Panggung Kenduri Seni Melayu (dokumen pribadi) |
Tanpa rencana, takdir telah mengantarkan aku menjejakkan kaki di tanah Batam. Dari hari ke hari, dari pekan ke pekan, tak terasa sebulan pun terlewati. Batam yang awalnya hanya tersangka sebagai ladang industri nan gersang, ternyata menyimpan aliran jernih kesenian Melayu yang rancak berdendang.
Sebenarnya apa yang aku sangka itu, mirip-mirip dengan yang pernah dirasa para budayawan Melayu 17 tahun yang lalu. Seperti ungkapan mereka dalam kesempatan audiensi dengan Orang Nomor Satu di Otorita Batam kala itu, "Memandang Batam yang maju, kami orang Melayu ingin numpang main, numpang berseni-seni di Batam."
Ah, itulah Batam di mata anak-anak negeri ini. Bahkan di mata anak-anak bangsa yang berada di sekitarannya, di dataran tanah Melayu.
Syukur, adanya aku di Batam ini pas jelang akhir tahun, pas pula momen Hari Jadi Batam. Pas itu pulalah, digelar Kenduri Seni Melayu. Maka aku ajak saja seorang rekan Mahasiswa asal Pontianak yang sedang mendapat beasiswa di kampus Universitas Internasional Batam (UIB), untuk menikmati malam Minggu pertama bulan Desember 2015 di alun-alun Dataran Engku Putri. Oh, alangkah syahdunya bermalam Minggu di Kenduri Seni Melayu.
Selain rasa penasaran yang menggerakkan langkah kakiku ke Kenduri malam itu, juga ada rasa rindu yang menderu di sanubariku akan jati diri negeri. Dan Melayu bagaimanapun adalah jati diri negeri. Sebab salah satu pilar eksistensi negeri ini adalah Bahasa yang Satu yaitu Bahasa Indonesia. Yang asalnya adalah bahasa Melayu.
Maka memahami negeri ini hendaknya memahami Melayu. Dan memahami Melayu hendaknya memahami Islam sebagai unsur pembentuk akal budi segenap anak temurunnya. Kira-kira demikian.
Kembali ke Kenduri Seni Melayu itu, yang mula awalnya dihelat pada masa Raja Abdul Aziz sebagai Walikota Batam. Sungguh mudah mengingat nama Walikota itu, sebab sama dengan ujung namaku.
Maka semakin tertariklah aku pada sejarahnya. Sebab bagiku, kehidupan ini tidak akan berpolemik, bila sejarah dipahami dengan baik. Dan konten-konten apapun dengan sendirinya akan tetap terjaga pada jalurnya, bila kita selalu berangkat dari pemahaman sejarahnya.
Beruntung esok harinya aku mendapat pencerahan dari Ketua Dewan Kesenian Provinsi Kepulauan Riau, bapak Husnizar Hood, melalui kolomnya di suplemen Jembia (Batam Pos) yang berjudul "Masih Malukah Engkau Mengaku Melayu?"
Beliau adalah salah satu perintis Kenduri Seni Melayu di Batam yang saat ini telah memasuki tahun ke-17. Ceritanya, Kenduri ini dibuat untuk dua tujuan; Dipahami dan Dimengerti. Agar orang paham bahwa tanah ini adalah tanah Melayu. Dan agar orang mengerti bagaimana seharusnya bangsa Melayu.
Batam bisa dikatakan pernah lama terlupakan. Ia memang dilirik, tapi hanya untuk kepentingan pencapaian ekonomi negeri. Padahal di denyut nadi kehidupannya, ada keagungan budaya yang merupakan unsur independensi negeri. Itulah budaya yang akan menjadikan negeri ini tetap berdaulat dan menjadikan bangsa ini tetap bergandeng erat.
Hingga Reformasi 1998 berhasil membuka segala kunci kejumudan kehidupan berbangsa. Dan pak Husnizar-lah yang menjelajahi Batam kala itu untuk menghelat acara perintis dengan tajuk "Menulis Batam".
Menghadap Walikota Batam, bermohon izin kepada pihak Otorita Batam sebagai penguasa Batam. Begitulah proposal budaya ini diajukan. Hingga kini, akhirnya secara rutin setiap tahun digelar hajatan Kenduri Seni Melayu. Berbondong orang boleh menumpah ruah di situ. Menikmati sajian seni Melayu, meresapi kembali jati diri insan Melayu.
Batam, 12 Desember 2015
Muhammad Irfan Abdul Aziz
(Staff Divisi Kaderisasi BPP FLP)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar