Islam
mulai menyebar di Karangasem dengan migrasinya pekerja Muslim dari Lombok,
pelaut dari Makassar, serta pedagang dari Arab. Merekalah yang dianggap dalam
catatan sejarah sebagai masyarakat Sunantara. Berikut ini adalah beberapa fase
potongan sejarah yang menggambarkan proses migrasi tersebut, juga beberapa
peninggalan corak Islam dari migrasi masyarakat Muslim di wilayah Karangasem.
Muslim
dari Lombok
Inskipsi
berhuruf Arab yang terdapat di sebuah batu halaman depan Pura Bukit,
diperkirakan merupakan tulisan pekerja dari Sasak yang membantu restorasi Pura
Bukit. Para pekerja Sasak dari Lombok ini telah masuk ke Karangasem pada 1728
di masa pemerintahan Anak Agung Ketut Karangasem, yang kemudian oleh pihak
kerajaan ditempatkan di perbukitan sebagai pertahanan mengelilingi Puri.
Ceritanya
pada abad XVII, kerajaan Pejanggik di Lombok Tengah masih merupakan bagian dari
Majapahit. Saat itu terdapat para pekerja dari Klungkung yang menjadi tukang
masak dan tukang kayu kerajaan Pejanggik. Sampai pada masa pemerintahan
Pembanmas Meraja Kusuma, mulailah Islam berkembang di sana. Hingga pada tahun
1692 setelah runtuhnya Majapahit, wilayah Lombok menjadi kekuasaan Karangasem.
Setelah itu, berbalik pekerja asal Lombok yang membantu di kerajaan Karangasem.
Maka kini beberapa kebudayaan Sasak tersisa di Karangasem, seperti Bahasa
Sasak, Cak Kepung, Rebana, Wayang Sasak, Tembang-Tembang Sasak dari cerita
Menak, serta Hikayat Nabi.
Muslim
dari Makassar
Karangasem
sendiri pada masa pemerintahan Dalem Sagening berada di bawah kerajaan Gelgel.
Saat itu kerajaan Gelgel dipimpin oleh I Dewa Anom Pemayun. Pada saat itu akhir
abad XVI, diceritakan pernah terjadi kekacauan di desa Tulamben sebagai lokasi
pelabuhan tradisional di Karangasem, dengan kehadiran ‘bajak’ dari ‘sunantara’
yang memberontak kepada Ki Pasek Tulamben, sehingga sebagian besar penduduk
Tulamben melarikan diri termasuk ke Gelgel. Sunantara yang dimaksud ini adalah
Wong Jure Desa yaitu orang asing (bisa Bugis, Makassar, Mandar, Melayu,
Tionghoa, Arab, Eropa atau lainnya). Meski ada yang menyimpulkan bahwa ‘bajak’
yang dimaksud berasal dari Bajo (Sumbawa), namun berdasar perjanjian pembagian
kekuasaan antara Dalem Sagening dengan Sultan Alaudin maka dimungkinkan juga
merupakan Muslim Bugis dari Makassar. Karenanya, berkembang juga Pencak Silat
di daerah Subagan yang konon dirintis oleh Daeng Plele yang wafat tahun 1936.
Muslim
dari Arab
Para
da’i diterima di Bali juga karena kesamaan budaya asalnya. Sebagian da’i itu
kita kenal berasal dari India, yang sama-sama kita tahu sebagai daerah Hindu.
Maka ketika mereka datang ke Bali, menjadi mudah dalam adaptasinya dikarenakan
corak hindu yang ada di Bali.
Di
Karangasem sendiri kemudian muncul beberapa muballigh yang masuk dalam catatan
para peneliti sejarah. Seperti Sayyid Hassan al Idrus di Subagan Telaga Mas,
Sayyid Syeikh Almulakhela di Karang Langko, serta Abdullah bin Salim Bagarib
dari Tarem – Yaman (1859). Ada juga yang datang ke Karangasem sebagai Pedagang,
seperti Al Bajri (1894), Fiddahussin Djiwakhandji dari Udjein - Mandar Rajastan
(India Tengah, 19 November 1918 / 1916), Ali Husein Rasul Bhay dari Udioin
(India Tengah, 1920), serta Fiddahusein Hasan Bay (1930).
Maka
bila Sunantara adalah orang asing, di antaranya adalah orang-orang dari Gujarat
dan negeri-negeri Arab. Sehingga ada kesenian Rudat di Karang Tohpati dan
Kecicang, yang disinyalir berasal dari Arab.
Epilog
Menariknya,
hubungan ummat Islam dengan Puri di Karangasem sangat bagus. Beberapa masjid
tua dibangun dengan bantuan dari Puri; seperti yang ada di daerah Ujung, Karang
Langko, Nyuling, Subagan, dan Dangin Sema. Tidak hanya dalam pembangunan
masjid, setiap ummat Islam merayakan Iedul Fitri, maka pihak Puri juga
menyumbang minyak untuk dibagikan kepada ummat Islam. Bahkan bila ada yang berangkat
Haji, Raja Karangasem pun turut memberikan bekal.
Dalam
kehidupan sehari-hari pun ikatan antara masyarakat Muslim dengan pihak kerajaan
terjalin dengan baik. Utamanya dalam hal Sosial dan Ekonomi, terdapat ikatan ‘Pauman’;
yaitu ikatan atas tanah hadiah dari Puri yang terdapat di daerah Dangin Sema,
Nyuling, dan Subagan. Begitupun sebaliknya, masyarakat Muslim juga turut membantu
dalam upacara-upacara adat kerajaan.
Jakarta, 21 Maret 2016
Muhammad Irfan Abdul Aziz
SMART (Studi Masyarakat untuk Reformasi Terpadu)
1 komentar:
Bertanya
Posting Komentar