“Bukankah kita bersama telah menyaksikan peristiwa demi
peristiwa itu.” Begitu kata Shalahuddin
al Ayyubi, saat al Qadhil Fadhil hendak melanjutkan penulisan sejarah
perjalanan kepemimpinannya beserta beragam penaklukan-penaklukannya.
Tapi Hakim
yang juga juru tulis di zaman Shalahuddin Al Ayyubi itu justru menyahut dengan
ungkapan yang menakjubkan. “Sebagian
telah aku saksikan, sebagian lagi tidak,” begitu mula penjelasannya. Lalu ia
lebih menegaskan lagi, “Dan juga, banyak orang menyaksikan peristiwa-peristiwa
itu.”
“Jika masing-masing orang menceritakannya, hasilnya akan
berbeda. Mata bisa melihat, akal yang menafsirkan. Tapi sesuatu yang tak terlihat, tak terdengar, akan
dicerna oleh hati dan diolah dalam pikiran.” Pungkasnya memberikan alasan yang
sekaligus hikmah pengajaran akan nilai sebuah periwayatan sejarah.
Begitulah Abdurrahim
al Qadhil Fadhil, pemimpin Diwan Insya’ ash Shalahi. Yaitu Majelis Penulis, Pengarang, dan Sastrawan. Tugasnya
menggandakan naskah, surat, kitab dan lainnya dengan tulisan manual.
Ia yang
memiliki nama lengkap Abu Ali Abdurrahman bin Ali bin al Hasan al Asqolani,
memang lebih terkenal dipanggil sebagai al Qadhi al Fadhil. Hakim yang mulia,
dengan segenap hikmah yang ia miliki dan ia bagikan kepada setiap yang
berinteraksi dengannya. Ia sangat mendalami unsur-unsur ekstrinsik dan
intrinsik dari setiap ungkapan. Ialah sang ahli makna-makna inovatif. Selalu
ada makna baru dari ungkapannya, dan selalu ada ungkapan baru untuk setiap
pemaknaannya.
“Mata bisa melihat, akal yang menafsirkan.” Ini adalah
salah satu ungkapan indah darinya, dengan makna yang begitu dalam; disampaikan kepada
pemimpin besar bernama Shalahuddin al Ayyubi. Rasanya, kita perlu berulang menyeksamai ungkapan ini; Mata
Melihat, Akal Menafsirkan.
Al Imad
dalam Siyar A’lam an Nubala’ pernah memberikan kesannya akan sosok al
Qadhil Fadhil. “Tulisannya adalah pasukan
berkuda yang memberi pertolongan, karya-karyanya mengagumkan sepanjang masa,
keunggulannya menjadi kebaikan, ungkapan-ungkapannya menyihir. Berbagai gaya
bahasa yang ditampilkannya dan kreasi yang diungkapkannya, telah melampaui gaya
bahasa orang-orang terdahulu. Saya tidak pernah menemukan ia mengulang-ulang
doa dalam surat-suratnya dan tidak pula mengulang-ulangi kata dalam dialognya.”
Sosok yang sangat menggemari
tulis-menulis dan buku-buku itu, sebagaimana dikatakan al Muwaffaq Abdul
Lathif, sungguh tak jemu-jemu menghampiri Shalahuddin al Ayyubi untuk
menuliskan sejarah pemerintahannya langsung dari lisan Shalahuddin al Ayyubi.
Sepertinya ia paham betul untuk menghadirkan keutuhan Sejarah perlu menyatukan teks
dan konteks. Maka sejarah perjalanan Shalahuddin, harus keluar dari lisan Shalahuddin
sendiri.
Sungguh, ini adalah bentuk
ketawadhu’an al Qadhil Fadhil. Sebab ia sejatinya bisa saja menuliskannya
sendiri. Toh, ia memiliki kecakapan menulis dan kekuatan merekam setiap
kejadian. Bahkan, sejatinya ialah yang telah menjadi penasehat bagi Shalahuddin
al Ayyubi; yang karenanya sebagian besar konteks kebijakan Shalahuddin telah ia
pahami juga. Atau, sebagian besar kebijakan-kebijakan itu lahir dari pendapatnya.
Sebagaimana Abu Syaamah
berkomentar tentangnya dalam kitab Ar Raudhatain, “Ia memiliki pendapat yang
bagus dan pemikiran cerdas, dihormati di mata Sultan Shalahuddin yang selalu
merujuk pendapatnya dan meminta nasehatnya dalam menghadapi berbagai masalah
berat. Sultan cenderung patuh kepadanya. Tidaklah Sultan menaklukkan berbagai
wilayah, melainkan setelah mengikuti pendapat-pendapatnya.”
Toh, ia pula
yang telah mendampingi seluruh perjalanan kepemimpinan Shalahuddin al Ayyubi. Ia
telah mendampingi Shalahuddin dalam banyak hal; sebagai administrator angkatan
bersenjata melawan pasukan Eropa, membentuk pasukan Ayyubiyah dan menyiapkan
sistem administrasinya, menjadi bagian kementerian pemerintahan Sholahuddin,
membungkam perlawanan Dinasti Ubaidiyah, menata administrasi Mesir agar bersatu
di bawah kekhilafahan, menjadi juru bicara Shalahuddin di banyak diplomasi dan
berperan di beragam medan Jihad Shalahuddin. Lalu, apa lagi yang belum ia
ketahui dari perjalanan Shalahuddin?
Maka, tak heran
bila Shalahuddin meresponnya dengan berkata, “Bukankah
kita bersama telah menyaksikan peristiwa demi peristiwa itu.”
Namun sekali
lagi, jawaban indah nan hikmah al Qadhil Fadhil telah memberikan banyak
pengajaran. “Sebagian telah aku saksikan, sebagian lagi tidak. Dan
juga, banyak orang menyaksikan peristiwa-peristiwa itu. Jika masing-masing
orang menceritakannya, hasilnya akan berbeda. Mata bisa melihat, akal yang menafsirkan. Tapi sesuatu yang tak terlihat, tak terdengar, akan
dicerna oleh hati dan diolah dalam pikiran.”
Ungkapan al
Qadhil Fadhil ini setidaknya memahamkan kita pada 3 pelajaran:
Pertama; Urgensi
sejarah itu, bukan semata tentang apa yang kita saksikan. Sebab bila hanya
berdasar kesaksian, berapa banyak yang telah menyaksikan sejarah. Namun urgensi
sejarah itu, terkait tafsir akan peristiwa-peristiwanya.
Kedua; Urgensi
menulis sejarah, bukan semata tentang cerita-cerita yang kita kumpulkan. Sebab
bila hanya berdasar kumpulan-kumpulan cerita, berapa banyak yang akan bebas
menuliskannya dengan hasil yang berbeda-beda bahkan simpulan yang berbeda-beda.
Namun urgensi menulis sejarah, terkait periwayatan sejarah hingga tersambung
pada orang pertama yang memahami konteksnya.
Ketiga;
Urgensi sejarah dan urgensi menuliskannya tersebut, pada akhirnya untuk
menyelamatkan segenap manusia dari korban perasaannya sendiri. Sebab bagi yang
tak melihat dan tak mendengar suatu peristiwa, cenderung akan mencerna dengan
segenap perasaan hatinya yang kemudian menjadi nutrisi bagi alam pikirannya.
Tentu perasaan yang dominan, seringkali menghambat seseorang dalam
mengoptimalkan akal guna mendapatkan hikmah dari sesuatu hal. Maka, sejarah
yang tertulis beserta tafsir dari pelakunya, akan meminimalisir dominasi
perasaan karena ketidak-pahaman.
Rabu, 2 Maret 2016
Muhammad Irfan Abdul Aziz
Tidak ada komentar:
Posting Komentar