Sebelumnya,
mari kita berimajinasi dengan jawaban-jawaban ini. “Kami berangkat jihad
untuk mempertahankan tanah air kami yang sedang terancam.” Atau jawabannya
begini, “Kami pergi jihad untuk memperluas wilayah kami dan mendapatkan
rampasan yang banyak.”
Memahami
jawaban adalah bagian dari cara kita memahami motif, proses dan dampak yang
ditimbulkannya. Maka untuk memahami motif Jihad, prosesnya serta dampak yang
ditimbulkannya, kita perlu memahami jawaban para mujahidnya. Apakah jawaban
yang pertama ataukah jawaban yang kedua pada paragraf pertama tersebut?
Ternyata
mujahid sejati, tidak pernah menjawab keduanya. Sebagaimana salah satu yang
terekam dalam sejarah adalah jawaban tiga mujahid Islam kepada Panglima Persia
di medan Qadisiyah. Apa jawaban Ruba’i bin Amir, Khudzaifah bin Muhshan dan
Mughirah bin Syu’bah kepada Rustum?
“Allah
telah mengirim kami untuk membebaskan orang yang ingin melepaskan diri dari
ketundukan kepada makhluk menuju ketundukan kepada Allah semata; dari dunia
yang sempit menuju dunia yang leluasa; dan dari kezaliman agama-agama menuju
keadilan Islam. Allah telah mengutus Rasul-Nya kepada makhluk-Nya. Barangsiapa
menerima (seruan) kami, kami akan menerima (perdamaian)nya, mencabut bendera
perang dengannya, serta akan melepaskan dirinya dan wilayahnya. Namun,
barangsiapa menolak maka kami akan memeranginya sampai kami merengkuh surga
(mati syahid) atau meraih kemenangan.”
Jadi, para
Mujahid sejati itu berangkat bukan atas nama dirinya maupun kaumnya, melainkan
atas nama Allah Rabb semesta. Jadi, misi jihad sejati hanyalah membebaskan
manusia dari ketundukan kepada makhluk kepada ketundukan kepada Khaliq semata.
Maka proses jihad sejati adalah menerima perdamaian bila berkenan terhadap
seruan pembebasan tersebut dan tetap memerangi bila sekat-sekat belenggu masih
ditancapkan oleh para Dzalim di setiap dada manusia yang dilingkupinya. Maka
dampak yang ditimbulkan dari jihad sejati adalah menetapkan eksistensi Allah
sebagai penguasa semesta dan menetapkan eksistensi manusia sebagai makhluk
semata yang tiada membeda kecuali taqwa.
Baik,
mencermati jawaban itu adalah salah satu prolog kita untuk memahami konsepsi
Jihad yang sejati. Selanjutnya kita lengkapi prolog ini dengan membandingkan
konsepsi agama dalam persepsi Barat dan persepsi Islam. Sebab dengan memahami
persepsi agama yang sejati, maka kita akan dapat memahami konsepsi jihad yang
lahir dari persepsi agama sejati tersebut. Dan pemahaman inilah yang akan
memudahkan kita mencermati titik konflik dan kesalahpahamannya.
Persepsi
Barat telah memandang agama ini sebatas aqidah di dalam hati, yang tidak
memiliki posisi dalam praktis kehidupan. Sehingga ketika agama ini melahirkan
jihad, maka jihad itu dipandang sebagai perjuangan untuk menancapkan aqidah di
hati setiap manusia.
Adapun
persepsi Islam memandang bahwa agama ini adalah konsep Allah bagi kehidupan
kemanusiaan. Maka ketika agama ini menyeru jihad, sesungguhnya jihad itu
dipandang sebagai perjuangan untuk menegakkan konsep dan membangun sistem yang
telah ditetapkan Allah. Adapun urusan aqidah diserahkan kepada kebebasan
masing-masing individu dalam nuansa kemerdekaan diri.
Dengan
demikian, maka kita memahami bahwa jihad pada akhirnya adalah kehendak
kemanusiaan dan bukanlah kehendak agama itu sendiri. Sebab kepentingannya untuk
maslahat kemanusiaan bukan maslahat agama. Dikatakan kehendak kemanusiaan
karena merupakan usaha menata kehidupan dengan konsep dan sistem yang telah
ditetapkan oleh Tuhan penata semesta, yang paham betul pola ketertataan yang
semestinya dalam kehidupan yang telah Dia ciptakan. Dan bukan dikatakan
kehendak agama karena memang tidak ditujukan untuk memaksa orang beragama
Islam.
Terakhir
dalam prolog ini, marilah kita cermati pula bagaimana tema jihad ini diangkat
oleh banyak orang yang berangkat dari rasa minder secara spiritual maupun
intelektual. Kenapa mereka minder? Sebabnya adalah himpitan realita yang
mengancam kaum Muslimin. Sebagian realita itu mencibir karena jihad dipandang
sebagai tindak kekerasan, lalu sebagian ummat tak tahan dengan cibiran itu.
Maka
alih-alih menjelaskan konsepsi jihad yang sesungguhnya, justru tersekat pada
usaha yang tak berujung dalam membela jihad dengan mengalihkan diskusi yang
semakin memburamkan konsepsi jihad. Ujung-ujungnya dirundung kebimbangan dalam
menghadapi dua kutub; Pertama yang mencela penggunaan kekerasan, dan Kedua yang
mendukung meruntuhkan kekuatan zalim.
Karena
kebimbangan itulah, akhirnya menyederhanakan konsepsi dengan mengatakan bahwa
Jihad merupakan bentuk perang mempertahankan diri. Tentu ini penyederhanaan,
karena ketidak-tahanan diri berlelah menghadapi dua kutub sikap yang saling
berlawanan.
Sebab, Jihad
tidak ada hubungannya dengan peperangan manusia; bukan merupakan faktor pemicu
dan bukan merupakan bentuk adaptasinya. Maka konsepsi inilah yang harus kita
tuntaskan. Kita perlu memahami faktor pemicu jihad yang sesungguhnya, agar
tidak salah persepsi. Faktor pemicu Jihad itu dapat kita mengerti melalui
pemahaman akan identitas Islam, peran Islam dan tujuan-tujuannya di muka bumi.
Deskripsi Jihad oleh Ibnul Qayyim
Ibnul Qayyim
menyisipkan bahasan “Rangkaian
Tuntunan Beliau Shalallahu ‘alaihi Wasallam dalam Hubungannya
dengan Kaum Kafir dan Munafik Sejak Diutusnya Beliau Hingga Berjumpa dengan
Allah azza wa jalla” dalam kitabnya Zaadul Ma’ad. Pada pembahasan
tersebut, beliau menerakan beberapa poin.
Bahwa berdasar urutan ayat yang
turun di awal kepada Rasulullah, maka mulanya adalah perintah kenabian dengan
‘Bacalah!’ lalu perintah kerasulan dengan ‘Berilah Peringatan!’. Begitulah;
Nabi diberi risalah, namun Rasul diberi risalah dan wajib berdakwah.
Maka Ibnul Qayyim merangkum
urutan perjalanan dakwah Rasulullah menjadi 5 tahapan: kepada Kerabat dekat,
kepada Kaum asal, kepada Masyarakat setempat, kepada Bangsa sekawasan, dan
kepada Manusia sedunia. Sementara dua karakter Dakwah yang disebutkannya; yaitu
Tanpa Pertumpahan Darah dan Tanpa Menerima Upah.
Adapun untuk dua karakter itu,
Rasulullah diarahkan oleh Allah untuk melalui tiga langkah: Menjaga Harga Diri
dengan Bersabar dan Mudah Memaafkan, Berhijrah, serta Berperang. Perang inipun
terbagi menjadi dua arahan: Melawan Pihak yang Memerangi dan Menahan Diri
terhadap Pihak yang Tidak Memerangi.
Hingga akhirnya memerangi kaum
Musyrik secara umum agar agama ini semata-mata untuk Allah.
Tiga
Sikap terhadap Tiga Kelompok
Setelah ada perintah Jihad, orang
kafir diklasifikasikan menjadi tiga kelompok: Terikat Perjanjian Damai, Layak
Diperangi, dan Dalam Perlindungan.
Kepada yang terikat perjanjian,
Rasulullah memenuhi perjanjian. Bila ada gejala pengkhianatan, maka Rasulullah
mengembalikan perjanjian sampai terbukti pengkhianatannya. Bila benar telah
dilanggar, maka Rasulullah diperintahkan untuk memeranginya.
Kepada yang layak diperangi,
Rasulullah melawan dengan senjata kepada orang-orang kafir dan melawan dengan
argumentasi-retorika kepada orang-orang Munafik. Diperintahkan untuk merespon
perdebatan mereka dan menundukkan mereka, serta berbicara dengan ungkapan
ekspresif yang menyentuh relung hati mereka.
Kepada yang dalam perlindungan,
Rasulullah mengambil jizyah (pungutan jaminan) atau mereka masuk Islam.
Tiga Kelompok yang Tersisa
Kira-kira demikianlah perjalanan
disyariatkannya Jihad, dan demikian pula pembagian orang-orang kafir setelah
disyariatkannya Jihad. Maka akhirnya manusia di muka bumi terbagi menjadi tiga
kelompok sebagai berikut:
Pertama; kaum Muslimin yang
beriman kepada Rasulullah. Yaitu orang-orang yang beriman kepada Allah –Tuhan
Yang Esa- dan Rasulullah. Mereka saat itu adalah kalangan Muhajirin dan Anshar.
Kedua; kaum yang berdamai dan
berlindung kepada Rasulullah. Yaitu orang-orang yang tidak beriman kepada
Rasulullah, bahkan mempersekutukan Allah, namun berdamai dan berlindung kepada
Rasulullah. Mereka saat itu adalah dari kalangan Yahudi di Madinah yang terikat
perjanjian dengan Rasulullah.
Ketiga; kaum penakut yang melawan
Rasulullah. Yaitu orang-orang yang tidak beriman kepada Rasulullah dan
mempersekutukan Allah, lalu menentang Rasulullah meskipun dengan keberanian
yang tersisa sebab seringnya mereka ditaklukkan oleh Rasulullah di medan
pertarungan. Mereka saat itu adalah kaum Musyrikin dan Nashrani di segenap
wilayah.
Empat
Karakter Jihad
Setelah kita mencermati tapak
demi tapak perjalanan tersebut, maka selanjutnya kita dapat mencermati
karakter-karakternya. Setidaknya ada 4 karakter Jihad yang dapat kita maklumi.
Pertama; karakter sebagai Sarana.
Sebab sangat realistis bila agama ini berinteraksi dengan segenap fenomena
kemanusiaan menggunakan beragam sarana yang relevan. Seperti menghadapi
kejahiliyahan dalam keyakinan dan pemikiran yang ditopang para penguasa, maka
kita perlu menghadapinya dengan sarana yang dapat menandinginya. Setidaknya dua
hal: (1) Retorika dan wacana untuk meluruskan keyakinan-keyakinan dan
pemikiran-pemikiran; dan (2) Kekuatan dan perjuangan untuk menyingkirkan
hukum-hukum yang membatasi dan penguasa-penguasanya. Intinya gerakan dakwah
Islam apapun bentuknya sama saja, yang terpenting pro-aktif melepaskan manusia
dari pengabdian kepada sesama menjadi pengabdian kepada Allah semata.
Kedua; karakter sebagai gerakan
Progresif-Implementatif. Sebab sangat relistis bila agama ini bergerak dengan
bertahap, yang setiap tahapan memiliki sarana tersendiri dan setiap tahapan
mengantarkan kepada tahapan berikutnya. Sehingga agama ini bukan hanya teori,
yang menghadapi realita dengan sarana stagnan. Maka menjadi karakter Jihad
adalah progresif, dan bukannya defensif.
Ketiga; karakter sebagai gerakan
Perlawanan. Sebagaimana agama ini bertujuan untuk memurnikan penghambaan kepada
Allah dan keluar dari penghambaan kepada makhluk. Maka jihad memiliki karakter
perlawanan kepada manusia-manusia yang memperbudak sesamanya.
Keempat; karakter sebagai Sistem
Kontrol. Bahwa dalam kehidupan ini perlu adanya sistem konrol terhadap berbagai
persinggungan antara masyarakat muslim dan non muslim, di atas slogan bahwa
Islam adalah milik Allah. Maka sistem kontrol itulah Jihad.
Masalah
Kemanusiaan
Kenapa kita perlu Jihad?
Jawabanya untuk menyelesaikan masalah kemanusiaan. Sebab yang membutuhkan jihad
itu adalah kemanusiaan, bukan agama itu sendiri.
Menyelesaikan masalah kemanusiaan
ini sangat terkait dengan penerapan tata kelola kehidupan sebagaimana yang
diatur oleh Allahsubhanahu wata’ala. Bahwa tata kelola yang telah Allah
tetapkan tidak bisa terimplementasi hanya dengan retorika dan wacana. Karena
para penguasa yang berpengaruh dan pihak yang merampas otoritas Allah di bumi,
mereka tidak akan menyerahkan otoritasnya begitu saja hanya disebabkan retorika
dan wacana.
Begitulah konsep dan sistem agama
ini, bukan merupakan seruan yang bersifat teori yang pasif, melainkan berupa
proklamasi yang proaktif. Sehingga harus ada pergerakan selain ada wacana.
Dengan demikian; wacana akan menghadapi berbagai teologi dan konsepsi,
sedangkan pergerakan akan menghadapi sekat-sekat fisik.
Pergerakan ini awalnya akan
menghadapi kekuatan yang lebih dominan, lalu menghadapi realita secara total
dengan sarana yang relevan. Sebab perbudakan besar pada manusia di mata Islam
adalah ketundukan manusia pada hukum-hukum yang diberlakukan kepada mereka oleh
sekelompok manusia lainnya.
Bila mereka telah merdeka, maka
mereka akan bebas memeluk aqidah sekehendak hatinya. Inilah realisasi konsep
“Agama Itu Semata-mata untuk Allah”; yaitu ketergantungan dan ketundukan hanya
kepada Allah.
Orientasi agama lebih luas dari
orientasi aqidah. Karena agama adalah sistem kehidupan. Sehingga memungkinkan
adanya loyalitas beragam komunitas kepada sistemnya yang umum. Jadi, mungkin
saja dalam sebuah tatanan masyarakat itu berbeda-beda keyakinannya, namun
sistem yang dijalankan adalah sistem yang telah ditetapkan Allah dalam al
Qur’an dan penjelasan Hadits Rasul-Nya. Sesungguhnya sistem ini adalah sistem
umum yang ditujukan bagi semua manusia, landasannya adalah nilai universal
yaitu Keadilan.
Memahami Jihad
Dengan demikian, Jihad bukan
pergerakan membela diri, melainkan pergerakan yang berani untuk memerdekakan
manusia di bumi. Tujuannya adalah seperti tujuan Islam itu sendiri sebagai
berikut:
1.
Menyeru pembebasan manusia dari
perbudakan sesama manusia.
2.
Menetapkan ketuhanan Allah semata
dengan segala kuasa-Nya atas makhluk.
3.
Memusnahkan cengkeraman nafsu
manusia di bumi.
4.
Menegakkan syariat Allah di dunia
manusia.
Maka ia digunakan ketika ada
sekat dan tekanan, sehingga dakwah harus menyingkirkannya lebih dahulu dengan
kekuatan fisik. Namun apabila sekat-sekat bisa dipisahkan dari
individu-individu, sehingga dakwah leluasa berdialog dengan objeknya yang bebas
dari segala pengaruh, maka cukuplah dengan retorika dan wacana.
Sekat dan tekanan itulah yang
menjadi tabiat untuk saling berebut kekuasaan terhadap sesamanya. Maka Jihad
adalah sarana untuk menyelamatkan kesemena-menaan antar manusia. Sebagaimana
yang digambarkan dalam surat al Hajj ayat 40, “...Seandainya Allah tidak
menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentu telah
dirobohkan biara-biara Nashrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi
dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah....”
Tahapan
Rasulullah
Menurut Ibnu Qayyim, hukum
berperang telah melalui beberapa tahapan: Dilarang, Diizinkan, Diperintahkan,
dan Diwajibkan. Adapun rincian tahapannya sebagai berikut:
1. Allah melarang mengorbankan jihad
di Makkah dan pada awal hijrah. Sebagaimana diwantikan dalam surat an Nisa ayat
77.
2. Allah mengizinkan adanya
perlawanan. Sebagaimana yang dinyatakan dalam surat al Hajj ayat 39.
3. Allah memerintahkan memerangi
pihak-pihak yang memerangi. Sebagaimana yang ditegaskan dalam surat al
Baqarah ayat 190.
4. Allah mewajibkan berjibaku
melawan kaum musyrikin secara total. Sebagaimana yang diperintahkan dalam surat
at Taubah ayat 36.
Kenapa
di Makkah Dilarang?
Sebagaimana firman Allah,
“Tidakkah engkau memperhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka, ‘Tahanlah
tanganmu (dari berperang), laksanakanlah shalat dan tunaikanlah zakat!’” (QS.
An Nisa : 77)
Larangan ini menurut Sayyid Qutb
dalam Fii Zhilalil Qur’an dapat dimaknai dengan lima hal
sebagai berikut:
Pertama; bahwa pada Periode
Makkah merupakan periode pembinaan dan persiapan, sehingga jangan sampai proses
pembinaan ini tidak mencapai hasil yang matang karena tidak kondusifnya suasana
akibat Jihad. Sebab sedikitnya ada tiga sektor pembinaan yang dilakukan:
1. Membina individu Arab untuk
bersabar menghadapi penindasan, agar jiwanya bersih dan pikirannya objektif.
2. Membina dan mengendalikan emosi
agar jangan mudah terpancing dan bergejolak sebagaimana watak asalnya.
3. Membina untuk berbaur dalam
koordinasi yang terstruktur rapih dengan pemimpin yang ditaati.
Kedua; bahwa Dakwah dengan tanpa
senjata lebih efektif dan praktis untuk lingkungan kaum Quraish yang memiliki
arogansi sehingga potensial semakin menentang dan membalas dendam.
Ketiga; bahwa larangan ini untuk
menghindari munculnya pertikaian dan perselisihan internal antar anggota
keluarga yang tinggal dalam satu rumah, karena tidak ada otoritas yang bisa
mendamaikan bila sebuah keluarga berselisih. Apalagi di saat yang sama, kaum
Quraish gencar mempropaganda bangsa-bangsa Arab yang sedang berhaji dan
berdagang dengan mengatakan, “Sesungguhnya Muhammad telah memisahkan anak
dari orangtuanya, lebih dari itu juga memisahkannya dari kaum dan sanak
keluarganya.”
Keempat; bahwa sejarah telah
mengajarkan akan banyaknya penentang Islam yang kemudian menjadi bagian dari
pasukan pembela Islam, bahkan termasuk para pemimpinnya. Meskipun karena
semangat kesamaan suku dan sebagainya. Seperti Ibnu Daghnah yang tetap setia
membela Abu Bakar ketika dikucilkan kaumnya. Dan satu hal yang kita pelajari
dari peradaban kuno yang terkungkung dalam kerendah-dirian, biasanya justru
punya semangat soliditas sosial yang lebih baik. Maka menghindari perang di
Makkah artinya membuka peluang pembelaan dari masyarakatnya yang semakin
simpati.
Kelima; bahwa kala itu jumlah ummat
Islam masih sedikit dan terkonsentrasi di Makkah. Meskipun ada yang menyebar,
tapi belum terkoordinasi. Maka komando jihad tidak akan efektif dalam kekuatan
yang terkonsentrasi hanya pada satu tempat dan belum terkoordinasi dengan
kekuatan di luarnya.
Kenapa
di Madinah Dibolehkan bahkan Diperintahkan?
Kondisi di Madinah yang dibuka
dengan perjanjian damai antara Rasulullah dengan pihak kaum Yahudi dan
kabilah-kabilah Arab yang musyrik, kemudian melahirkan pembolehan bahkan
perintah Jihad. Sayyid Qutb memandang bahwa pembolehan bahkan perintah ini karena
dua hal berikut:
Pertama; Rasulullah telah
berkesempatan untuk beretorika dan berwacana, tanpa ada tekanan dari suatu
rezim politik yang mencegah beliau dan menghalangi beliau berdialog dengan
masyarakat, bahkan diterima dan diakui sebagai pemimpin. Sebab dalam
perjanjiannya melarang seorang pun dari masyarakat Madinah yang mengadakan
perjanjian atau mengobarkan perang serta menjalin kerjasama dengan pihak luar
kecuali atas izin Rasulullah.
Kedua; Rasulullah ingin
memfokuskan diri untuk menghadapi kaum Quraisy, yang bisa menjadi pengganjal
menghadapi kabilah-kabilah lainnya. Maka disebar peleton-peleton pada awal
bulan Ramadhan (atau bulan ketujuh setelah Hijrah), dengan komandan pertama
adalah Hamzah bin Abdul Muthallib. Pasukan ini beroperasi secara sinambung;
awal bulan kesembilan, awal bulan ketigabelas, awal bulan keenambelas. Lalu
awal bulan ketujuhbelas (bulan Rajab), dilanjutkan oleh Abdullah bin Jahsy
hingga terjadi konfrontasi pertama dan berlanjut perang Badar Kubro.
Niscaya
Realita
Beginilah jihad. Dan begini pula
kebutuhan kita pada jihad. Sebab, agama ini harus mengantisipasi pihak-pihak
yang hendak menyerangnya, karena eksistensinya itu sendiri berupa proklamasi
universal atas kemahakuasaan Allah terhadap alam semesta dan pembebasan insan
dari ketundukan kepada selain Allah.
Maka, memang beginilah niscaya
realitanya. Mereka akan berusaha menghabisi agama ini sebagai langkah membela
eksistensi mereka. Sehingga benturan fisik tidak bisa dihindari, dan kita telah
menyiapkan instrumen untuk menghadapinya berupa Jihad. Akan tetapi, sebelum
berjihad ke medan perang, seorang Muslim semestinya telah menceburkan diri
dalam jihad akbar melawan setan dalam dirinya sendiri.
Nilai yang Harus Dijaga
Eksistensi Islam sejak awal
memiliki karakteristik selalu bergerak maju untuk menyelamatkan manusia di bumi
dari ketundukan kepada selain Allah. Bergerak maju ini tidak boleh berhenti
pada batas-batas geografis, tidak pula mengisolasi diri dalam sekat-sekat
etnis, sehingga membiarkan manusia di seluruh bumi berbuat kejahatan,
kerusakan, dan peribadatan kepada selain Allah.
Adapun tujuan jihad dalam hal ini
adalah menyerang sistem-sistem dan aturan-aturan yang mengungkung. Sehingga
setiap individu dapat bebas dari pengaruh-pengaruh yang sesat, yang bertentangan
dengan fitrah dan membelenggu kebebasan memilih.
Inilah keunikan sistem Islam! Ia
bukanlah semata-mata aqidah, sehingga merasa cukup dengan menyampaikan
aqidahnya melalui wacana kepada manusia. Melainkan ia adalah sebuah konsep yang
tercermin dalam komunitas sistemik-dinamis yang tampil untuk membebaskan
seluruh manusia.
Karenanya, komunitas-komunitas
lain tidak akan memberikan momentum kepada Islam untuk mengatur kehidupan para
anggota mereka sesuai konsep Islam. Sebab mereka tidak ingin kehilangan kuasa
atas manusia-manusia itu. Di sinilah benturannya!
Jadi... Jihad membentur
diktatorisme, namun menyelamatkan ruh kemanusiaan yang hakiki. Kemerdekaan
individu, itulah ruh kemanusiaan yang diperjuangan dalam Jihad.
من كتاب معالم في الطريق لسيد قطب
Baca juga:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar