sumber: pamelageller.com |
Dakwah Islam itu sebenarnya sederhana; yaitu Dakwah untuk Beribadah
kepada Allah semata dan Dakwah untuk Mengikuti Rasulullah dalam peribadatan.
Maka, masyarakat
Muslim yang hendaknya juga merupakan masyarakat dakwah adalah masyarakat yang
mencerminkan prinsip dua syahadat itu yang menjadi landasan konsep integral
Islam.
Namun, bagaimana mengimplementasikan
kesaksian ‘Tiada
Rabb selain Allah’ dan kesaksian ‘Muhammad Rasulullah’ itu dalam dinamika
dakwah? Sehingga ummat memahami betul bagaimana bertauhid dan bersunnah, pun
bagaimana mendakwahkannya serta bagaimana menjadikannya asas bagi seluruh
interaksi kehidupannya.
Sekiranya, ada empat hal berikut yang perlu
dicermati dengan seksama. Sehingga dapat menjadi panduan konsepsi bagi seluruh
perguliran roda gerakan dakwah.
Pertama; bagaimana karakteristik masyarakat
Muslim?
Karakter masyarakat Muslim berlandaskan ketundukan
kepada Allah semata dalam segala perintah-Nya. Ketundukan inilah yang diinginkan
dari syahadat Laa ilaaha illa Allah wa anna Muhammadar Rasulullah.
Ketundukan itu dalam tiga hal; ketundukan dalam hal Konsepsi-Teologis, ketundukan
dalam hal Ritual-Ibadah, dan ketundukan dalam hal Hukum-Perundangan.
Maka segala konsepsi teologisnya berpusar
pada prinsip ketauhidan Allah azza wa jalla, tidak ada yang dapat
menandingi-Nya sebagai Rabb dan Malik. Maka segala ritual ibadahnya berpusar
pada prinsip keteladanan Rasulullah shalallahu ’alaihi wasallam, tidak
ada yang boleh menyelisihi sunnahnya. Maka segala hukum perundangannya berpusar
pada prinsip-prinsip al Qur’an, sebab tidak ada yang bisa merumuskan tata
kelola kehidupan yang rapih kecuali Sang Pencipta yang Maha Mengetahui
seluk-beluk ciptaan-Nya.
Konsepsi teologis itulah yang dibina di
Makkah dengan pesan-pesan Tauhid di awal-awal turunnya al Qur’an. Ritual ibadah
itulah yang dibina di Madinah dengan bimbingan langsung Rasulullah secara
perlahan tahap demi tahapnya. Sementara, hukum perundangan itulah yang dibina
dalam perjalanan interaksi sosial dan pemerintahan dengan beragam komunitas
internal dan eksternal ummat pasca Hijrah berpandu pada ketetapan-Nya.
Kedua; bagaimana menumbuh-kembangkan
masyarakat Muslim?
Setelah kita memahami definisi karakter
masyarakat Muslim, selanjutnya kita mencermati pola menumbuh-kembangkan
masyarakat Muslim tersebut. Bahwa masyarakat muslim itu baru bisa tumbuh-berkembang
bila ada sekelompok orang yang menyatakan bahwa penghambaan diri mereka
seutuhnya hanyalah kepada Allah semata; dan bahwasannya mereka tidak
menghinakan diri dengan penghambaan kepada selain Allah. Penghambaan itu dalam
tiga hal; penghambaan dalam hal Konsepsi-Teologis, penghambaan dalam hal Ritual-Ibadah,
dan penghambaan dalam hal Hukum-Perundangan.
Maka segala konsepsi teologisnya berpusar
pada penghambaan kepada Allah semata, sehingga memiliki kekuatan aqidah. Maka
segala ritual ibadahnya berpusar pada penghambaan yang ikhlas dan sesuai
teladan Rasul-Nya, sehingga memiliki kekuatan moral dan mental. Maka segala hukum
perundangannya semata-mata merupakan bentuk penghambaan dengan melaksanakan
nilai-nilai al Qur’an, sehingga melahirkan ummat yang berjamaah di bawah panji
al Qur’an dengan ketertataan manajemen dan struktur.
Setelah lahirnya komunitas yang
penghambaannya total kepada Allah; baik konsepsi teologisnya, ritual ibadahnya,
maupun hukum perundangannya, maka saat itulah ummat ini akan terus bertumbuh
dan berkembang. Modal pertumbuhannya dan pengembangannya adalah kekuatan Aqidah,
kekuatan mentalitas moral, serta kekuatan manajemen struktur. Ketiga kekuatan
inilah yang dapat menghadapi tekanan musuh-musuh ummat. Maka ummat Muslim akan
bertumbuh dan berkembang dengan baik bila ketiganya telah kokoh.
Ketiga; bagaimana berinteraksi dengan
masyarakat Jahiliyah?
Bila masyarakat Muslim telah berkembang,
maka niscaya ia akan berinteraksi dengan masyarakat jahiliyah. Oleh karenanya,
sebelum berinteraksi, hendaknya kita memahami terlebih dahulu definisi Masyarakat
Jahiliyah; yaitu setiap masyarakat selain masyarakat Muslim, yang tidak
memurnikan penghambaannya kepada Allah semata. Sederhananya, masyarakat
jahiliyah merupakan kebalikan dari masyarakat Muslim.
Dalam kehidupan ini terdapat beberapa masyarakat yang tidak
memurnikan penghambaannya kepada Allah semata. Pertama dalah masyarakat Komunis,
yang berpaham Atheis dengan anggapan bahwa alam mengontrol dirinya sendiri dan
tunduk kepada selain Allah. Kedua adalah masyarakat Paganis, yang memiliki
tuhan selain Allah, ibadahnya pun bukan untuk Allah, serta sistem dan peraturan
kehidupannya bukan yang telah disyariatkan-Nya. Ketiga adalah masyarakat Yahudi
dan masyarakat Nashrani, yang tidak lagi mengesakan Allah, pun merekayasa
sekutu bagi-Nya (at Taubah : 30; al Ma’idah :73), juga menggambarkan Allah
dengan ilustrasi yang tak semestinya (al Ma’idah : 64), serta menggambarkan hubungan
Allah dengan makhluk-Nya tidak dengan pola yang sebenarnya (al Ma’idah : 18),
hingga akhirnya ibadah dan perundangannya pun tak lagi berdasarkan yang
ditetapkan Allah subhanahu wata’ala.
Satu lagi yang harus dipahami, bahwa sebagian masyarakat
Jahiliyah itu adalah masyarakat yang mungkin mengaku Islam namun tidak
menjalankan penghambaan kepada Allah semata dalam tatanan kehidupan mereka,
juga menyematkan otoritas ketuhanan yang paling hakiki kepada selain Allah,
serta tunduk pada kekuasaan selain Allah. Maka Islam menolak mengakui keislaman
dan legalitas semua masyarakat tersebut.
Sebab Allah telah pesankan kepada para pejabat pengambil
keputusan pada al Ma’idah ayat 44, “Barangsiapa yang tidak memutuskan
menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang
kafir.” Dan
Allah juga telah pesankan kepada rakyat yang menjalankan setiap keputusan
dengan firman-Nya pada surat an Nisaa’ ayat 60-61, “Apakah kamu tidak
memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang
diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak
berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut
itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang
sejauh-jauhnya. Apabila dikatakan kepada mereka: ‘Marilah kamu (tunduk) kepada
hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul’, niscaya kamu lihat
orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari
(mendekati) kamu.”
Keempat; bagaimana berinteraksi dengan
realita kehidupan?
Setelah kita memahami karakter masyarakat
Muslim, dan setelah masyarakat Muslim berkembang lalu memahami masyarakat
jahiliyah, selanjutnya masyarakat Muslim itu akan merespon segala realita
kehidupan. Sebagian realita itu sesuai Islam, dan sebagiannya lagi mungkin
tidak sesuai dengan prinsip Islam. Maka, bagaimana kita menyikapinya?
Yang harus dipahami adalah bahwa Allah yang
menciptakan dan memberi rezeki tentu yang berhak mengatur ciptaan-Nya. Maka
menghadapi realita apapun itu, terimalah yang sesuai dengan prinsip Islam dan
tolaklah yang tidak sesuai dengan prinsip Islam. Di sinilah kita memandang
bahwa paham-paham humanistik yang berkembang dari Barat itu berbahaya, karena hanya
berdasar pada pengetahuan manusia yang sesungguhnya tidak tahu apa-apa dan
tidak diberi ilmu kecuali sedikit oleh Allah.
Satu hal pula yang harus kita pahami, bahwa
siapapun tidak berhak berbicara atas nama Tuhan kecuali Rasul-Nya, yang
menyampaikan firman-Nya dan menjelaskannya. Maka ketundukan kepada Allah dan
kepada keteladanan Muhammad adalah satu paket dalam prinsip Islam.
Epilog
Demikianlah empat hal yang harus dipahami gerakan dakwah.
Memahami karakteristik masyarakat Islam yang sebenarnya berbasis ketaatan pada
Allah dan Rasul-Nya, kemudian memahami cara menumbuh-kembangkan masyarakat
Islam dengan memulainya dari komunitas yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya
hingga memiliki kekuatan Aqidah - Mentalitas – Struktur yang dapat
menghadapi tekanan-tekanan penghalang dakwah.
Setelah memahami karakteristik yang
sebenarnya dan cara menumbuh-kembangkannya, juga memahami pola menyikapi
kejahiliyahan dan segala rupa realita kehidupan. Maka, akhirnya kita memahami
bagaimana hendaknya gerakan dakwah menyikapi segala fenomena yang dihadapi
dalam kehidupan ini. Ada dua hal yang sangat berbeda dalam menyikapi dinamika kehidupan:
Pertama; Agama tidak menghadapi kenyataan
apapun, lalu mengakuinya dan mencarikan baginya rujukan dan hukum syar’i
berkaitan dengannya.
Kedua; Agama menghadapi kenyataan untuk
dicarikan solusinya menurut agama, lalu menetapkan yang layak ditetapkan dan
menafikan yang seharusnya dinafikan, serta memunculkan realitas lain jika yang
ada tidak sesuai.
Dari kedua hal tersebut, maka gerakan
dakwah melakukan yang kedua. Sebab agama ini hadir bukan untuk legalisasi
tradisi, melainkan untuk memberikan solusi bagi tradisi yang tidak sesuai
dengan syariat. Dan satu hal yang harus dipahami dari Syariat Allah, bahwa
sesungguhnya di dalamnya ada kepentingan manusia. Kenapa demikian? Karena
Allah yang menciptakan Manusia, maka Dia sungguh memahami kepentingan manusia.
Adapun bila dianggap Syariat Allah tak
mencakup kepentingan kemanusiaan, maka anggapan itu sesungguhnya lahir dari dua
kemungkinan: Pertama, mungkin yang menganggapnya memahami syariat secara keliru
karena sebatas menilai yang tampak secara lahir; dan Kedua, mungkin yang
mengganggapnya termasuk kau yang kufur kepada Allah sehingga sengaja mengingkari
syariat.
من كتاب معالم في الطريق لسيد قطب
Baca juga:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar