sumber: |
Para ulama telah menyimpulkan dalam tatanan hukum pemerintahan Islam, bahwa
seorang Pemimpin Daulah Islamiyah wajib diganti apabila terjadi padanya
beberapa hal sebagai berikut:
Pertama; hilangnya akal. Apabila seorang Pemimpin mengalami permasalahan
dengan akalnya, semisal hilang ingatan ataupun gila, maka ia wajib diganti.
Kedua; hilangnya beberapa indera yang berpengaruh dalam memahami sesuatu
permasalahan. Apabila hal ini menimpa seorang Pemimpin maka wajib ia diganti. Sebab
hal ini akan menjadi kendala baginya dalam memahami permasalahan kehidupan
sosial-kemasyarakatan, sehingga ia pun akan terkendala memberikan solusi-solusi
sebagai tanggungjawabnya.
Ketiga; kehilangan anggota tubuh. Sebagian ulama memandang bila seorang
Pemimpin tertimpa musibah yang mengakibatkan hilangnya anggota tubuhnya, maka
ia hendaknya diganti. Namun demikian, sebagian ulama lainnya memandang hal ini
tidak mengharuskan seorang Pemimpin diganti.
Keempat; berada dalam sandera. Hal ini karena salah satu syarat Pemimpin adalah merdeka. Maka bila ia
tersandera yang artinya hilang kemerdekaannya, wajib baginya untuk diganti.
Kelima; kafir atau murtad. Cukup jelas untuk poin ini. Seorang Muslim
atau sebuah tatanan masyarakat Muslim tidak boleh dipimpin oleh seorang kafir
atau murtad. Sebab amanat kepemimpinan selain untuk menjaga kemaslahatan dunia
juga untuk menjaga eksistensi agama.
Keenam; fasiq.
Poin ini juga menjadi salah satu sebab yang bisa mewajibkan seorang Pemimpin
diganti.
Namun terkait hal yang terakhir (poin keenam), ulama terbagi menjadi dua
pendapat. Pendapat pertama yang menyatakan bahwa Pemimpin bisa dilengserkan
karena kefasikannya. Pendapat kedua yang menyatakan bahwa Pemimpin tidak bisa
dilengserkan karena kefasikannya.
Dr. Abdul Qader Abu Faris sendiri dalam bukunya “Sistem Politik
dalam Islam” lebih memilih pada pendapat yang pertama. Apabila pada Pemimpin
tampak ada kekurangan dalam beragama, baik berupa kefasikan maupun kerusakan
moral.
Pilihan pada pendapat pertama ini
didasarkan pada firman Allah subhanahu wata’ala, “Apakah kamu menyuruh manusia untuk berbuat baik, dan
kamu melupakan dirimu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab, apakah kamu tidak
berpikir?” (QS. Al Baqarah : 44)
Selain dalil dari al Qur’an
tersebut, beliau juga mendasarkan pada dalil dari sabda Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasalam. “Sesungguhnya ketaatan itu dalam hal yang ma’ruf.” (HR.
Bukhari dan Muslim)
Dengan dua dalil itu, maka
menurut beliau, ketaatan yang menjadi ikatan hubungan antara Pemimpin dan yang
dipimpin akan terputus saat seorang Pemimpin melakukan kefasikan dan
mengabaikan yang ma’ruf. Sehingga Pemimpin tersebut wajib diganti. Wallahu
‘alam.
Batam,
13 Desember 2015, 21.40
Muhammad Irfan Abdul Aziz
SMART (Studi Masyarakat untuk Reformasi
Terpadu)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar