“Dan ingatlah!” Sholahuddin al
Ayyubi kembali berpesan kepada Al Qadhil Fadhil sebelum menggenapi penulisan
sejarah kepemimpinannya. “Bahwa kisah Sultan, bukanlah kisah satu orang Sultan
yang mengisi periode zaman. Namun,
kisah Sultan adalah kisah periode zaman yang ada dalam diri Sultan.”
Indah nian pesan itu. Cerminan kearifan diri. Cerminan kebijaksanaan apresiasi.
Berulang kita baca, berulang pula kita beroleh makna.
Sungguh, Shalahuddin al Ayyubi menghendaki dalam pembacaan sejarah,
fokusnya bukan pada sesosok tokoh melainkan pada zamannya yang sedang
bergulir. Pada zaman itu ada beragam varian yang melengkapi; situasi, kondisi,
potensi, aspirasi, narasi, serta banyak aktor-aktor.
Maka sejarah kesuksesan, bukanlah milik satu orang saja. Melainkan adalah
milik serangkaian insan yang menyesaki suatu periode sejarah tersebut. Dengan
demikian, Shalahuddin al Ayyubi hanyalah salah satu aktor yang berada dalam
periode sejarah itu. Pun keunggulan yang ada pada diri Shalahuddin al Ayyubi,
merupakan hasil dari interaksi dengan beragam situasi, kondisi, potensi,
aspirasi, narasi serta banyak orang di sekitarnya.
Apa yang ia putuskan adalah respon atas situasi dan kondisi saat itu. Apa
yang ia tetapkan berdasar pada potensi dan aspirasi saat itu. Apa yang ia
jalani berdasar pada narasi yang dikehendaki oleh sekian banyak orang-orang di
sekitarnya masa itu.
Begitulah rendah hatinya Shalahuddin al Ayyubi. Ia memang pahlawan
legendaris, sebab mengembalikan Masjidil Aqsha ke pangkuan muslimin setelah
sekian lama diidam-idamkan. Tapi ia tak ingin lupa diri, bahwa banyak orang
yang turut terlibat bersamanya. Setidaknya ada beberapa orang shalih nan faqih
yang telah turut andil. Seperti Abu Ali Abdurrahman bin Ali bin Al Hasan al
Asqalani atau yang akrab dengan julukan al Qadhil Fadhil, yang hendak
menuliskan sejarahnya. Shalahuddin al Ayyubi tak bisa melupakan peran Juru
Tulis dan Penasehatnya yang lebih tua 3 tahun darinya itu. Sebab, menurut Abu
Syaamah dalam kitab Raudhotain, “Tidaklah Sultan menaklukan berbagai wilayah,
melainkan setelah mengikuti pendapat-pendapatnya.”
Ada lagi Al Hafidz Abu Thahir Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Muhammad As
Silafi Al Ashfahani atau yang disapa Al Hafidz As Silafi. Usianya jauh lebih
tua dari Shalahuddin, berjarak 57 tahun. Namun saat Shalahuddin al Ayyubi
memimpin, ia masih sempat menyaksikan dan mendampingi. Syeikh inilah yang
selalu dikenang oleh Shalahuddin Al Ayyubi sebagai penolongnya saat awal kali
melawan Syawar selaku Perdana Menteri Dinasti Ubaidiyah yang bersekutu dengan
tentara Salibis, meskipun Syeikh dan penduduk Iskandaria harus menderita dikepung
selama 3 bulan.
Ismail Makki bin Ismail bin Isa bin Auf bin Ya’qub bin Muhammad bin Isa bin
Abdul Malik bin Hamid bin Al Qurasyi Az Zuhri al Aufi al Iskandari al Maliki atau
yang akrab dipanggil Abu Thahir bin Auf al Iskandari juga mendapat tempat
tersendiri dalam kenangan Shalahuddin Al Ayyubi. Sebab darinyalah Shalahuddin
Al Ayyubi belajar al Muwaththa’ Imam Malik. Syeikh keturunan sahabat Abdurrahman bin
Auf itu, meski terus menua karena lebih tua 47 tahun dari Shalahuddin, namun
tetap setia membantu memecahkan masalah-masalah Shalahuddin dengan
fatwa-fatwanya.
Selain itu, ada Abu Saad Abdullah bin Muhammad bin Hibatullah bin Al
Muthahhar bin Ali bin Abi Ashrun bin Abi As Sarri at Tamimi al Mosuli asy
Syafi’i yang akrab dengan sebutan Abdullah
bin Abi Ashrun. Meski selisih usianya mencapai 40 tahun lebih tua, namun mereka
sempat bersahabat ketika Shalahuddin kecil berada di Damaskus. Kelak Abdullah
bin Abi Ashrun inilah yang membantu Shalahuddin dalam menggagalkan kesepakatan
antara kaum Muslimin dan kaum Salibis.
Begitupun Al Faqih Dhiya’uddin Abu Muhammad Isa bin Muhammad bin Isa al
Hakari atau singkatnya Al Faqih Isa al Hakari, telah turut berperan dalam
penyatuan ummat. Maka bila tanpa al Qadhil Fadhil yang setia memberikan
nasehat, tanpa Abu Thahir bin Auf al Iskandari yang turut memecahkan
masalah-masalah dengan fatwanya, tanpa al Hafidz as Silafi yang telah turut
menaklukkan keangkuhan Dinasti Ubaidiyah, tanpa Abdullah bin Abi Ashrun yang
menggagalkan pengkhianatan pemimpin Muslim, tanpa Al Faqih Isa al Hakari yang
membantu menyatukan wilayah-wilayah ummat Islam, serta tanpa yang lainnya,
tentu tidak mudah bagi Shalahuddin al Ayyubi menggapai kegemilangan sejarahnya.
Inilah yang dipahami betul oleh Shalahuddin al Ayyubi dengan sepenuh
ketawadhuan. Sangat berbeda dengan apa yang dipaham oleh para pemimpin hari
ini. Yang berbangga dengan prestasinya, padahal ia hanya menggenapi hasil
rintisan generasi sebelumnya. Bahkan sebagian pemimpin sangat ingin perjalanan
kepemimpinannya dicatat dalam sebuah profil biografinya seorang diri. Atas
permintaannya, bukan karena diminta.
Demikianlah pelajaran akan perspektif sejarah dari sosok Shalahuddin al
Ayyubi. Maka tak heran bila dalam kesempatan bersama putranya al Malik az Zhahir
Ghazi di selasar Baitul Maqdis sebelum sang putra dipersilakan menuju Aleppo,
Shalahuddin al Ayyubi dengan penuh syahdu mengutarakan wasiat-wasiatnya sebagaimana
diceritakan dalam An Nawadir as Sulthaniyah wal Mahasin al Yusufiyah.
“Aku berpesan kepadamu agar engkau menjaga hati rakyat dan memperhatikan
berbagai kondisi mereka. Engkau
adalah kepercayaanku dan kepercayaan Allah atasnya. Aku berpesan kepadamu agar
menjaga hati para pejabat, pejabat-pejabat negara, dan para pembesarnya.
Tidaklah engkau sampai kepada apa yang engkau capai, melainkan melalui bantuan
orang lain. Janganlah engkau mendendam seorang pun, karena kematian itu tidak
menyisakan siapapun. Waspadai hubungan antara dirimu dan orang lain, karena
engkau tidak akan diampuni, kecuali karena keridhoan mereka; sedangkan hubungan
antara dirimu dengan Allah, maka Allah akan mengampunimu melalui taubatmu
kepada-Nya, karena Dia Maha Pemurah.”
Hari ini, berapa banyak pemimpin yang menjaga hati segenap jajarannya dan
tokoh-tokoh masyarakatnya? Hari ini, berapa banyak pemimpin yang menyadari
bahwa capaian kepemimpinannya adalah hasil kolaborasi bersama segenap
jajarannya dan tokoh-tokoh masyarakatnya? Hari ini, berapa banyak pemimpin yang
tak mendendam dan tak menyakiti karena kesadaran pada hari pembalasan?
Kepada petuah Shalahuddin al Ayyubi tersebut, bercerminlah kita. Bahwa
sejarah bukan hak kita seorang!
Rabu, 16 Maret 2016
Muhammad Irfan Abdul Aziz
Tidak ada komentar:
Posting Komentar