sumber: strategy4management.wordpress.com |
Sebagai seorang Muslim, tentu kita memiliki tuntunan yang khas
dalam menjalani kehidupan ini. Tuntunan itu menjadi khas, karena berasal dari Sang
Pencipta Kehidupan yang tahu betul seluk-beluk kehidupan ini. Karenanya,
tuntunan Sang Pencipta itu sungguh mengarahkan kita kepada kehidupan yang baik
dan penuh manfaat yang hakiki.
Tuntunan itu diturunkan dalam bentuk dalil-dalil, baik al Qur’an
sebagai firman-Nya maupun Hadits sebagai sabda Rasul-Nya. Maka kita sebagai
Muslim, hendaknya dalam melangkah dan bertindak di setiap fase kehidupan ini
memperhatikan betul dalil-dalil yang memandu tersebut. Termasuk dalam hal
menentukan prioritas. Sehingga yang menjadi pertimbangan bukan sekadar
akal-akal kita yang terbatas, namun hendaknya kita telah mengawali dari pertimbangan
akan dalil-dalilnya. Setelah menimbang dalil-dalilnya, lalu kita dapat
menimbang aspek amal-amalnya serta tujuan-tujuannya.
Oleh karena itu, setidaknya ada tiga tahapan mekanisme yang dipandu
oleh Islam dalam menentukan prioritas. Tiga tahapan mekanisme ini merupakan rumusan
disiplin keilmuan yang telah diwariskan para ulama, yang dengannya lebih
memudahkan sekaligus lebih menyelamatkan kehidupan kita. Demi kebaikan dunia
dan akhirat kita, serta demi kebaikan ummat Islam seluruhnya.
Pertama; menentukan Prioritas Dalil
Tahapan pertama yang perlu kita perhatikan dalam mekanisme
menentukan prioritas adalah menentukan prioritas dalil bagi masing-masing
pilihan. Sebelum lebih jauh kita berpikir akan sesuatu yang harusnya kita
lakukan, maka kita perlu melihat landasan dalilnya terlebih dahulu. Sehingga
kita dapat memilah dalil yang perlu didahulukan karena kevalidannya serta dapat
legowo dengan dalil yang dikesampingkan dahulu karena kurang valid.
Dalam menimbang dalil, ulama telah merumuskan disiplin keilmuan Fiqhun
Nash. Yaitu sebuah disiplin keilmuan yang memilah dalil-dalil Nash
yang bersifat kulliyah (keseluruhan) dan bersifat juz’iyah
(sebagian). Dalil yang bersifat kulliyah itu menekankan pada aspek Ushul
(pokok), sementara dalil yang bersifat juz’iyah itu menekankan pada
aspek Furu’ (cabang). Maka yang pokok lebih didahulukan daripada yang
cabang.
Selanjutnya, dalil yang bersifat juz’iyah dapat dipilah lagi
menjadi dalil Qath’i (sudah pasti) dan dalil Dhanni (masih sangkaan),
serta ada dalil yang Muhkam (hal yang Jelas) dan dalil yang Mutasyaabih
(hal yang Samar). Maka dalil yang sudah pasti riwayatnya lebih didahulukan dari
dalil yang masih sangkaan riwayatnya, begitupun dalil terkait hal yang jelas
didahulukan dari dalil terkait hal yang samar. Adapun dalil yang masih sangkaan
riwayatnya dapat diambil bila terkait hal yang sifatnya Muhkam (jelas).
Begitulah proses menuju penetapan syariat terhadap suatu hal yang
sedang ditimbang prioritasnya. Sehingga kita bertemu pada kesimpulan mana yang Ushul
(pokok) dan mana yang furu’ (cabang), begitupun mana yang mustamir (berkelanjutan)
dan mana yang munqathi’ (terputus), serta mana yang sifatnya ‘Aam
(umum) dan mana yang sifatnya Khash (khusus).
Setelah kita mengenali hal-hal tersebut berdasarkan pertimbangan
dalil-dalilnya, maka dalam kehidupan kita mendahulukan hal yang Pokok dari
agama ini sebelum hal yang Cabang dari agama ini. Kita juga hendaknya
mendahulukan hal yang bersifat Kontinu manfaat dan pelaksanaannya daripada hal
yang sifatnya Terputus sesaat manfaat dan pelaksanaannya. Kitapun mendahulukan
yang sifatnya berdampak Umum dari yang sifatnya berdampak Khusus.
Kedua; menentukan Prioritas Amal
Tahapan kedua yang perlu kita perhatikan dalam mekanisme menentukan
prioritas adalah menentukan prioritas amal yang menjadi pilihan. Tentu ini kita
lakukan setelah memetakan landasan dalil masing-masing amal yang menjadi
pilihan. Sehingga kita sudah mengetahui mana yang memiliki landasan dalil yang
valid dengan sifat Pokok-Kontinu-Umum dan mana yang landasan dalilnya bersifat
Cabang-Terputus-Khusus. Yang pertama kita dahulukan dari yang kedua.
Dengan memahami dalil-dalil tersebut, kitapun bisa menyimpulkan
mana amal yang Wajib, yang Sunnah, yang Mubah, yang Makruh dan yang Haram.
Sebab yang Wajib didahulukan dari yang Sunnah, yang Sunnah didahulukan dari
yang Mubah. Begitupun meninggalkan yang Haram didahulukan dari meninggalkan
yang Makruh. Inilah warisan ulama yang telah merumuskan disiplin keilmuan Fiqh
Muwazanah. Yaitu konsepsi dalam menimbang amal-amal berdasarkan bobot hukumnya
yang disimpulkan dari landasan dalilnya.
Bila pilihannya adalah amal yang Maslahat (manfaat) dan amal
yang Mafsadat (merusak), maka meninggalkan yang Mafsadat lebih diprioritaskan
daripada melaksanakan yang Maslahat. Namun bila tingkat Maslahat
lebih besar daripada tingkat Mafsadat, maka melaksanakan Maslahat lebih
diprioritaskan daripada meninggalkan Mafsadat. Begitupun bila Maslahat
lebih langgeng manfaatnya daripada meninggalkan Mafsadat, maka
melaksanakan Maslahat lebih diprioritaskan daripada meninggalkan Mafsadat.
Satu lagi, bila Maslahat dari suatu hal sudah pasti adanya daripada Mafsadat
dari suatu hal yang masih disangkakan, maka melaksanakan Maslahat lebih
diprioritaskan daripada meninggalkan Mafsadat.
Ketiga; menentukan Prioritas Tujuan
Tahapan ketiga yang perlu kita perhatikan dalam mekanisme
menentukan prioritas adalah menentukan prioritas tujuannya. Sebagaimana dalam
ibadah, ada dalil yang menjadi landasan dan ada tujuan yang menjadi sasaran.
Maka ulama telah merumuskan disiplin keilmuan berupa Fiqh Maqoshid.
Kita mendapatkan panduan-panduan pelaksanaan dari dalil, namun
dengan memahami Maqoshid (tujuan) kita mengetahui tujuan-tujuan yang
hendaknya dicapai. Bila aspek pelaksanaan bersifat fleksibel, maka tujuan
bersifat tetap. Pelaksanaan bisa menyesuaikan situasi dan kondisi, sementara
tujuan harus terwujud apapun situasi dan kondisinya. Pada tahap ketiga inilah
kita perlu memahami mana tujuan yang tetap dan mana pelaksanaan yang dapat
berubah.
Sebagaimana tujuan shalat adalah menghindari dari perbuatan buruk
dan munkar (al ‘Ankabut : 45), maka ia harus terwujud bagaimanapun kondisinya.
Adapun pelaksaan sholat fleksibel mengikuti kondisi, ia dapat berdiri maupun
dapat sambil duduk bahkan berbaring. Dapat pula dijama’, pun diqashar.
Seperti pula Zakat yang memiliki tujuan membersihkan dan mensucikan
pemilik harta (at Taubah : 103), Puasa yang memiliki tujuan menjadi insan bertakwa
(al Baqarah : 183), dan Haji yang memiliki tujuan menyaksikan manfaat-manfaat
bagi penunainya (al Hajj : 28). Namun pelaksanaan Zakat bisa berupa uang tunai
maupun bahan makanan, begitupun pelaksanaan Puasa bisa qadha maupun mengganti
dengan memberi berbuka bila telah renta tak kuasa berpuasa, serta Haji dapat
ditunaikan sendiri maupun dibantu perwakilan dalam menunaikannya.
Begitupun seperti contoh zakat Fitrah yang bisa berupa makanan
pokok maupun uang tunai, dengan memperhatikan tujuannya membahagiakan dan
menyediakan bahan makanan para faqir-miskin di Hari Raya. Atau contoh lain
terkait melempar Jumroh sebelum masuk waktu Dhuhur, maka pelaksanaannya bisa
ditunda sorenya dengan mempertimbangkan keselamatan jamaah.
Beginilah hikmahnya tuntunan Islam dalam menentukan prioritas,
bahwa Tujuan suatu amal itu lebih prioritas daripada Cara Pelaksanaan amal tersebut.
Epilog
Dengan memahami tiga tahapan menentukan prioritas tersebut, semoga
kita lebih mudah mengurai konflik yang mungkin terjadi dalam keseharian kita.
Misalkan perselisihan terkait penyelenggaraan Maulid Nabi di sebuah sekolah
yang beragam guru dan muridnya. Satu pihak mengatakan bahwa Maulid perlu
diselenggarakan, sementara pihak lain mengatakan bahwa Maulid tidak perlu
diselenggarakan. Maka sederhana saja dalam menimbang prioritasnya.
Awalnya kita timbang dahulu dari aspek dalil. Apakah Maulid
termasuk hal yang Wajib, Sunah atau Mubah? Apakah bisa terjatuh pada Makruh
atau Haram? Lalu setelah kita pilah prioritas dari aspek dalilnya, maka kita
bisa menimbang apakah maslahat atau mafsadat yang ada dalam
pelaksanaannya lebih besar, lebih pasti, dan lebih langgeng? Bila pelaksanaan
Maulid tidak menimbulkan mafsadat perseteruan guru dan pendanaan yang
dipaksakan, maka dapat menjadi prioritas untuk diselenggarakan. Terakhir ia
akan tetap menjadi prioritas bila Tujuan penyelenggaraannya dapat tercapai,
namun bila tidak tercapai tujuannya maka prioritasnya gugur. Dalam hal Maulid
maka tujuannya adalah menumbuhkan kecintaan kepada Rasulullah, maka bila tujuan
ini tidak tercapai perlu ada evaluasi untuk memprioritaskannya. Sebab tujuannya
adalah tumbuhnya kecintaan kepada Rasulullah, sedangkan Maulid adalah sarananya
yang bersifat fleksibel.
Demikianlah panduan Islam dalam menentukan prioritas. Dengan
demikian kita akan mampu menetapkan prioritas dengan menjaga kebenaran Dalil,
urgensitas pelaksanaan serta terjaganya tujuannya. Maka, bila tahapan-tahapan ini
yang kita lakukan, seorang Muslim akan tampil dengan prioritas yang lebih
bertanggungjawab, dan tidak sekadar memprioritaskan keinginan diri yang sangat
subjektif.
Jakarta, 29 Maret 2016
Muhammad Irfan Abdul Aziz
#GenerasiFokus1437H
Baca juga:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar