pula ia memahami bahwa berdasar ketersambungan warisan maka Benteng adalah milik Kesultanan Saljuk yang diamanahkan kepada keluarga Ayyub, yang kapanpun Kesultanan Saljuk berhak mengambilnya. Toh, Bahrus menjalankan putusan Kesultanan Saljuk untuk mengusir keluarga Ayyub demi keselamatan keluarga Ayyub pula, sebab dikhawatirkan komandan benteng yang lainnya akan melakukan pembalasan kepada keluarga Ayyub atas terbunuhnya seorang Komandan Benteng.


Rabu, 30 Maret 2016
Muhammad Irfan Abdul Aziz


Tidak ada komentar: