sumber: purwanto.my.id |
Bila dalam
melakukan aktivitas, kita telah melalui proses mempertimbangkan hukumnya, lalu
nilainya, hingga aspek pelaksanannya. Maka dalam mendapatkan objek yang
dicita-citakan atau diinginkan, kita hendaknya melalui proses mempertimbangkan
derajat nilai kebutuhannya.
Pada
aktivitas, mulanya kita menimbang antara Wajib, Sunnah, Mubah, Makruh atau
Haram. Pelaksanaan yang wajib didahulukan dari yang sunah, pelaksanaan yang
sunah didahulukan dari yang mubah. Begitupun meninggalkan yang haram
didahulukan dari meninggalkan yang makruh. Demikian pertimbangan umumnya.
Setelah kita
menimbang aspek hukumnya, maka selanjutnya kita menimbang aspek nilainya yang
sangat tergantung ruang dan waktu. Kewajiban di suatu tempat atau masa tertentu
mungkin lebih utama dari kewajiban lainnya. Maka, di setiap tempat dan masa
selalu punya prioritas aktivitas sesuai derajat nilainya yang diukur dari
kebutuhan tempat dan masa tersebut.
Namun
setelah kita menimbang dari aspek hukum dan nilai, maka terakhir kita perlu
menimbang aspek pelaksanaannya. Tentu yang didahulukan adalah yang mudah
pelaksanaannya. Demikianlah cara seorang Muslim menyusun urutan aktivitasnya.
Lalu,
sekarang kita bertanya tentang suatu impian seorang Muslim. Apakah semuanya
harus terwujudkan? Bukankah manusia tak punya kuasa kecuali kuasa dari Allah?
Maka bila demikian, apa ukuran yang memastikan bahwa suatu objek harus
didapatkan? Sebab tidak mungkin dengan ukuran manusia yang sesungguhnya tak
punya kuasa apapun kecuali kuasa dari-Nya. Sementara tak satupun kita tahu apakah Allah berkehendak akan sesuatu
itu kemudian ridho memberikan kuasa-Nya. Tetapi agama Islam adalah agama yang
sangat humanis, maka ia telah memberikan cara pandang dalam mendapatkan sesuatu
yang dicitakan ataupun diinginkan.
Sehingga tak
arif bila seorang muslim terlalu memaksakan diri mendapatkan hal yang ia
citakan dan inginkan, sementara ia tak pernah tahu sebutuh apa ia pada sesuatu
itu sebab tiada tahu kapan akhir kehidupannya. Begitupun, tak bijak bila
seorang muslim tak ingin bercita, sementara ada sunah kehidupan yang harus ia
penuhi demi kelanggengan perjalanan hidupnya.
Cara pandang
inilah yang menghadirkan individu-individu muslim yang arif nan bijak. Yang
memandang semua mubah punya maslahat bagi diri. Namun juga memandang semua
mubah tak mesti harus dimiliki diri.
Maka cara
pandang ini berdasar pada disiplin ushul fiqh, yaitu dasar-dasar penetapan
hukum fiqh. Ialah pada tiga hal pemetaan: Dharuriyat (Primer), Hajiyyat
(Sekunder), dan Tahsinat (Tersier).
Pertama;
aspek Dharuriyat
Dharuriyat
adalah Primer, yaitu suatu hal yang manusia tidak bisa hidup kecuali dengannya.
Hal-hal yang masuk dalam aspek Dharuriyat atau Primer ini dalam Islam ada lima;
yaitu Agama, Jiwa, Nasab, Akal, dan Harta. Ada lagi yang menambahkan dengan
Kehormatan. Semuanya itu merupakan tujuan syariat Islam; yaitu menjaga agama,
menjaga jiwa, menjaga nasab, menjaga akal, menjaga harta, dan tambahannya
menjaga kehormatan.
Maka, bila
suatu cita-cita atau keinginan termasuk hal yang terkait dengan keberlangsungan agama, jiwa,
nasab, akal, harta, dan kehormatan, tentu menjadi prioritas pertama untuk
dicapai. Namun bila tidak tercapainya cita-cita atau keinginan itu tak membahayakan agama, jiwa, nasab, akal, harta dan kehormatan, maka artinya
cita-cita atau keinginan itu belum termasuk aspek Dharuriyat yang harus
diutamakan.
Kedua; aspek
Hajiyyat
Hajiyyat
adalah Sekunder, yaitu suatu hal yang manusia masih bisa hidup namun agak
kesusahan bila tanpanya. Hal-hal yang masuk dalam aspek Hajiyyat atau Sekunder
ini dalam Islam adalah segala sarana-prasarana yang memudahkan kehidupan
Muslim.
Namun bila sesuatu
sarana-prasarana tak berpengaruh bagi efektivitas maupun efisiensi individu
muslim, maka itu berarti sesuatu tersebut belum termasuk aspek Hajiyyat. Sebab
ciri Hajiyyat adalah yang memudahkan sesuatu hal yang semula terasa sulit.
Ketiga;
aspek Tahsinat
Tahsinat
adalah Tersier, yaitu suatu hal yang manusia masih bisa hidup nyaman meskipun
tanpanya. Hal-hal yang masuk dalam aspek Tahsinat atau Tersier ini dalam Islam
adalah segala asesoris pelengkap yang keberadaannya hanya untuk memperindah
kehidupan Muslim.
Tahsinat ini
boleh kita usahakan untuk mencapainya bila aspek Dharuriyat dan aspek Hajiyyat
sudah terpenuhi. Namun bila aspek Dharuriyat dan aspek Hajiyyat belum
terpenuhi, maka hendaknya seorang Muslim tidak terlalu mengejar aspek Tahsinat.
Demikianlah peri-kehidupan seorang Muslim, yang zuhud kepada dunia dan zuhud
kepada yang ada pada orang lain. Zuhud itu adalah cita rasa diri, ia tak ada
hubungannya dengan kondisi keberlimpahan nikmat maupun kondisi tanpa keberlimpahan nikmat; melainkan hendaknya ia menjadi cita rasa bagi kedua
kondisi tersebut.
Epilog
Demikianlah
seorang muslim bercita-cita dan berkeinginan. Sehingga ia tidak terjatuh pada
hamba materi, namun juga tidak terperangkap sebagai hamba ilusi. Muslim tetaplah
makhluk realita, dengan bimbingan syariat yang sangat humanis.
Bagi seorang
Muslim, syariat telah mengarahkannya untuk mencapai cita-cita dan memenuhi
keinginan yang termasuk Dharuriyat bagi dirinya. Lalu bila ia telah memenuhi
aspek Dharuriyat-nya dalam hal keterjagaan agama, jiwa, nasab, akal, harta dan
kehormatan, maka seorang muslim dipersilakan memiliki cita-cita dan keinginan
terkait Hajiyyat. Hingga bila aspek Hajiyyat-nya sudah terpenuhi dan aspek
Dharuriyat-nya tetap aman, maka seorang muslim dibolehkan mencari cita-cita dan
keinginan lainnya terkait aspek Tahsinat.
Memang di
era globalisasi yang tanpa batas ini, kita hampir-hampir tidak mampu bersabar
dengan tuntunan ini. Mungkin kita merasa, bila kita tak segera mendapatkan yang
sifatnya Tahsinat sementara aspek Dharuriyat dan Hajiyyat kita tak kunjung
terpenuhi, maka kapan lagi kita dapat mendapatkan Tahsinat tersebut? Mumpung
kesempatan! Demikian tambahan provokasinya.
Sungguh, yang penting bagi Muslim bukanlah seberapa yang ia dapatkan dari cita-citanya dan
keinginannya itu. Melainkan, lebih penting bagi Muslim adalah
bagaimana pola interaksinya dengan seluruh cita-citanya dan keinginannya itu.
Sebab pada pola interaksi itulah prosesnya, dan pada proses itulah ujian
ditebarkan. Maka berapa banyak motif yang baik menjadi rusak karena proses yang
salah? Maka berapa banyak dampak yang semestinya mulia menjadi hina karena
proses yang salah?
Semoga kita
menjadi individu-individu Muslim yang arif dan bijak dalam memandang setiap
cita-cita dan keinginan. Sebab, bukan apa yang kita inginkan, namun apa yang
Allah inginkan dari kita.
Jakarta, 14 Maret 2016
Muhammad Irfan Abdul Aziz
#GenerasiFokus1437H
Baca juga:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar