Sebagian kita, baik karena
ketidak-pahaman maupun karena keisengannya, mencoba mempertanyakan tentang
kevalidan teks syahadat Rasul yang merupakan penggal kedua dari Syahadatain
ummat Islam. Mereka mengatakan bahwa kalimat syahadat Rasul itu tidak ada di
dalam al Qur’an. Sedangkan yang ada di dalam al Qur’an hanyalah perintah untuk
beriman kepada Allah, yang tertulis jelas dengan kalimat ‘Laa ilaaha illa
Allah’. Sementara tidak ada kalimat ‘Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah’.
Mereka berpendapat, bahwa dengan tidak
adanya lafaz itu di dalam al Qur’an maka kemungkinan ummat Muhammad berlebihan
hingga menambah kalimat syahadat yang kedua itu. Padahal Rasulullah tidak mau
dibegitukan, demikian menurut pandangan mereka.
Benarkah Tidak Ada di
Dalam Al Qur’an?
Kalimat ‘Laa ilaaha illa Allah’ terlafadz
pada surat Muhammad ayat 19:
فَاعلَم أَنَّهُ لا إِلٰهَ إِلَّا اللَّهُ وَاستَغفِر لِذَنبِكَ
وَلِلمُؤمِنينَ وَالمُؤمِناتِ ۗ وَاللَّهُ يَعلَمُ مُتَقَلَّبَكُم وَمَثواكُم
“Maka
ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, tuhan) selain Allah
dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mu'min, laki-laki
dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu
tinggal.”
Lalu, bagaimana dengan kaliman ‘Muhammadar
Rasulullah’? Sesungguhnya tidak tepat bila dikatakan bahwa kalimat itu tidak
ada di dalam al Qur’an. Sebab bila kita membaca surat Al Ahzab, maka kita akan menemukannya
pada ayat ke-40. Bahkan pada firman itu, Allah azza wa jalla tidak hanya
menyatakan bahwa Muhammad adalah Rasulullah, namun juga menegaskan bahwa
Muhammad adalah penutup para Nabi. Yang menggenapkan dan yang menutup, maka tak
ada lagi kenabian setelah Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam.
Ayat yang
dimaksud itu lafadznya sebagai berikut:
ما كانَ مُحَمَّدٌ أَبا أَحَدٍ مِن رِجالِكُم وَلٰكِن رَسولَ
اللَّهِ وَخاتَمَ النَّبِيّينَ ۗ وَكانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيءٍ عَليمًا
“Muhammad
itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi
dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu.”
Demikianlah firman Allah yang menyatakan
bahwa Muhammad adalah Rasulullah. Lalu, apakah memang ada syahadat yang kedua;
yaitu syahadat Rasul? Sekiranya, kita perlu merenungi firman Allah subhanahu
wata’ala di surat an Nisa’ ayat 150 dan 151.
إِنَّ الَّذينَ يَكفُرونَ بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ وَيُريدونَ أَن
يُفَرِّقوا بَينَ اللَّهِ وَرُسُلِهِ وَيَقولونَ نُؤمِنُ بِبَعضٍ وَنَكفُرُ
بِبَعضٍ وَيُريدونَ أَن يَتَّخِذوا بَينَ ذٰلِكَ سَبيلًا. أُولٰئِكَ هُمُ الكافِرونَ حَقًّا ۚ وَأَعتَدنا لِلكافِرينَ عَذابًا مُهينًا
“Sesungguhnya
orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud
memperbedakan antara (keimanan kepada)
Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan: ‘Kami beriman kepada yang
sebahagian dan kami kafir terhadap sebahagian (yang lain)’, serta bermaksud
(dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman
atau kafir). Merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah
menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan.”
Pada
firman Allah azza wa jalla tersebut, telah ditegaskan bahwa keimanan kepada
Allah dan kepada Rasul-Nya adalah kesatuan yang tak bisa dipisahkan. Maka,
tidak bisa kita hanya mengimani Allah dan mengabaikan Rasul-Nya. Begitupun kita
tidak bisa mengimani sebagian Rasul-Nya dan mengabaikan sebagian Rasul-Nya yang
lain. Sehingga ditegaskan di ayat 151 pada surat itu; bahwa mereka yang
membeda-bedakan keimanan hingga memisahkan kesatuan iman itu, sesungguhnya adalah
orang-orang kafir. Sungguh mereka tidak beriman, kecuali hanya sekadar tampil
seakan-akan sebagai orang yang beriman. Padahal dalam hatinya terdapat
benih-benih pengingkaran.
Mungkin
mereka akan bertanya kembali; perlukan keimanan kepada Rasul-Nya itu juga
dipersaksikan dan menjadi rangkaian dari Syahadat ummat Islam? Tentu, sebagaimana
firman-Nya dalam surat al Ahzab ayat 40 telah ditegaskan bahwa Muhammad adalah
penutup para Nabi. Dan di antara makna penutup para Nabi adalah penyempurna
risalah-risalah para Nabi; baik dengan melengkapinya maupun dengan menghapus syariat
sebelumnya agar dapat sesuai bagi ummat manusia akhir zaman hingga tibanya hari
Kiamat. Maka, sebagai penegasan risalah penyempurna dan penutup inilah kita ikrarkan dengan Syahadat Rasul.
Allah subhanahu wata’ala juga telah menyatakan dalam
surat Al Ma’idah ayat 3, “Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa
untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan
takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan
telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu menjadi
agama bagimu.”
Sejak Allah azza wa jalla sempurnakan agama-Nya dan
meridhai Islam sebagai satu-satunya agama bagi ummat manusia akhir zaman, maka
berputus-asalah orang-orang kafir. Sesungguhnya, di antara keputus-asaan mereka
adalah dengan menghadirkan keragu-raguan pada ummat Islam.
Benarkah
Ummat Muhammad Telah Berlebihan?
Ada lontaran menarik lagi dari mereka;
bahwa kemungkinan ummat Muhammad telah berlebihan hingga menambah kalimat
syahadat yang kedua itu, padahal Rasulullah tidak mau dibegitukan. Oya?
Benarkah Rasulullah tidak mau
dibegitukan? Atau justru yang berlebih-lebihan adalah perasaan mereka? Karena, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bahkan pernah berpesan
kepada sahabat-sahabatnya sebagaimana dalam Shahih Muslim:
أَشْهَدُ أَنْ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ
، لا يُلْقَى بِهِمَا عَبْدٌ غَيْرَ شَاكٍّ فِيهِمَا إِلا دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Aku
bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan sesungguhnya aku adalah Rasulullah,
tidaklah seorang hamba bertemu (Allah) dengan dua kalimat tersebut tanpa
keraguan melainkan ia akan masuk surga.”
Jadi,
tidak benar juga bila dikatakan Rasulullah tidak mau dibegitukan; yaitu
dipersaksikan sebagai Rasulullah dalam kalimat syahadat ummat Islam. Sedangkan
beliau telah berpesan kepada sahabat-sahabatnya dengan sabda tadi. Bahkan saat datang
Jibril alaihissalam di tengah-tengah majelis Rasulullah dan
sahabat-sahabatnya yang menanyakan definisi Islam, Iman dan Ihsan; maka
Rasulullah menjelaskan definisi Islam dengan kelima rukunnya yang dimulai
dengan dua kalimat syahadat. Sungguh kehadiran Jibril itu ingin mengajarkan
ummat Islam secara tidak langsung, dan jawaban Rasulullah itulah poin
pelajarannya. Hadits yang diriwayatkan dari Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu
itu kemudian oleh Ibnu Daqiq al ‘Ied disebut sebagai ummus sunnah
(induknya sunnah), karena itulah inti ajaran Islam yang ada pada seluruh
hadits.
Sekali
lagi, ternyata Rasulullah sangat berkenan dibegitukan, bahkan justru beliau
yang mengajarkan. Tapi perlu dipahami, bahwa hal itu sesungguhnya bukan kehendak pribadi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam, melainkan itu adalah kehendak
Allah subhanahu wata’ala. Sebab, segala yang keluar dari lisan
Rasulullah, sesungguhnya bukanlah hawa nafsu melainkan hanyalah penyambung pesan dari Allah
azza wa jalla. Begitulah yang telah ditegaskan dengan firman-Nya.
وَما
يَنطِقُ عَنِ الهَوىٰ. إِن
هُوَ إِلّا وَحيٌ يوحىٰ.
“Dan dia tidak berbicara menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya).” (Al-Najm : 3-4)
Epilog
Tidak
diketahui pasti, bagaimana mereka masih mempertanyakan hal ini. Memang beberapa
saat yang lalu sempat merebak aliran GAFATAR (Gerakan Fajar Nusantara).
Sebagaimana penjelasan MUI dan perjalanan sejarah yang kita kenali, bahwa gerakan
ini pernah menamakan kelompoknya sebagai Millah Abraham; yaitu kelompok yang
berpegang pada ajaran Ibrahim lalu menyatukan semua agama (Islam, Nasrani dan
Yahudi).
Sungguh,
semoga hal itu karena ketidak-tahuan mereka. Namun bila hal itu merupakan kesengajaan
mereka untuk mengelabui kebenaran yang telah nyata, maka itulah sebentuk keputus-asaan orang-orang kafir atas agama Islam dan kerasulan Muhammad sebagaimana yang
diingatkan Allah dengan firman-Nya pada surat Al Ma’idah ayat 3.
Sehingga, Gerakan
Fajar Nusantara (GAFATAR) yang sempat merebak telah mencoba campurkan ajaran
Islam, Nasrani dan Yahudi dengan cara yang ngawur. Tapi mereka luput -atau sengaja
melupakan- untuk merenungi doa Ibrahim dan isyarat Isa.
Bahwa
Ibrahim alaihissalam saat meninggikan kembali pondasi Ka’bah sempat berdoa
kepada Allah agar dari keturunannya kelak -yaitu dari garis keturunan Arab-,
ada yang diutus untuk menjadi Nabi dan Rasul. “Duhai Rabb kami, dan bangkitkan di antara
mereka seorang Rasul dari kalangan mereka sendiri; yang akan membacakan atas
mereka ayat-ayatMu, mengajarkan Al Kitab dan Al Hikmah, serta mensucikan
mereka. Sesungguhnya Engkau Maha Perkasa lagi Maha Bijaqksana.” (Al Baqarah ayat 129)
Begitupun Isa alaihissalam
telah memberikan kabar gembira kepada umatnya tentang akan datangnya Nabi
akhir zaman. Hal itu disampaikan sekitar 500-an tahun sebelum lahirnya Muhammad. “Dan (Ingatlah) ketika ‘Îsâ putra
Maryam berkata, ‘Hai Banî Isrâîl, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada
kalian, membenarkan Kitab sebelumku -yaitu Taurat-, dan memberi kabar gembira
dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang bernama Ahmad.’
Maka tatkala Rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang
nyata, mereka berkata, ‘Ini adalah sihir yang nyata.’.” (Ash-Shaff ayat 6)
Begitulah! Sehingga Muhammad
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam pernah mendefinisikan dirinya
saat ditanya para sahabatnya, dengan bersabda: “Aku adalah jawaban dari doa bapakku Ibrahim dan
aku adalah orang yang dimaksud oleh saudaraku Nabi Isa dalam kabar gembiranya.”
Maka, bila mereka sungguh mengaku
berpegang pada Millah Abraham, semestinya mengakui Muhammad sebagai Rasulullah
yang lahir di tanah Makkah yang dahulu saat Ibrahim mengantar Hajar dan Ismail ke
tempat itu, masih dalam kondisi tandus tak berpenghuni. Begitupun, hendaknya
mereka hanya mengakui Islam dan tak lagi menganggap kebenaran Yahudi dan Nasrani
pada zaman kini; sebagaimana isyarat Isa alaihissalam: bahwa Muhammad
itu adalah Rasulullah. Isyarat Isa alaihissalam ini hendaknya
memantapkan kita untuk mengimani Rasulullah Muhammad shalallahu ‘alaihi
wasallam dan tidak sebaliknya turut mengingkarinya bahkan mempertanyakan
perihal syahadat yang kedua.
Semoga mereka yang mempertanyakan itu
tersebab ketidak-pahaman, dan bukan karena sengaja mempertanyakan untuk
menimbulkan keragu-raguan. Sebab, dua syahadat itu adalah kesatuan sebagai definisi
Islam. Bila kita tidak mempersaksikan ketuhanan Allah azza wa jalla,
maka kita tergolong orang yang kafir. Dan bila kita tidak mempersaksikan
kerasulan Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam, maka kita tergolong
orang-orang munafik yang dapat terjatuh pada kekufuran karena terlilit
keragu-raguan yang mereka buat sendiri. Demikianlah sejarah umat-umat lintas zaman telah wariskan kearifan simpulan ini kepada kita.
Semoga Allah mantapkan petunjuk
hidayah-Nya kepada setiap hati-hati kita. Sehingga Allah subhanahu wata’ala matikan
kita dalam keadaan husnul khatimah; yang mantap mempersaksikan ketuhanan
Allah dan mempersaksikan kerasulan Muhammad. Aamiin.
Jakarta,
12 Februari 2016
Muhammad
Irfan Abdul Aziz
Tidak ada komentar:
Posting Komentar