Rabu, 16 Maret 2016

[Pelajaran III] BUKAN KISAH SATU ORANG


“Dan ingatlah!” Sholahuddin al Ayyubi kembali berpesan kepada Al Qadhil Fadhil sebelum menggenapi penulisan sejarah kepemimpinannya. “Bahwa kisah Sultan, bukanlah kisah satu orang Sultan yang mengisi periode zaman. Namun, kisah Sultan adalah kisah periode zaman yang ada dalam diri Sultan.”


Indah nian pesan itu. Cerminan kearifan diri. Cerminan kebijaksanaan apresiasi. Berulang kita baca, berulang pula kita beroleh makna.

Sungguh, Shalahuddin al Ayyubi menghendaki dalam pembacaan sejarah, fokusnya bukan pada sesosok tokoh melainkan pada zamannya yang sedang bergulir. Pada zaman itu ada beragam varian yang melengkapi; situasi, kondisi, potensi, aspirasi, narasi, serta banyak aktor-aktor.

Maka sejarah kesuksesan, bukanlah milik satu orang saja. Melainkan adalah milik serangkaian insan yang menyesaki suatu periode sejarah tersebut. Dengan demikian, Shalahuddin al Ayyubi hanyalah salah satu aktor yang berada dalam periode sejarah itu. Pun keunggulan yang ada pada diri Shalahuddin al Ayyubi, merupakan hasil dari interaksi dengan beragam situasi, kondisi, potensi, aspirasi, narasi serta banyak orang di sekitarnya.

Apa yang ia putuskan adalah respon atas situasi dan kondisi saat itu. Apa yang ia tetapkan berdasar pada potensi dan aspirasi saat itu. Apa yang ia jalani berdasar pada narasi yang dikehendaki oleh sekian banyak orang-orang di sekitarnya masa itu.

Begitulah rendah hatinya Shalahuddin al Ayyubi. Ia memang pahlawan legendaris, sebab mengembalikan Masjidil Aqsha ke pangkuan muslimin setelah sekian lama diidam-idamkan. Tapi ia tak ingin lupa diri, bahwa banyak orang yang turut terlibat bersamanya. Setidaknya ada beberapa orang shalih nan faqih yang telah turut andil. Seperti Abu Ali Abdurrahman bin Ali bin Al Hasan al Asqalani atau yang akrab dengan julukan al Qadhil Fadhil, yang hendak menuliskan sejarahnya. Shalahuddin al Ayyubi tak bisa melupakan peran Juru Tulis dan Penasehatnya yang lebih tua 3 tahun darinya itu. Sebab, menurut Abu Syaamah dalam kitab Raudhotain, “Tidaklah Sultan menaklukan berbagai wilayah, melainkan setelah mengikuti pendapat-pendapatnya.”

Ada lagi Al Hafidz Abu Thahir Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Muhammad As Silafi Al Ashfahani atau yang disapa Al Hafidz As Silafi. Usianya jauh lebih tua dari Shalahuddin, berjarak 57 tahun. Namun saat Shalahuddin al Ayyubi memimpin, ia masih sempat menyaksikan dan mendampingi. Syeikh inilah yang selalu dikenang oleh Shalahuddin Al Ayyubi sebagai penolongnya saat awal kali melawan Syawar selaku Perdana Menteri Dinasti Ubaidiyah yang bersekutu dengan tentara Salibis, meskipun Syeikh dan penduduk Iskandaria harus menderita dikepung selama 3 bulan.

Ismail Makki bin Ismail bin Isa bin Auf bin Ya’qub bin Muhammad bin Isa bin Abdul Malik bin Hamid bin Al Qurasyi Az Zuhri al Aufi al Iskandari al Maliki atau yang akrab dipanggil Abu Thahir bin Auf al Iskandari juga mendapat tempat tersendiri dalam kenangan Shalahuddin Al Ayyubi. Sebab darinyalah Shalahuddin Al Ayyubi belajar al Muwaththa’ Imam Malik. Syeikh keturunan sahabat Abdurrahman bin Auf itu, meski terus menua karena lebih tua 47 tahun dari Shalahuddin, namun tetap setia membantu memecahkan masalah-masalah Shalahuddin dengan fatwa-fatwanya.

Selain itu, ada Abu Saad Abdullah bin Muhammad bin Hibatullah bin Al Muthahhar bin Ali bin Abi Ashrun bin Abi As Sarri at Tamimi al Mosuli asy Syafi’i  yang akrab dengan sebutan Abdullah bin Abi Ashrun. Meski selisih usianya mencapai 40 tahun lebih tua, namun mereka sempat bersahabat ketika Shalahuddin kecil berada di Damaskus. Kelak Abdullah bin Abi Ashrun inilah yang membantu Shalahuddin dalam menggagalkan kesepakatan antara kaum Muslimin dan kaum Salibis.

Begitupun Al Faqih Dhiya’uddin Abu Muhammad Isa bin Muhammad bin Isa al Hakari atau singkatnya Al Faqih Isa al Hakari, telah turut berperan dalam penyatuan ummat. Maka bila tanpa al Qadhil Fadhil yang setia memberikan nasehat, tanpa Abu Thahir bin Auf al Iskandari yang turut memecahkan masalah-masalah dengan fatwanya, tanpa al Hafidz as Silafi yang telah turut menaklukkan keangkuhan Dinasti Ubaidiyah, tanpa Abdullah bin Abi Ashrun yang menggagalkan pengkhianatan pemimpin Muslim, tanpa Al Faqih Isa al Hakari yang membantu menyatukan wilayah-wilayah ummat Islam, serta tanpa yang lainnya, tentu tidak mudah bagi Shalahuddin al Ayyubi menggapai kegemilangan sejarahnya.

Inilah yang dipahami betul oleh Shalahuddin al Ayyubi dengan sepenuh ketawadhuan. Sangat berbeda dengan apa yang dipaham oleh para pemimpin hari ini. Yang berbangga dengan prestasinya, padahal ia hanya menggenapi hasil rintisan generasi sebelumnya. Bahkan sebagian pemimpin sangat ingin perjalanan kepemimpinannya dicatat dalam sebuah profil biografinya seorang diri. Atas permintaannya, bukan karena diminta.

Demikianlah pelajaran akan perspektif sejarah dari sosok Shalahuddin al Ayyubi. Maka tak heran bila dalam kesempatan bersama putranya al Malik az Zhahir Ghazi di selasar Baitul Maqdis sebelum sang putra dipersilakan menuju Aleppo, Shalahuddin al Ayyubi dengan penuh syahdu mengutarakan wasiat-wasiatnya sebagaimana diceritakan dalam An Nawadir as Sulthaniyah wal Mahasin al Yusufiyah.

“Aku berpesan kepadamu agar engkau menjaga hati rakyat dan memperhatikan berbagai kondisi mereka. Engkau adalah kepercayaanku dan kepercayaan Allah atasnya. Aku berpesan kepadamu agar menjaga hati para pejabat, pejabat-pejabat negara, dan para pembesarnya. Tidaklah engkau sampai kepada apa yang engkau capai, melainkan melalui bantuan orang lain. Janganlah engkau mendendam seorang pun, karena kematian itu tidak menyisakan siapapun. Waspadai hubungan antara dirimu dan orang lain, karena engkau tidak akan diampuni, kecuali karena keridhoan mereka; sedangkan hubungan antara dirimu dengan Allah, maka Allah akan mengampunimu melalui taubatmu kepada-Nya, karena Dia Maha Pemurah.”

Hari ini, berapa banyak pemimpin yang menjaga hati segenap jajarannya dan tokoh-tokoh masyarakatnya? Hari ini, berapa banyak pemimpin yang menyadari bahwa capaian kepemimpinannya adalah hasil kolaborasi bersama segenap jajarannya dan tokoh-tokoh masyarakatnya? Hari ini, berapa banyak pemimpin yang tak mendendam dan tak menyakiti karena kesadaran pada hari pembalasan?


Kepada petuah Shalahuddin al Ayyubi tersebut, bercerminlah kita. Bahwa sejarah bukan hak kita seorang!


Rabu, 16 Maret 2016
Muhammad Irfan Abdul Aziz

Tidak ada komentar: