Rabu, 02 Maret 2016

[Pelajaran I] MATA MELIHAT, AKAL MENAFSIRKAN


Bukankah kita bersama telah menyaksikan peristiwa demi peristiwa itu.” Begitu kata Shalahuddin al Ayyubi, saat al Qadhil Fadhil hendak melanjutkan penulisan sejarah perjalanan kepemimpinannya beserta beragam penaklukan-penaklukannya.


Tapi Hakim yang juga juru tulis di zaman Shalahuddin Al Ayyubi itu justru menyahut dengan ungkapan yang menakjubkan. “Sebagian telah aku saksikan, sebagian lagi tidak,” begitu mula penjelasannya. Lalu ia lebih menegaskan lagi, Dan juga, banyak orang menyaksikan peristiwa-peristiwa itu.”

Jika masing-masing orang menceritakannya, hasilnya akan berbeda. Mata bisa melihat, akal yang menafsirkan. Tapi sesuatu yang tak terlihat, tak terdengar, akan dicerna oleh hati dan diolah dalam pikiran.” Pungkasnya memberikan alasan yang sekaligus hikmah pengajaran akan nilai sebuah periwayatan sejarah.

Begitulah Abdurrahim al Qadhil Fadhil, pemimpin Diwan Insya’ ash Shalahi. Yaitu Majelis Penulis, Pengarang, dan Sastrawan. Tugasnya menggandakan naskah, surat, kitab dan lainnya dengan tulisan manual.

Ia yang memiliki nama lengkap Abu Ali Abdurrahman bin Ali bin al Hasan al Asqolani, memang lebih terkenal dipanggil sebagai al Qadhi al Fadhil. Hakim yang mulia, dengan segenap hikmah yang ia miliki dan ia bagikan kepada setiap yang berinteraksi dengannya. Ia sangat mendalami unsur-unsur ekstrinsik dan intrinsik dari setiap ungkapan. Ialah sang ahli makna-makna inovatif. Selalu ada makna baru dari ungkapannya, dan selalu ada ungkapan baru untuk setiap pemaknaannya.

Mata bisa melihat, akal yang menafsirkan.” Ini adalah salah satu ungkapan indah darinya, dengan makna yang begitu dalam; disampaikan kepada pemimpin besar bernama Shalahuddin al Ayyubi. Rasanya, kita perlu berulang menyeksamai ungkapan ini; Mata Melihat, Akal Menafsirkan.

Al Imad dalam Siyar A’lam an Nubala’ pernah memberikan kesannya akan sosok al Qadhil Fadhil. “Tulisannya adalah pasukan berkuda yang memberi pertolongan, karya-karyanya mengagumkan sepanjang masa, keunggulannya menjadi kebaikan, ungkapan-ungkapannya menyihir. Berbagai gaya bahasa yang ditampilkannya dan kreasi yang diungkapkannya, telah melampaui gaya bahasa orang-orang terdahulu. Saya tidak pernah menemukan ia mengulang-ulang doa dalam surat-suratnya dan tidak pula mengulang-ulangi kata dalam dialognya.”

Sosok yang sangat menggemari tulis-menulis dan buku-buku itu, sebagaimana dikatakan al Muwaffaq Abdul Lathif, sungguh tak jemu-jemu menghampiri Shalahuddin al Ayyubi untuk menuliskan sejarah pemerintahannya langsung dari lisan Shalahuddin al Ayyubi. Sepertinya ia paham betul untuk menghadirkan keutuhan Sejarah perlu menyatukan teks dan konteks. Maka sejarah perjalanan Shalahuddin, harus keluar dari lisan Shalahuddin sendiri.

Sungguh, ini adalah bentuk ketawadhu’an al Qadhil Fadhil. Sebab ia sejatinya bisa saja menuliskannya sendiri. Toh, ia memiliki kecakapan menulis dan kekuatan merekam setiap kejadian. Bahkan, sejatinya ialah yang telah menjadi penasehat bagi Shalahuddin al Ayyubi; yang karenanya sebagian besar konteks kebijakan Shalahuddin telah ia pahami juga. Atau, sebagian besar kebijakan-kebijakan itu lahir dari pendapatnya.

Sebagaimana Abu Syaamah berkomentar tentangnya dalam kitab Ar Raudhatain, “Ia memiliki pendapat yang bagus dan pemikiran cerdas, dihormati di mata Sultan Shalahuddin yang selalu merujuk pendapatnya dan meminta nasehatnya dalam menghadapi berbagai masalah berat. Sultan cenderung patuh kepadanya. Tidaklah Sultan menaklukkan berbagai wilayah, melainkan setelah mengikuti pendapat-pendapatnya.”

Toh, ia pula yang telah mendampingi seluruh perjalanan kepemimpinan Shalahuddin al Ayyubi. Ia telah mendampingi Shalahuddin dalam banyak hal; sebagai administrator angkatan bersenjata melawan pasukan Eropa, membentuk pasukan Ayyubiyah dan menyiapkan sistem administrasinya, menjadi bagian kementerian pemerintahan Sholahuddin, membungkam perlawanan Dinasti Ubaidiyah, menata administrasi Mesir agar bersatu di bawah kekhilafahan, menjadi juru bicara Shalahuddin di banyak diplomasi dan berperan di beragam medan Jihad Shalahuddin. Lalu, apa lagi yang belum ia ketahui dari perjalanan Shalahuddin?

Maka, tak heran bila Shalahuddin meresponnya dengan berkata, Bukankah kita bersama telah menyaksikan peristiwa demi peristiwa itu.”

Namun sekali lagi, jawaban indah nan hikmah al Qadhil Fadhil telah memberikan banyak pengajaran. Sebagian telah aku saksikan, sebagian lagi tidak. Dan juga, banyak orang menyaksikan peristiwa-peristiwa itu. Jika masing-masing orang menceritakannya, hasilnya akan berbeda. Mata bisa melihat, akal yang menafsirkan. Tapi sesuatu yang tak terlihat, tak terdengar, akan dicerna oleh hati dan diolah dalam pikiran.”

Ungkapan al Qadhil Fadhil ini setidaknya memahamkan kita pada 3 pelajaran:

Pertama; Urgensi sejarah itu, bukan semata tentang apa yang kita saksikan. Sebab bila hanya berdasar kesaksian, berapa banyak yang telah menyaksikan sejarah. Namun urgensi sejarah itu, terkait tafsir akan peristiwa-peristiwanya.

Kedua; Urgensi menulis sejarah, bukan semata tentang cerita-cerita yang kita kumpulkan. Sebab bila hanya berdasar kumpulan-kumpulan cerita, berapa banyak yang akan bebas menuliskannya dengan hasil yang berbeda-beda bahkan simpulan yang berbeda-beda. Namun urgensi menulis sejarah, terkait periwayatan sejarah hingga tersambung pada orang pertama yang memahami konteksnya.

Ketiga; Urgensi sejarah dan urgensi menuliskannya tersebut, pada akhirnya untuk menyelamatkan segenap manusia dari korban perasaannya sendiri. Sebab bagi yang tak melihat dan tak mendengar suatu peristiwa, cenderung akan mencerna dengan segenap perasaan hatinya yang kemudian menjadi nutrisi bagi alam pikirannya. Tentu perasaan yang dominan, seringkali menghambat seseorang dalam mengoptimalkan akal guna mendapatkan hikmah dari sesuatu hal. Maka, sejarah yang tertulis beserta tafsir dari pelakunya, akan meminimalisir dominasi perasaan karena ketidak-pahaman.


Rabu, 2 Maret 2016
Muhammad Irfan Abdul Aziz


Tidak ada komentar: