Para ahli Fiqh dan para ulama
telah berbeda pendapat dalam hal cara memilih Pemimpin. Setidaknya terbagi
menjadi dua kelompok:
Pertama; kelompok yang
berpendapat bahwa Pemimpin (Khalifah) itu ditetapkan melalui nash
(dalil) bukan dengan pemilihan. Sebagaimana yang dianut oleh kelompok Syiah.
Kedua; kelompok yang berpendapat
bahwa Pemimpin (Khalifah) itu dipilih oleh ummat dan tidak ditetapkan oleh nash
(dalil). Sebagaimana yang dianut oleh kelompok Ahlus Sunnah (Sunni),
kelompok Mu’tazilah, kelompok Khawarij, sebagian kelompok Syiah, dan jama’ah
dari Ahlul Hadits.
Metode Memilih Pemimpin Negara
Menurut Dr. Abdul Qader Abu Faris
(penulis buku ‘Sistem Politik dalam Islam’), bahwa tidak ada aturan yang tetap berkenaan
metode memilih Pemimpin. Sehingga, metodenya sangat fleksibel menyesuaikan
dengan kondisi zaman. Namun bila kita cermati dalam buku-buku sejarah, maka
kita dapat menemukan bahwa proses pemilihan Pemimpin setidaknya melalui dua
tahapan.
Tahap Pertama adalah tahap pencalonan,
atau semacam janji kesetiaan secara khusus. Yaitu anggota Majelis al Halli
wal Aqdi (Majelis Syuro / Majelis Perwakilan Ummat) atau Pemimpin
mengajukan calon kepada ummat.
Tahap Kedua adalah janji kesetiaan
secara umum. Hal ini semacam referendum yang melibatkan ummat secara
keseluruhan.
Model Pencalonan
Adapun terkait model pencalonan
nama untuk dipilih sebagai pemimpin, ada dua macam sebagaimana berikut:
Pertama; seorang Pemimpin yang
sah mencalonkan nama untuk Pemimpin setelahnya, sebagaimana yang dilakukan oleh
Abu Bakar ash Shiddiq dan Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhuma.
Kedua; pencalonan Pemimpin
diajukan oleh Majelis al Halli wal Aqdi (Majelis Syuro / Majelis
Perwakilan Ummat).
Metode Pemilihan Khulafa’
ar Rasyidin:
Metode tahapan pemilihan Pemimpin
dan Model pencalonannya itu, merupakan kesimpulan dari pengalaman Sejarah
ummat. Bahwa kita bisa mencermatinya pada empat metode pemilihan yang pernah
dilakukan oleh Khulafa’ ar Rasyidin.
Pertama; Metode pemilihan Abu
Bakar radhiyallahu ‘anhu.
Setelah wafatnya Nabi Muhammad shalallahu
‘alaihi wasalam, kaum Anshar berkumpul di Saqifah Bani Saa’adah, lalu
datang dari kalangan kaum Muhajirin dan terlibat dalam musyawarah untuk memilih
Khalifah. Sehingga orang-orang membai’at Abu Bakar di Saqifah, dan ini adalah
janji kesetiaan khusus. Ini berfungsi sebagai pencalonannya.
Kedua; Metode pemilihan Umar bin
Khathab radhiyallahu ‘anhu.
Setelah Abu Bakar radhiyallahu
‘anhu bermusyawarah dengan para sahabat, ia tetapkan Umar bin Khathab radhiyallahu
‘anhu. Ketika Abu Bakar meninggal, Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu
pun pergi ke masjid dan ummat membai’atnya sebagai bentuk bai’at umum.
Ketiga; Metode pemilihan Utsman
bin Affan radhiyallahu ‘anhu.
Sebelum kematian Umar bin Khattab
radhiyallahu ‘anhu, ia telah memerintahkan untuk membentuk Majelis Syuro
yang terdiri dari 6 sahabat; yaitu Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Saad
bin Abi Waqas, Abdurrahman bin Auf, Zubair bin Awwam dan Thalhah bin Ubaidillah.
Lalu menambahkan putranya yaitu Abdullah, untuk menguatkan siapa yang akan
menjadi Khalifah setelahnya. Maka ketika musyawarah tidak mencapai titik temu
antara Ali bin Abi Thalib dan Utsman bin Affan, maka Abdullah menguatkan
pendapat Abdurrahman bin Auf untuk menjadikan Utsman bin Affan sebagai
Khalifah.
Keempat; Metode pemilihan Ali bin
Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu.
Setelah syahidnya Utsman bin
Affan radhiyallahu ‘anhu, bersepakatlah para sahabat dari kalangan
Muhajirin dan Anshar, termasuk di dalamnya adalah Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair
bin Awwam, untuk menetapkan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu
sebagai Khalifah.
Batam,
8 Desember 2015, 21.40
Muhammad Irfan Abdul Aziz
SMART
(Studi Masyarakat untuk Reformasi Terpadu)
2 komentar:
Keren. Terima kasih pencerahannya, Mas Irfan. Semoga sesudah baca postingan ini, orang-orang nggak lagi salah memilih pemimpin.
Terima kasih, sudah berkunjung, mbak Keyzia. Salah kenal...
Posting Komentar