Terbengong saya saat menatap syarat keempat yang diutarakan oleh Raja Ali Haji bagi para pemimpin yang hendak melakukan pembangunan. Sebagaimana yang tercantum dalam buku Tsamarat al Muhimmah (Dliyafat lil Umara' wal Kubara' li Ahli al Mahkamat), tertulis poin keempat syarat pembangunan yang baik adalah "Pembangunan tak boleh membawa cacat, menjejas, dan atau melunturkan nama baik pemimpin."
Dahulu saya pikir setiap pembangunan yang dilakukan oleh Pemimpin otomatis akan berdampak bagi citra baik pemimpin tersebut. Sebab dengan melakukan pembangunan, maka tampak bahwa pemimpin itu bekerja. Setidaknya pembangunan itu adalah capaian baktinya. Itu bukti nyata. Tapi ternyata ada kearifan lain yang disajikan dalam buku yang ditulis tahun 1858 M itu.
Saya mengulang-ulang syarat-syarat itu. Dari nomor pertama sampai keempat, lagi dan lagi. Tapi saya masih belum puas. Sebab faktanya, syarat ini ditulis sebagai poin tersendiri oleh beliau. Tentu ada maksud khusus darinya. Ia bukan sekadar pamungkas dari tiga poin sebelumnya.
Kalau tiga poin sebelumnya cukup jelas bisa dipahami; bahwa pembangunan tidak boleh bermudharat bagi jiwa-raga manusia, tidak boleh korbankan harta-benda masyarakat, dan tidak boleh mempermalukan manusia. Tapi poin keempat, sederhananya tidak boleh merusak nama baik pemimpin itu sendiri. Maksudnya? Hmm...
Saya rasa poin keempat itu khas. Bila tiga poin sebelumnya fokus pada objek pembangunan, maka poin keempat ini justru fokus pada subjek pembangunan dalam hal ini adalah pemimpin itu sendiri.
Sungguh arif Raja Ali Haji yang telah mengajak para pemimpin untuk arif terhadap diri mereka sendiri. Dan apa sesungguhnya yang dimaksud 'jangan merusak nama baik pemimpin'?
Ternyata, menurut seorang budayawan Riau bernama Abdul Malik, poin ini sangat terkait dengan niat. Saya pikir, benar juga.
Bukankah yang menjaga nama baik kita hanya Allah azza wa jalla? Maka bila ingin terjaga nama baik kita, hendaknya menjaga kemurnian niat hanya kepada-Nya.
Implementasinya menurut Abdul Malik, hendaknya pembangunan dijadikan sebagai wujud pengabdian kepada Sang Khaliq. Nah, bila pembangunan tak diniatkan untuk itu, bahkan cenderung bertentangan dengan syariat, maka kehinaanlah baginya. Logis!
Sungguh, Allah subhanahu wata'ala Maha Kuasa menghinakan siapapun. Fa na'udzu billah min dzalik.
Batam, 14 Desember 2015
Muhammad Irfan Abdul Aziz
SMART (Studi Masyarakat untuk Reformasi Terpadu)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar