Kamis, 24 Desember 2015

MENGOKOHKAN IDENTITAS DIRI SEBAGAI PEWARIS NABI

foto: Ruang Utama Masjis Raya Tanjungpinang
(dokumen pribadi)

Kita kembali melalui momen Maulid Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam tahun 1437 H. Mungkin selalu terpikirkan, kiranya apa yang perlu kita optimalkan dari momentum ini? Kiranya apa yang bisa kita maknai dari momentum ini? Dan saya berpendapat, bahwa momen Maulid hendaknya menjadi momen kita untuk semakin "Mengokohkan Identitas Diri Sebagai Pewaris Nabi shallallahu alaihi wasallam".


Agar Maulid tak sekadar seremonial pembacaan sejarah kelahiran Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Agar Maulid tak sekadar seremonial penuturan satu demi satu pelajaran kemuliaan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Tetapi, satu hal yang perlu kita pikirkan dari momentum peringatan ini adalah 'Apa yang bisa kita tanamkan dalam jiwa-jiwa kita?'

Sebab, memperingati artinya menghayati. Dan penghayatan itu adanya dalam jiwa, bukan sekadar dalam ruang-ruang acara. Maka sekiranya, ada 2 hal yang bisa kita tanamkan dalam jiwa-jiwa kita pada momentum Maulid ini. Yaitu; Mengokohkan Identitas Diri dan Menjadi Pewaris Nabi.

KEBUTUHAN AKAN IDENTITAS DIRI

Apa kebutuhan kita akan identitas diri? Setidaknya kita membutuhkan identitas diri untuk dua hal. Pertama, untuk saling mengenal. Kedua, untuk modal berdakwah. Dan untuk keduanyalah kita sebagai Manusia sekaligus sebagai Muslim diperintahkan.

Sebagaimana Allah subhanahu wata’ala berfirman dalam surat al Hujurat ayat 13, “Hai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti.”

Itulah perintah-Nya kepada kita semua selaku manusia. Adapun perintah-Nya kepada kita selaku Muslim dapat kita temui pada surat Ali Imran ayat 110. “Kalian (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, kalian menyuruh kepada yang ma’ruf, dan kalian mencegah dari yang munkar, dan kalian beriman kepada Allah.”

Untuk menunaikan dua perintah itulah, kita membutuhkan identitas diri. Karena saling mengenal baru tercapai bila ada indentitas diri yang dapat dikenali. Dan dakwah akan sukses bila Sang Da’i memiliki identitas diri yang membentuk kualitas kepribadiannya, sebagai modal amar ma’ruf nahi munkar-nya.

PEWARIS NABI

Setelah memahami urgensi identitas diri dalam kehidupan kita, yang itu adalah keniscayaan dalam kehidupan kita. Maka pertanyaan selanjutnya, “Identitas seperti apa yang semestinya tertanam dalam diri seorang Muslim?”

Sebagaimana salah satu ikrar Syahadat kita yang mempersaksikan bahwa Muhammad shallallahu alaihi wasallam adalah utusan Allah subhanahu wata'ala yang dihadirkan untuk menjadi teladan bagi kita dalam mengamalkan al Qur’an dan menjalankan syariat-Nya. Maka, sesungguhnya identitas yang perlu kita tanamkan dalam diri masing - masing adalah identitas sebagai pewaris Nabi shallallahu alaihi wasallam.

Pertanyaannya, “Apa yang kita warisi? Dan bagaimana menjadi pewaris Nabi?” Jawabannya bisa kita dapati dari sabda Baginda Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. “Aku tinggalkan untuk kalian dua perkara (pusaka). Kalian tidak akan tersesat selama-lamanya selagi kalian berpegang teguh pada keduanya, yaitu Kitabullah (al Qur’an) dan Sunah Rasul (Hadits).” (HR. Muslim)

Dari riwayat itu diketahui bahwa kita mewarisi dua pusaka dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam; yaitu al Qur’an dan as Sunnah. Sedangkan untuk menjadi pewaris Nabi maka hendaknya kita menjadi ulama, atau minimal menjadi seorang yang mencintai ilmu dan ahli ilmu.

Sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, “Sesungguhnya ulama adalah pewaris para Nabi. Sungguh para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Sungguh mereka hanya mewariskan ilmu. Maka barangsiapa mengambil warisan tersebut, ia telah mengambil bagian yang banyak.” (HR. At Tirmidzi, Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ad Darini, al Hakim dan Ibnu Hibban)

Demikianlah, hendaknya kita sebagai Muslim menanamkan identitas sebagai pewaris Nabi dalam diri masing-masing. Menjadi pewaris Nabi berarti berusaha menjadi ahli ilmu, atau setidaknya mencintai ilmu dan ahlinya. Yang terus belajar dan mengajarkan, utamanya berkenaan warisan Sang Nabi yaitu al Qur’an dan as Sunnah. Itulah dua pusaka ilmu utama yang harus kita warisi, bila kita sungguh mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

EPILOG

Semoga dalam setiap momentum Maulid Nabi shallallahu alaihi wasallam kita semakin memiliki identitas diri yang kokoh sebagai pewaris Nabi. Dengan identitas diri itu, kita akan dapat percaya diri untuk saling mengenal, bahkan dengan umat-umat lainnya. Sehingga ummat Islam menjadi perekat masyarakat dan menjadi pengayom kerahmatan bagi semuanya.

Dengan identitas diri itu pula, kita akan lebih dapat mewarnai dalam berdakwah. Sebab hanya umat dengan identitas diri yang kokoh, yang akan efektif dakwahnya dan menjadi rujukan umat-umat lainnya.

Agar memiliki identitas diri yang kokoh itu, kita hanya perlu memantapkan diri untuk menjadi pewaris Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Yang cirinya dua; melekatkan diri dengan al Qur’an dan as Sunnah, serta mencintai ilmu dan para ahli ilmu.

Begitulah semestinya kita menjadikan momentum Maulid Nabi untuk semakin Mengokohkan Identitas Diri sebagai Pewaris Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Semoga kita mampu!


Batam, 11 Desember 2015

Muhammad Irfan Abdul Aziz
SMART (Studi Masyarakat untuk Reformasi Terpadu)

Tidak ada komentar: