عَنْ
أَبِي الْعَبَّاس سَهْل بِنْ سَعْد السَّاعِدِي رَضِيَ الله عَنْهُ قَالَ : جَاءَ
رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : ياَ رَسُوْلَ
اللهِ دُلَّنِي عَلَى عَمَلٍ إِذَا عَمِلْتُهُ أَحَبَّنِيَ اللهُ وَأَحَبَّنِي
النَّاسُ، فَقَالَ : ازْهَدْ فِي الدُّنْيَا يُحِبُّكَ اللهُ، وَازْهَدْ فِيْمَا
عِنْدَ النَّاسِ يُحِبُّكَ النَّاسُ .
Dari
Abu Abbas Sahl bin Sa’ad Assa’idi radhiyallahuanhu, dia berkata:
Seseorang mendatangi Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam, maka ia
berkata: “Wahai Rasulullah, tunjukkan kepadaku sebuah amalan yang jika aku
kerjakan, Allah dan manusia akan mencintaiku.” Maka beliau bersabda: “Zuhudlah
terhadap dunia maka engkau akan dicintai Allah dan zuhudlah terhadap apa yang
ada pada manusia maka engkau akan dicintai manusia.”
Hadits
ini memiliki derajat Hasan, yang tercantum dalam Sunan Ibnu Majah pada kitab
Zuhud tepatnya bab Zuhud di Dunia. Selain di kitab sunan itu, hadits ini juga
dikutip dalam kitabnya Ibnu Hibban yang berjudul Raudhatul ‘Uqala’
(Taman Orang-Orang Berakal). Artinya, Zuhud merupakan bagian dari karakter
orang-orang berakal.
Nilai
hadits ini ada pada dua wasiat Rasulullah yang tercantum padanya sebagai
panduan meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Wasiat pertama adalah Zuhud
terhadap dunia sebagai sebab kecintaan Allah. Wasiat kedua adalah Zuhud
terhadap yang ada pada orang lain sebagai sebab kecintaan sesama.
Ada
tiga istilah yang penting kita pahami dari teks hadits tersebut, yaitu sebagai
berikut:
Pertama;
Allah mencintaiku dan Manusia mencintaiku. Bagaimana Allah mencintai kita?
Dengan Keridhaan-Nya dan Kebaikan dari-Nya. Sementara kecintaan manusia
sesungguhnya berasal dari kecintaan Allah, sebab bila Allah sudah mencintai
kita maka ia akan membuat makhluk-makhluk-Nya turut mencintai kita. Karena
hanya Allah yang dapat menumbuhkan cinta di antara makhluk-Nya. Tentu untuk
mendapatkan kecintaan Allah, kita harus mencintai-Nya; dengan Keimanan dan Amal
Shalih. Dan itulah yang dinyatakan dalam surat Maryam ayat 96, “Sesungguhnya
orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan
menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang.”
Kedua;
Berzuhudlah. Secara bahasa, Zuhud berarti menolak segala sesuatu yang tidak
penting. Namun secara istilah syariat, Zuhud berarti mengambil yang Halal
sesuai kebutuhan.
Ketiga;
Di Dunia. Rasulullah tidak hanya memerintahkan untuk berzuhud, namun juga menekankan
dalam hal dunia. Tentu bukan sekadar penekanan, melainkan juga mengandung makna
meremehkan dunia. Bahwa dunia itu sesungguhnya tidak penting, maka jangan larut
dengannya. Sebagaimana yang juga telah dinyatakan oleh Allah dalam surat al
Hadid ayat 20, “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah
permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu
serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang
tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering
dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti)
ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan
dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.”
Tiga
Makna Zuhud
Ada
ungkapan menarik dari Abu Idris al Khaulani radhiyallahu ‘anhu terkait
Zuhud, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad. “Zuhud terhadap dunia
bukanlah mengharamkan yang halal dan membuang semua harta. Akan tetapi, zuhud
terhadap dunia adalah lebih meyakini apa yang ada di sisi Allah daripada yang
ada di tangan kita, dan jika kita ditimpa musibah maka kita sangat berharap
untuk mendapatkan pahala. Bahkan ketika musibah itu masih bersama kita, kitapun
berharap bisa menambah dan menyimpan pahalanya.”
Maka
dalam memahami Zuhud, setidaknya ada tiga makna yang terkandung padanya sebagai
berikut:
Pertama;
Keyakinan kepada Allah. Sebagaimana dikatakan; bahwa zuhud terhadap dunia
adalah lebih meyakini apa yang ada di sisi Allah daripada yang ada di tangan
kita. Allah subhanahu wata’ala pun telah menyatakan dalam surat Huud
ayat 6, “Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah
yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan
tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh).”
Maka orang yang Zuhud tidak pernah khawatir akan rezekinya. Maka orang yang
Zuhud, bila ia mendapatkan rezeki segera bersyukur menggunakannya pada
kebaikan, dan bila belum mendapatkan rezeki maka tetap yakin bahwa Allah telah
menjamin kehidupannya serta menyiapkan segala balasannya. Seperti
pernyataan-Nya, “Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rezekimu dan terdapat
(pula) apa yang dijanjikan kepadamu.”
Kedua;
Meyakini adanya Pahala di setiap Musibah. Sebagaimana dikatakan; bahwa jika
kita ditimpa musibah maka kita sangat berharap untuk mendapatkan pahala. Maka
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam telah mengajarkan sebuah doa yang
diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar, “Ya Allah tetapkanlah bagiku rasa takut
yang menghindarkanku dari kemaksiatan kepada-Mu, dan ketaatan yang menjadikanku
mencintai-Mu, dan keyakinan yang memandang remeh segala musibah dunia.”
Sungguh, bagi seorang yang zuhud, maka musibah dunia tidak lebih penting
daripada balasan pahala di balik musibah itu.
Ketiga;
Memiliki Kepribadian yang tidak Terpengaruh Respon Sekitar. Sebagaimana
dikatakan; bahkan ketika musibah itu masih bersama kita, kitapun berharap bisa
menambah dan menyimpan pahalanya. Mungkin dengan musibah dan sebagainya,
orang-orang di sekitar memiliki beragam komentar dan sikap terhadap kita. Maka
orang yang zuhud, tidak akan terpengaruh dengan semua perkataan dan perbuatan
manusia. Keyakinannya hanya pada Allah dan pahala dari-Nya.
Dua
Tips Agar dapat Bersikap Zuhud
Agar
kita dapat selalu bersikap zuhud sebagaimana yang diwasiatkan oleh Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam tersebut, maka ada dua tips yang bisa kita terapkan. Pertama;
selalulah memikirkan akhirat dan mengingat segala yang ada padanya. Kedua;
kenalilah dunia secara menyeluruh dan keberadaannya di semesta ciptaan-Nya.
Dengan
selalu mengingat akhirat, maka kita akan terus berhati-hati dalam setiap
interaksi dengan dunia serta mencukupkan tanpa berlebih-lebihan. Dengan
mengenali dunia secara utuh, maka kita akan semakin memahami bahwa dunia tak
seberapa nilainya dalam semesta ciptaan-Nya sehingga tak larut dalam ketakjuban
yang melenakan. Kedua hal inilah yang akan membantu kita untuk terus menjaga
sikap zuhud dalam diri.
Apa
yang Penting Kita Pahami dari Dunia?
Selain
kita memahami bahwa dunia dan segala isinya adalah makhluk-Nya yang hanya
bagian kecil dari semesta ciptaan-Nya, maka jauh lebih penting lagi adalah
memahami pola interaksi manusia dengan dunia tersebut. Sebab manusialah yang
dititahkan menjadi Khalifah di muka bumi. Sebab hanya manusialah yang dikarunia
akal dari seluruh makhluknya. Sebab hanya manusia yang karena kemerdekaan memilih,
berkembang menjadi beragam jenisnya.
Secara
umum ada dua jenis manusia di bumi; Pertama adalah manusia yang mengingkari
hari akhirat, dan Kedua adalah manusia yang meyakini hari akhirat.
Kelompok
pertama jelas, yaitu mereka yang tiada beriman. Gambaran tentang mereka ada
dalam surat Yunus ayat 7-8, “Sesungguhnya orang-orang yang tidak
mengharapkan (tidak percaya akan) pertemuan dengan Kami, dan merasa puas dengan
kehidupan dunia serta merasa tenteram dengan kehidupan itu dan orang-orang yang
melalaikan ayat-ayat Kami, mereka itu tempatnya ialah neraka, disebabkan apa
yang selalu mereka kerjakan.”
Sementara
kelompok kedua adalah orang-orang beriman, yang sesungguhnya meyakini hari
akhirat. Namun keyakinan mereka tidak semuanya terefleksi dalam kehidupannya.
Sehingga menurut Ibnu Rajab al Hanbali bahwa dalam kelompok ini terdapat tiga
golongan besar; yaitu golongan yang Zalim terhadap diri sendiri, golongan
Pertengahan, dan golongan yang Berlomba dalam kebaikan. Dikatakan Zalim
terhadap diri sendiri, karena ia tahu dan yakin akan ada balasan di akhirat bila
melakukan kesalahan namun tetap saja melanggar. Dikatakan Berlomba karena ia
tahu dan yakin akan ada balasan di akhirat sehingga terus melakukan
kebaikan-kebaikan. Sedangkan dikatakan Pertengahan, karena ia tahu dan yakin akan
ada balasan di akhirat sehingga melakukan kebaikan namun sekadarnya bahkan
masih sering memperbanyak hal-hal mubah yang seharusnya diambil secukupnya
saja.
Semakin
berlomba-lomba dengan kebaikan, itulah zuhud. Dan semakin mencukupkan dengan
hal-hal yang mubah, itulah zuhud.
Epilog
Demikianlah
kunci agar bahagia di dunia dan akhirat. Begitulah kunci mendapatkan kecintaan
Allah dan kecintaan sesama. Kecintaan Allah, itulah kebahagiaan kita di
akhirat. Kecintaan sesama, itulah kebahagiaan kita di dunia.
Kunci
dasarnya adalah zuhud, yang kemudian menjadi dua kunci: Zuhud terhadap dunia
dan Zuhud terhadap yang ada pada sesama. Zuhud terhadap dunia, itulah kunci
mendapatkan kecintaan Allah. Zuhud terhadap yang ada pada sesama, itulah kunci
mendapatkan kecintaan sesama.
Kenapa
perlu zuhud terhadap dunia? Karena kecintaan terhadap dunia adalah akar semua
kemaksiatan dan dosa. Bila kita maksiat dan berdosa, itu artinya kita tak cinta
kepada Allah. Dan bila kita tak cinta kepada Allah, maka Allah pun tak akan
mencintai kita.
Kenapa
perlu zuhud terhadap yang ada pada sesama? Karena kecintaan terhadap yang ada pada
sesama adalah akar pertelikungan dan pertikaian. Bila kita menelikung dan bertikai,
itu artinya kita zalim yang membuat Allah murka. Bila Allah murka, maka Allah
tak akan menanamkan rasa kasih sayang sesama kita untuk saling mencintai.
Sebelum
kita tutup, kembali kita mengingat; bahwa zuhud bukan berarti menolak segala
nikmat. Sebab tradisi itu adalah tradisi zaman Persia sebelum Islam, bahkan
dahulu kita terpuruk karena konsep zuhud yang salah pada penghujung era
Abbasiyah.
Alhamdulillah,
konsep zuhud yang salah pada zaman sekarang sudah mulai sirna. Berapa banyak
ummat Islam yang mulai berlomba meraih karunia rezeki dari-Nya. Akan tetapi,
bagaimanapun di sebalik kecenderungan positif ini, kita tetap perlu mawas agar
tidak berujung pada kelalaian. Mawas agar tetap zuhud; dengan terus mengingat
akhirat dan memahami eksistensi hakiki dunia ini.
Jakarta, 3 Maret 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar