Sabtu, 05 Maret 2016

(Kajian Hadits) DUA KUNCI AGAR BAHAGIA DI DUNIA DAN AKHIRAT

 

عَنْ أَبِي الْعَبَّاس سَهْل بِنْ سَعْد السَّاعِدِي رَضِيَ الله عَنْهُ قَالَ : جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : ياَ رَسُوْلَ اللهِ دُلَّنِي عَلَى عَمَلٍ إِذَا عَمِلْتُهُ أَحَبَّنِيَ اللهُ وَأَحَبَّنِي النَّاسُ، فَقَالَ : ازْهَدْ فِي الدُّنْيَا يُحِبُّكَ اللهُ، وَازْهَدْ فِيْمَا عِنْدَ النَّاسِ يُحِبُّكَ النَّاسُ .

Dari Abu Abbas Sahl bin Sa’ad Assa’idi radhiyallahuanhu, dia berkata: Seseorang mendatangi Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam, maka ia berkata: “Wahai Rasulullah, tunjukkan kepadaku sebuah amalan yang jika aku kerjakan, Allah dan manusia akan mencintaiku.” Maka beliau bersabda: “Zuhudlah terhadap dunia maka engkau akan dicintai Allah dan zuhudlah terhadap apa yang ada pada manusia maka engkau akan dicintai manusia.”

Hadits ini memiliki derajat Hasan, yang tercantum dalam Sunan Ibnu Majah pada kitab Zuhud tepatnya bab Zuhud di Dunia. Selain di kitab sunan itu, hadits ini juga dikutip dalam kitabnya Ibnu Hibban yang berjudul Raudhatul ‘Uqala’ (Taman Orang-Orang Berakal). Artinya, Zuhud merupakan bagian dari karakter orang-orang berakal.

Nilai hadits ini ada pada dua wasiat Rasulullah yang tercantum padanya sebagai panduan meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Wasiat pertama adalah Zuhud terhadap dunia sebagai sebab kecintaan Allah. Wasiat kedua adalah Zuhud terhadap yang ada pada orang lain sebagai sebab kecintaan sesama.

Ada tiga istilah yang penting kita pahami dari teks hadits tersebut, yaitu sebagai berikut:

Pertama; Allah mencintaiku dan Manusia mencintaiku. Bagaimana Allah mencintai kita? Dengan Keridhaan-Nya dan Kebaikan dari-Nya. Sementara kecintaan manusia sesungguhnya berasal dari kecintaan Allah, sebab bila Allah sudah mencintai kita maka ia akan membuat makhluk-makhluk-Nya turut mencintai kita. Karena hanya Allah yang dapat menumbuhkan cinta di antara makhluk-Nya. Tentu untuk mendapatkan kecintaan Allah, kita harus mencintai-Nya; dengan Keimanan dan Amal Shalih. Dan itulah yang dinyatakan dalam surat Maryam ayat 96, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang.

Kedua; Berzuhudlah. Secara bahasa, Zuhud berarti menolak segala sesuatu yang tidak penting. Namun secara istilah syariat, Zuhud berarti mengambil yang Halal sesuai kebutuhan.

Ketiga; Di Dunia. Rasulullah tidak hanya memerintahkan untuk berzuhud, namun juga menekankan dalam hal dunia. Tentu bukan sekadar penekanan, melainkan juga mengandung makna meremehkan dunia. Bahwa dunia itu sesungguhnya tidak penting, maka jangan larut dengannya. Sebagaimana yang juga telah dinyatakan oleh Allah dalam surat al Hadid ayat 20, “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.

Tiga Makna Zuhud

Ada ungkapan menarik dari Abu Idris al Khaulani radhiyallahu ‘anhu terkait Zuhud, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad. “Zuhud terhadap dunia bukanlah mengharamkan yang halal dan membuang semua harta. Akan tetapi, zuhud terhadap dunia adalah lebih meyakini apa yang ada di sisi Allah daripada yang ada di tangan kita, dan jika kita ditimpa musibah maka kita sangat berharap untuk mendapatkan pahala. Bahkan ketika musibah itu masih bersama kita, kitapun berharap bisa menambah dan menyimpan pahalanya.

Maka dalam memahami Zuhud, setidaknya ada tiga makna yang terkandung padanya sebagai berikut:

Pertama; Keyakinan kepada Allah. Sebagaimana dikatakan; bahwa zuhud terhadap dunia adalah lebih meyakini apa yang ada di sisi Allah daripada yang ada di tangan kita. Allah subhanahu wata’ala pun telah menyatakan dalam surat Huud ayat 6, “Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh).” Maka orang yang Zuhud tidak pernah khawatir akan rezekinya. Maka orang yang Zuhud, bila ia mendapatkan rezeki segera bersyukur menggunakannya pada kebaikan, dan bila belum mendapatkan rezeki maka tetap yakin bahwa Allah telah menjamin kehidupannya serta menyiapkan segala balasannya. Seperti pernyataan-Nya, “Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rezekimu dan terdapat (pula) apa yang dijanjikan kepadamu.

Kedua; Meyakini adanya Pahala di setiap Musibah. Sebagaimana dikatakan; bahwa jika kita ditimpa musibah maka kita sangat berharap untuk mendapatkan pahala. Maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam telah mengajarkan sebuah doa yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar, “Ya Allah tetapkanlah bagiku rasa takut yang menghindarkanku dari kemaksiatan kepada-Mu, dan ketaatan yang menjadikanku mencintai-Mu, dan keyakinan yang memandang remeh segala musibah dunia.” Sungguh, bagi seorang yang zuhud, maka musibah dunia tidak lebih penting daripada balasan pahala di balik musibah itu.

Ketiga; Memiliki Kepribadian yang tidak Terpengaruh Respon Sekitar. Sebagaimana dikatakan; bahkan ketika musibah itu masih bersama kita, kitapun berharap bisa menambah dan menyimpan pahalanya. Mungkin dengan musibah dan sebagainya, orang-orang di sekitar memiliki beragam komentar dan sikap terhadap kita. Maka orang yang zuhud, tidak akan terpengaruh dengan semua perkataan dan perbuatan manusia. Keyakinannya hanya pada Allah dan pahala dari-Nya.

Dua Tips Agar dapat Bersikap Zuhud

Agar kita dapat selalu bersikap zuhud sebagaimana yang diwasiatkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam tersebut, maka ada dua tips yang bisa kita terapkan. Pertama; selalulah memikirkan akhirat dan mengingat segala yang ada padanya. Kedua; kenalilah dunia secara menyeluruh dan keberadaannya di semesta ciptaan-Nya.

Dengan selalu mengingat akhirat, maka kita akan terus berhati-hati dalam setiap interaksi dengan dunia serta mencukupkan tanpa berlebih-lebihan. Dengan mengenali dunia secara utuh, maka kita akan semakin memahami bahwa dunia tak seberapa nilainya dalam semesta ciptaan-Nya sehingga tak larut dalam ketakjuban yang melenakan. Kedua hal inilah yang akan membantu kita untuk terus menjaga sikap zuhud dalam diri.

Apa yang Penting Kita Pahami dari Dunia?

Selain kita memahami bahwa dunia dan segala isinya adalah makhluk-Nya yang hanya bagian kecil dari semesta ciptaan-Nya, maka jauh lebih penting lagi adalah memahami pola interaksi manusia dengan dunia tersebut. Sebab manusialah yang dititahkan menjadi Khalifah di muka bumi. Sebab hanya manusialah yang dikarunia akal dari seluruh makhluknya. Sebab hanya manusia yang karena kemerdekaan memilih, berkembang menjadi beragam jenisnya.

Secara umum ada dua jenis manusia di bumi; Pertama adalah manusia yang mengingkari hari akhirat, dan Kedua adalah manusia yang meyakini hari akhirat.

Kelompok pertama jelas, yaitu mereka yang tiada beriman. Gambaran tentang mereka ada dalam surat Yunus ayat 7-8, “Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan (tidak percaya akan) pertemuan dengan Kami, dan merasa puas dengan kehidupan dunia serta merasa tenteram dengan kehidupan itu dan orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami, mereka itu tempatnya ialah neraka, disebabkan apa yang selalu mereka kerjakan.

Sementara kelompok kedua adalah orang-orang beriman, yang sesungguhnya meyakini hari akhirat. Namun keyakinan mereka tidak semuanya terefleksi dalam kehidupannya. Sehingga menurut Ibnu Rajab al Hanbali bahwa dalam kelompok ini terdapat tiga golongan besar; yaitu golongan yang Zalim terhadap diri sendiri, golongan Pertengahan, dan golongan yang Berlomba dalam kebaikan. Dikatakan Zalim terhadap diri sendiri, karena ia tahu dan yakin akan ada balasan di akhirat bila melakukan kesalahan namun tetap saja melanggar. Dikatakan Berlomba karena ia tahu dan yakin akan ada balasan di akhirat sehingga terus melakukan kebaikan-kebaikan. Sedangkan dikatakan Pertengahan, karena ia tahu dan yakin akan ada balasan di akhirat sehingga melakukan kebaikan namun sekadarnya bahkan masih sering memperbanyak hal-hal mubah yang seharusnya diambil secukupnya saja.

Semakin berlomba-lomba dengan kebaikan, itulah zuhud. Dan semakin mencukupkan dengan hal-hal yang mubah, itulah zuhud.

Epilog

Demikianlah kunci agar bahagia di dunia dan akhirat. Begitulah kunci mendapatkan kecintaan Allah dan kecintaan sesama. Kecintaan Allah, itulah kebahagiaan kita di akhirat. Kecintaan sesama, itulah kebahagiaan kita di dunia.

Kunci dasarnya adalah zuhud, yang kemudian menjadi dua kunci: Zuhud terhadap dunia dan Zuhud terhadap yang ada pada sesama. Zuhud terhadap dunia, itulah kunci mendapatkan kecintaan Allah. Zuhud terhadap yang ada pada sesama, itulah kunci mendapatkan kecintaan sesama.

Kenapa perlu zuhud terhadap dunia? Karena kecintaan terhadap dunia adalah akar semua kemaksiatan dan dosa. Bila kita maksiat dan berdosa, itu artinya kita tak cinta kepada Allah. Dan bila kita tak cinta kepada Allah, maka Allah pun tak akan mencintai kita.

Kenapa perlu zuhud terhadap yang ada pada sesama? Karena kecintaan terhadap yang ada pada sesama adalah akar pertelikungan dan pertikaian. Bila kita menelikung dan bertikai, itu artinya kita zalim yang membuat Allah murka. Bila Allah murka, maka Allah tak akan menanamkan rasa kasih sayang sesama kita untuk saling mencintai.

Sebelum kita tutup, kembali kita mengingat; bahwa zuhud bukan berarti menolak segala nikmat. Sebab tradisi itu adalah tradisi zaman Persia sebelum Islam, bahkan dahulu kita terpuruk karena konsep zuhud yang salah pada penghujung era Abbasiyah.

Alhamdulillah, konsep zuhud yang salah pada zaman sekarang sudah mulai sirna. Berapa banyak ummat Islam yang mulai berlomba meraih karunia rezeki dari-Nya. Akan tetapi, bagaimanapun di sebalik kecenderungan positif ini, kita tetap perlu mawas agar tidak berujung pada kelalaian. Mawas agar tetap zuhud; dengan terus mengingat akhirat dan memahami eksistensi hakiki dunia ini.

Jakarta, 3 Maret 2016


Tidak ada komentar: