Dakwah ini akhirnya bisa menyatu di tengah masyarakat karena prinsip “Kita
adalah Da’i dan bukan Hakim.” Ungkapan ini begitu menginspirasi para aktivis
dakwah dari jebakan-jebakan perspektif Khawarij yang ekstrim, Murji’ah yang
liberal, Mu’tazilah yang kebablasan serta Syiah yang campur-aduk tak jelas.
Quote yang diterakan oleh Hasan Hudaybi sejak 1965 ini kemudian menjadi
judul bukunya. Uniknya, kalimat penuh hikmah itu muncul justru saat Hasan Hudaybi
sedang dalam penyiksaan rezim di penjara Liman Turah. Bersama rekan-rekannya
yaitu Umar Tilmisani dan Mustafa Masyhur serta putranya yaitu Ma’mun Hudaybi,
beliau mengelaborasi kalimat hikmah itu menjadi wacana dakwah yang penuh
kearifan.
Hasan Hudaybi ingin menjawab Umar Tilmisani, yang mulai resah dengan aksi
radikalisme para pemuda dari kalangan aktivis dakwah. Memang di satu sisi, ia
dapat memahami bahwa di tengah penyiksaan rezim yang tak terkira itu sangat
wajar bila para pemuda berontak melawan dengan segala sikap radikalnya. Namun
di sisi lain, ia juga tidak bisa menerima sikap para pemuda yang mencoba
berontak dari penindasan rezim namun justru berujung pada sikap mudah
mengkafirkan dan tindakan radikal, sebab itu bukanlah bagian dari karakter
dakwah Islam. Sungguh, ini adalah keresahan seorang da’i yang selalu
mendambakan kehidupan yang baik di bawah naungan Islam. Meskipun dalam kondisi
tersiksa, ia tetap sadar bahwa dakwah Islam tetap memiliki karakter-karakter
yang unik bermartabat. Bukan dirinya yang ia risaukan, namun ummat dan masa
depan dakwah yang menjadi kerisauannya.
Sikap Terhadap Gerakan Pengkafiran
Syeikh Hasan Hudaybi memandang bahwa vonis kekafiran tidak dapat ditimpakan
pada ucapan ataupun perbuatan yang dilakukan karena kebodohan, kesalahan, atau
keterpaksaan. Sehingga, tidak bisa serta-merta menganggap sebuah rezim atau
masyarakat itu kafir hanya karena sikap dan tindakannya yang memusuhi da’i,
tanpa menyeksamai apakah mereka itu bersikap demikian karena bodoh, salah, atau
terpaksa.
Dalam memandang hukum Allah, Syeikh Hasan Hudaybi membagi sikapnya pada dua
hal. Pertama; ia mengakui bahwa Allah subhanahu wata’ala adalah pembuat
hukum yang mutlak dan menjadi sumber hukum yang adil. Kedua; ia menolak pemutusan
hukum dari Allah terhadap seluruh dinamika kehidupan ini, karena terminologi hakimiyatullah
semacam ini tidak dikenal dalam al Qur’an, Sunnah ataupun di kalangan ulama
terdahulu.
Pandangan Syeikh Hasan Hudaybi ini berdasar pada pembedaan antara Ibadah
dan Muammalah yang telah dipaparkan oleh para ulama. Ibadah memiliki ketentuan
langsung dari Allah yang tetap dan memiliki dua hukum; wajib dan haram.
Sementara Muammalat memiliki ketentuan yang tidak tetap dan memiliki ruang
ijtihad dengan implikasi hukum; tepat dan tidak tepat. Maka bila dalam ibadah
kita hanya menilai ini wajib dan itu haram. Sedangkan dalam muammalah kita
tidak cukup menilai ini halal dan itu haram, melainkan ada juga halal yang
tepat dan halal yang tidak tepat, begitupun haram yang bisa ditoleril dan haram
yang tidak bisa ditoleril.
Jadi, dalam menjalani kehidupan ini ada hukum yang langsung dari wahyu Allah
dan ada hukum yang dirumuskan melalui mekanisme syuro. Yang langsung dari wahyu
Allah itu sifatnya tetap dan tak bisa diganti; namun jumlahnya sedikit
khususnya pada masalah ibadah. Adapun tata aturan dalam muammalah selain yang
sedikit dipandukan oleh wahyu Allah masih sangat banyak yang perlu dirumuskan
melalui mekanisme syuro.
Sebab Radikalisme Agama
Pada kehidupan beragama ini, radikalisme muncul menurut Syeikh Hasan
Hudaybi karena gagalnya seseorang dalam membedakan antara pelaksanaan hukum
melalui peran negara dengan kewajiban menjadikan Tuhan sebagai Hakim dalam
segala urusan.
Di sini ada dua hal yang perlu dicamkan: individu dan kolektif. Pelaksanaan
hukum (utamanya pidana yang berdasar wahyu Allah) itu sifatnya kolektif. Sedangkan
ketundukan pada ketetapan hukum itu sifatnya individu. Dengan demikian, sebenarnya
eksistensi dan identitas keislaman tetap terjaga sekalipun tidak dalam
pemerintahan Islam. Tentu syaratnya, kaum Muslimin harus ridho dengan
keislamannya, tunduk dengan prinsip-prinsip Islam, dan menegakkan amar ma’ruf
nahi munkar.
Amar ma’ruf nahi munkar sendiri dalam pandangan Syeikh Hasan Hudaybi
hendaknya merupakan sikap aktif seorang Muslim dan bukannya sikap pasif seorang
Muslim. Yang pasif itu hanya bisa marah dengan mimpi-mimpi jangka pendeknya.
Sementara yang aktif, maka dia akan berusaha menolak ketidak-adilan, melarang
perbuatan dosa, serta menyingkirkan kemunkaran dengan sepenuh tanggungjawab
jangka panjangnya.
Sehingga yang perlu dilakukan bukannya tindakan radikal meruntuhkan
pemerintahan, melainkan sikap diri untuk terus komitmen terhadap Islam dan
menebar komitmen itu kepada segenap kaum Muslimin. Maka, meruntuhkan
pemerintahan secara radikal dipandang oleh Syeikh Hasan Hudaybi merupakan
tindakan yang tidak tepat.
Alasan pertamanya; kepemimpinan di kalangan ummat Islam bagaimanapun
wujudnya merupakan kelanjutan eksistensial pemerintahan Islam. Alasan kedua;
meruntuhkan pemerintahan secara radikal justru akan memicu kekacauan sehingga ummat
mudah dipecah.
Tentu pandangan Syeikh Hasan Hudaybi ini tidak sendirian. Sebab sebelumnya
Imam Ghazali juga telah memberikan pandangan yang sama; bahwasannya tunduk
kepada pemerintahan yang zalim namun kuat lebih utama daripada memberontaknya
yang berakibat kekacauan sipil yang sulit diakhiri. Tentu dengan syarat;
ketundukan kepada pemerintah zalim itu tidak dalam pelanggaran syariat.
So, kemudian kita mendapatkan quote lainnya dari Syeikh Hasan Hudaybi, “Tegakkan
hukum Islam dalam hatimu, niscaya ia akan tegak di negaramu.”
#SerialDakwahKultural _ 7 Februari 2016
1 komentar:
i see i see, tq for d enlightmen :)
Posting Komentar