Selasa, 22 Desember 2015

(Kajian Hadits) BAGAIMANA HENDAKNYA KITA BERIMAN?


عن أبي محمد, عبد الله بن عمرو بن عاص رضي الله عنهما قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم:
"لا يؤمن أحدكم حتى يكون هواه تبعا لما جئت به"
حديث صحيح رويناه في كتاب الحجة بإسناد صحيح. 

"Tidak beriman salah satu dari kalian sehingga menjadikan hawanya mengikuti kepada apa aku telah datang dengannya."


Begitulah sabda Rasulullah. Riwayatnya dinilai shahih dan diambil dari kitab al HujjahPeriwayatnya adalah Abu Muhammad, yaitu Abdullah bin Amr bin 'Ash yang telah Allah ridhoi keduanya. Abdullah bin Amr adalah salah satu ulama di kalangan sahabat, sebagaimana Abdullah bin Umar dan Abdullah bin Mas'ud.

Hadits ini unik, dimulai dengan kata 'Tidak Beriman'. Apa maknanya? Maksudnya tiada lengkap imannya atau tiada benar imannya.

Jadi begitulah awalnya keimanan kita; tiada lengkap atau bahkan tiada benar. Namun, hal itu bisa kita hindari bila 'Hawa' kita hanya mengikuti apa yang dibawa oleh Rasulullah shalallahu alaihi wasalam; yaitu Islam beserta sunah-sunahnya.

Nah, apa sesungguhnya yang dimaksud dengan Hawa? Secara bahasa memiliki dua makna: Kecenderungan dan Kerendahan. Bermakna Kecenderungan karena istilah Hawa sangat terkait dengan jiwa, sebagaimana sering disebut Hawa Nafsu. Selain itu, bermakna Kerendahan karena istilah Hawa juga digunakan sebagai salah satu nama neraka sebagaimana yang disebut dengan Neraka Hawiyah, yaitu neraka yang paling bawah. Dari makna-makna bahasanya itu, kemudian istilah Hawa digunakan sebagai penggambaran tentang sesuatu yang dicintai jiwanya, dicenderungi hatinya, dan diharapkan oleh kepribadiannya.

Sehingga dengan memahami makna istilah Hawa itu, maka ulama menjelaskan maksud dari istilah 'mengikuti' adalah menjadikannya sebagai kebiasaan bagi pribadinya. Sehingga bila kita ingin mengevaluasi keimanan diri, satu pertanyaan ini bisa kita ajukan kepada diri sendiri: sudahkah Islam beserta sunah-sunahnya menjadi kebiasaan dalam pribadi kita? Bila belum, maka bisa jadi keimanan kita belum lengkap atau belum benar.

Begitulah seorang Muslim diharapkan. Ia mesti menjadi manusia yang utuh atau integral di segala sisinya; tidak bertentangan antara kata dan amal, serta tidak bertentangan antara perilaku dan pikiran. Seorang Muslim hendaklah menjadi manusia yang seirama antara hati, lisan, dan laku; sebagaimana tersatukan antara akal, pikiran, dan kehendaknya; serta seimbang antara ruh dan jasad. Ia mengatakan apa yang diyakini, sehingga ketika keyakinannya tercermin dalam raganya maka akan tegak niatnya dan kepribadiannya. Dengan demikian ia tidak dikuasai syahwat, tidak terjatuh pada bid'ah, dan tidak cenderung pada kenikmatan; sebab titik tolak segala urusannya adalah syariat Allah.

Adapun kecenderungan itu ada tiga macam. Pertama, kecenderungan pada kebenaran. Kedua, kecenderungan umum pada kebenaran ataupun kebatilan (sebagaimana yang dimaksud hadits ini). Ketiga, kecenderungan pada jiwa (maka tergantung pemilik jiwanya). Yang terakhir adalah yang banyak digunakan, karena secara umum jiwa itu berlawanan dengan kebenaran.

Para pengikut hawa nafsu akan menjadi ahli maksiat, ahli bid'ah, dan penolak kebenaran. Sehingga agar tidak terjatuh pada hawa nafsu, maka inilah pesan hadits tersebut : (1) Seharusnya beramal sesuai Kitab dan sunnah; (2) Kejujuran lisan tanpa amal adalah tanda Fasiq, kejujuran lisan dan amal tanpa keyakinan adalah tanda munafiq, dan yang saling bertentangan antara semuanya adalah tanda kekufuran; (3) Keimanan menghendaki adanya pembelaan pada sunnah Rasulullah.

Tidak ada komentar: