Tahun itu
532 H atau bertepatan dengan 1137 M. Dalam benteng Tikrit yang berada di utara
negeri Syam tepatnya tepi sungai Tigris, Najmuddin Ayyub yang akan memiliki
anak berjuluk Shalahuddin al Ayyubi berkata lirih, “Kita harus meninggalkan
benteng ini sebelum fajar esok hari.”
“Kita
pemilik benteng ini. Kenapa kita harus patuh pada perintah Bahrus? Dia tiada
lain adalah budak,” sahut Asaduddin Syirkuh cepat. Suaranya meninggi.
“Sebelum
budak itu menjadi Raja dan Menteri di Baghdad,” sergah Najmuddin Ayyub
kemudian. “Bagaimanapun benteng ini telah menjadi miliknya.”
“Benteng
ini warisan ayah kita. Syadzi.” Asaduddin tetap tak mau mendengar sang kakak.
Ia tetap yakin berada di pihak yang benar, dan sedang dizalimi. Maka melawan
adalah pilihan yang paling bijak, demikian menurutnya saat itu.
“Engkau
tidak tahu apa-apa tentang masalah ini. Bahrus
memberi kita benteng ini, sudah haknya dia mengambilnya kembali.” Najmuddin Ayyub
membentak sang adik.
“Tetapi
kita memiliki senjata.”
“Maksudmu, kita akan melawannya dengan pedang? Kemudian membuat Bahrus marah kepada kita?”
“Bahrus belum tentu melakukan itu.”
“Bagaimanapun
Engkau tak boleh membunuhnya.” Putus Najmuddin Ayyub.
Asaduddin lalu berargumen, “Jika ia menantangku dan aku tidak menjawab tantangannya,
maka wibawa hukum di sini akan hilang.”
“Aku
pemimpin benteng ini! Aku masih
menjadi pemimpin hingga detik ini.” Tak kalah Najmuddin meninggikan suaranya
mempertegas. “Aku telah menduga ini akan terjadi,” ujarnya kemudian.
Tapi
Asaduddin Syirkuh masih saja bersikeras. “Bahkan sejak
beberapa tahun lalu,” balasnya. “Membunuhnya tidak menyebabkan kita diusir. Kau tahu itu.”
“Tidak
ada gunanya bicara saat ini. Semuanya
telah berakhir. Surat menteri itu resmi.” Najmuddin Ayyub
hendak mengakhiri pembicaraan.
“Jika kita tidak meninggalkan benteng ini besok pagi,”
lanjutnya. “Kita akan
diusir. Apakah kita akan menang melawan pasukan Bahrus dan Amirul
Mukminin?”
“Sekarang, kita segera berangkat ke Baghdad.” Putus
Najmuddin Ayyub. Ia memilih Baghdad karena letak Baghdad lebih dekat daripada
Mosul. Namun dalam kitab Shalahuddin al Ayyubi wa Juhuduhu fil Qadha’ ala ad
Daulah al Fathimiyah wa Tahriri Baitil Maqdis karya Prof. Dr. Ali Muhammad
ash Shalabi dijelaskan bahwa mereka hijrah ke Mosul.
“Pasukan Bahrus sudah siaga di luar benteng,” sambung
Najmuddin lagi. “Kita tak
punya kesempatan lagi. Perintahkan laki-laki, para wanita, para pengikut dan
para pelayan untuk bersiap-siap pergi ketika matahari terbenam hari ini.”
Asaduddin
Syirkuh merasa heran dengan instruksi Najmuddin Ayyub, “Kenapa kita pergi malam hari?”
“Mati
lebih ringan bagiku daripada aku terlihat siang hari oleh banyak orang,” jawab
Najmuddin lugas. “Kondisi kita sudah berbeda. Allah
mengetahui bahwa aku sangat mencintai tempat ini.”
Itulah obrolan kakak-beradik pada
detik-detik akhir keluarnya keluarga Ayyub dari benteng Tikrit yang telah
mereka huni sejak mendiang ayah mereka Syadzi masih memimpin. Setelah wafatnya
sang ayah Syadzi, Muhammad Malik Syah selaku Sultan Saljuk pun menunjuk
Najmuddin Ayyub sebagai Kepala Administrasi di Benteng Tikrit. Pengabdian
Najmuddin sungguh totalitas, hingga kemakmuran mengisi kehidupan di Benteng
tersebut, bahkan pemasukan kas Benteng setiap tahunnya dapat mencapai 900
dinar. Nominal yang cukup besar di masanya. Maka, wajar bila ia berat
meninggalkan Benteng yang telah ia makmurkan itu. Setidaknya, berat bagi
kehormatannya untuk terlihat keluar Benteng di siang hari sebagai pihak yang
diusir. Karenanya, keluar di malam hari menjadi pilihannya. Bukan karena
kepengecutan atau karena kelemahan diri, melainkan demi terjaganya segala
perasaan manusiawi yang menyelimuti jiwa.
Adapun Asaduddin Syirkuh, wajar
bila ia marah. Karena alasan pengusiran ini adalah pembunuhan terhadap
salah satu Komandan Benteng yang telah dilakukannya. Asaduddin gusar, bukan
karena ia tidak terima atas sanksi ini. Tapi karena ia merasa bahwa dirinya
tidak salah, sebab ia membunuh Komandan Benteng karena sang komandan telah
melecehkan kehormatan seorang perempuan yang kemudian meminta tolong kepadanya.
Maka ia membunuh komandan itu dalam rangka menjaga kehormatan perempuan.
Sedangkan
Bahrus yang telah menginstruksikan kepada keluarga Ayyub untuk keluar dari
Benteng Tikrit, nama lengkapnya adalah Mujahiduddin Bahrus al Khadim. Ia adalah
salah seorang Gubernur Kesultanan Saljuk di bawah kepemimpinan Sultan Muhammad
bin Malik Syah.
Dan Najmuddin Ayyub telah
komitmen sejak awal ia menerima surat perintah tersebut. “Kami akan
dengar dan patuh,” jawabnya saat menerima surat yang diserahkan oleh utusan
Bahrus.
Sikap Najmuddin itu sungguh bijak. Ia tak membantah dan melawan, bahkan sigap bersedia mendengar dan taat. Walaupun itu menyesakkan jiwanya. Sebab jiwa dan keluarganya telah menyatu dengan benteng tersebut. Benteng yang disebutkan dalam Mu'jam al Buldan merupakan peninggalan bangsa Persia yang direbut oleh kaum Muslimin pada masa Khilafah Umar bin Khathab pada tahun 6 H. Maka pada benteng tersebut, ada kemuliaan keluarga Ayyub sekaligus kemuliaan sejarah kaum Muslimin.
Tapi satu hal yang bisa kita ambil pelajaran dari perbincangan kakak-beradik itu adalah saat Najmuddin Ayyub berujar, "Engkau tidak tahu apa-apa tentang masalah ini." Ujaran ini sesungguhnya yang melandasi sikap bijak Najmuddin saat menerima surat pengusiran dan saat kemudian mengambil keputusan. Bagi insan yang bijak, memahami permasalahan secara utuh integratif adalah sebuah keniscayaan. Maka selalu bertanya 'apa yang belum aku ketahui?' adalah langkah kearifan. Meski kita berada di pihak yang tak salah, tetap saja keputusan tak sekadar butuh modal posisi yang Benar namun juga butuh modal strategi yang Tepat.
Belajarlah kita pada Najmuddin Ayyub akan kebijaksanaan dan kearifan dengan memahami yang berada di sebalik sesuatu dan yang tersambung dari warisan pendahulu. Sebagaimana ia memahami bahwa di sebalik perlawanan, akan berujung pada kehancuran. Sebagaimana pula ia memahami bahwa berdasar ketersambungan warisan maka Benteng adalah milik Kesultanan Saljuk yang diamanahkan kepada keluarga Ayyub, yang kapanpun Kesultanan Saljuk berhak mengambilnya. Toh, Bahrus menjalankan putusan Kesultanan Saljuk untuk mengusir keluarga Ayyub demi keselamatan keluarga Ayyub pula, sebab dikhawatirkan komandan benteng yang lainnya akan melakukan pembalasan kepada keluarga Ayyub atas terbunuhnya seorang Komandan Benteng.
Sikap Najmuddin itu sungguh bijak. Ia tak membantah dan melawan, bahkan sigap bersedia mendengar dan taat. Walaupun itu menyesakkan jiwanya. Sebab jiwa dan keluarganya telah menyatu dengan benteng tersebut. Benteng yang disebutkan dalam Mu'jam al Buldan merupakan peninggalan bangsa Persia yang direbut oleh kaum Muslimin pada masa Khilafah Umar bin Khathab pada tahun 6 H. Maka pada benteng tersebut, ada kemuliaan keluarga Ayyub sekaligus kemuliaan sejarah kaum Muslimin.
Tapi satu hal yang bisa kita ambil pelajaran dari perbincangan kakak-beradik itu adalah saat Najmuddin Ayyub berujar, "Engkau tidak tahu apa-apa tentang masalah ini." Ujaran ini sesungguhnya yang melandasi sikap bijak Najmuddin saat menerima surat pengusiran dan saat kemudian mengambil keputusan. Bagi insan yang bijak, memahami permasalahan secara utuh integratif adalah sebuah keniscayaan. Maka selalu bertanya 'apa yang belum aku ketahui?' adalah langkah kearifan. Meski kita berada di pihak yang tak salah, tetap saja keputusan tak sekadar butuh modal posisi yang Benar namun juga butuh modal strategi yang Tepat.
Belajarlah kita pada Najmuddin Ayyub akan kebijaksanaan dan kearifan dengan memahami yang berada di sebalik sesuatu dan yang tersambung dari warisan pendahulu. Sebagaimana ia memahami bahwa di sebalik perlawanan, akan berujung pada kehancuran. Sebagaimana pula ia memahami bahwa berdasar ketersambungan warisan maka Benteng adalah milik Kesultanan Saljuk yang diamanahkan kepada keluarga Ayyub, yang kapanpun Kesultanan Saljuk berhak mengambilnya. Toh, Bahrus menjalankan putusan Kesultanan Saljuk untuk mengusir keluarga Ayyub demi keselamatan keluarga Ayyub pula, sebab dikhawatirkan komandan benteng yang lainnya akan melakukan pembalasan kepada keluarga Ayyub atas terbunuhnya seorang Komandan Benteng.
Rabu, 30 Maret 2016
Muhammad Irfan Abdul Aziz
Tidak ada komentar:
Posting Komentar