Minggu, 13 Desember 2015

KAPAN PEMIMPIN HARUS DIGANTI?

sumber: www.freevectors.net

Para ulama telah menyimpulkan dalam tatanan hukum pemerintahan Islam, bahwa seorang Pemimpin Daulah Islamiyah wajib diganti apabila terjadi padanya beberapa hal sebagai berikut:


Pertama; hilangnya akal. Apabila seorang Pemimpin mengalami permasalahan dengan akalnya, semisal hilang ingatan ataupun gila, maka ia wajib diganti.

Kedua; hilangnya beberapa indera yang berpengaruh dalam memahami sesuatu permasalahan. Apabila hal ini menimpa seorang Pemimpin maka wajib ia diganti. Sebab hal ini akan menjadi kendala baginya dalam memahami permasalahan kehidupan sosial-kemasyarakatan, sehingga ia pun akan terkendala memberikan solusi-solusi sebagai tanggungjawabnya.

Ketiga; kehilangan anggota tubuh. Sebagian ulama memandang bila seorang Pemimpin tertimpa musibah yang mengakibatkan hilangnya anggota tubuhnya, maka ia hendaknya diganti. Namun demikian, sebagian ulama lainnya memandang hal ini tidak mengharuskan seorang Pemimpin diganti.

Keempat; berada dalam sandera. Hal ini karena salah satu syarat Pemimpin adalah merdeka. Maka bila ia tersandera yang artinya hilang kemerdekaannya, wajib baginya untuk diganti.

Kelima; kafir atau murtad. Cukup jelas untuk poin ini. Seorang Muslim atau sebuah tatanan masyarakat Muslim tidak boleh dipimpin oleh seorang kafir atau murtad. Sebab amanat kepemimpinan selain untuk menjaga kemaslahatan dunia juga untuk menjaga eksistensi agama.

Keenam; fasiq. Poin ini juga menjadi salah satu sebab yang bisa mewajibkan seorang Pemimpin diganti.

Namun terkait hal yang terakhir (poin keenam), ulama terbagi menjadi dua pendapat. Pendapat pertama yang menyatakan bahwa Pemimpin bisa dilengserkan karena kefasikannya. Pendapat kedua yang menyatakan bahwa Pemimpin tidak bisa dilengserkan karena kefasikannya.

Dr. Abdul Qader Abu Faris sendiri dalam bukunya “Sistem Politik dalam Islam” lebih memilih pada pendapat yang pertama. Apabila pada Pemimpin tampak ada kekurangan dalam beragama, baik berupa kefasikan maupun kerusakan moral.

Pilihan pada pendapat pertama ini didasarkan pada firman Allah subhanahu wata’ala, “Apakah kamu menyuruh manusia untuk berbuat baik, dan kamu melupakan dirimu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab, apakah kamu tidak berpikir?” (QS. Al Baqarah : 44)

Selain dalil dari al Qur’an tersebut, beliau juga mendasarkan pada dalil dari sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam. “Sesungguhnya ketaatan itu dalam hal yang ma’ruf.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dengan dua dalil itu, maka menurut beliau, ketaatan yang menjadi ikatan hubungan antara Pemimpin dan yang dipimpin akan terputus saat seorang Pemimpin melakukan kefasikan dan mengabaikan yang ma’ruf. Sehingga Pemimpin tersebut wajib diganti. Wallahu ‘alam.


Batam, 13 Desember 2015, 21.40

Muhammad Irfan Abdul Aziz
SMART (Studi Masyarakat untuk Reformasi Terpadu)



Baca juga:

Tidak ada komentar: