Pasca penaklukan Gajah Mada tahun 1343, Bali didominasi oleh kuasa
kerajaan Hindu. Saat itu sebagai penguasa baru berasal dari keluarga Kresna
Kepakisan dari Majapahit (Jawa), yang memerintah di Samprangan (Gianyar). Raja saat
itu dibantu oleh para Patih yang berasal dari keluarga Arya dan Wesia. Para
Patih dari keluarga Arya adalah Arya Kenceng, Arya Kenuruhan, Arya Belog, Arya
Manguri, Arya Delancang, Arya Pengalasan, Arya Wangbang, Arya Kutawandira. Adapun
para Patih dari keluarga Wesia adalah Tankober, Tanmundur, dan Tankaur.
Tiga puluh tujuh tahun kemudian setelah penaklukan Gajah Mada yaitu
tepatnya tahun 1380, kondisi sosial di Bali masih sering terjadi pertentangan
antara penduduk asli dengan penguasa yang notabenenya adalah pendatang. Bahkan
setelah raja meninggal dan diganti putra pertamanya, pertentangan justru
terjadi di dalam kerajaan sendiri. Saat itu para pegawai tinggi dan punggawa kerajaan
merasa tidak puas terhadap Dalem Samprangan, sang raja baru.
Salah satu petinggi kerajaan yang bernama Kubontubuh bahkan
memelopori para pegawai dan punggawa kerajaan untuk memilih putra terkecil dari
Kresna Kepakisan yang bernama Ketut Ngelesir sebagai Raja, yang akhirnya
mendirikan keraton di Gelgel sebagai pusat pemerintahannya. Maka ada dua
pemerintahan; yaitu pemerintahan Dalem Samprangan (putra pertama) yang banyak
pertentangan dengan pusat di Samprangan -Gianyar- dan pemerintahan Ketut
Ngelesir (putra kedua) yang didukung oleh Kubontubuh beserta para punggawa
dengan pusat di Gelgel -Klungkung-.
Sejak abad XIV di masanya Dalem Ketut Ngelesir inilah mulai hadir
orang Islam di Gelgel, Klungkung. Mereka adalah prajurit muslim yang diutus
oleh Majapahit untuk mengiringi Dalem Ketut Ngelesir sepulang dari pertemuan kerjaaan
Majapahit se-nusantara. Namun sejak awal, orang Muslim di Gelgel tidak
mendirikan kerajaan tersendiri seperti kerajaan-kerajaan Islam di pantai utara
pulau Jawa pada masa Majapahit. Tetapi mereka bertindak sebagai abdi Dalem yang
memerintah.
Sebagaimana kita ketahui, pusat kerajaan Islam pada abad XV dan XVI
adalah Demak dan Mataram. Demak muncul sebagai pusat penyebaran agama Islam,
sehingga dijuluki sebagai kota Makkah di kawasan nusantara. Maka kelak, saat
ada tamu ke kerajaan Gelgel yang disebut berasal dari makkah, maka itu
maksudnya dari Demak. Bila menurut C.C. Berg, yang datang ke Bali saat itu adalah
utusan Raden Fatah, Raja Demak.
Utusan dari Demak ini datang untuk mengajak Raja Gelgel memeluk
Islam. Namun gagal, dan akhirnya utusan ini mendapatkan hukuman. Di kalangan
masyarakat Bali tersebar cerita bahwa utusan itu tidak sengaja bunuh diri
dengan tikaman kerisnya. Kuburannya berada di desa Satra, kurang lebih 3 km di
selatan Klungkung atau 1,5 km di barat daya Gelgel. Kuburannya itu disebut Sema
Jarat atau Sema Pajaratan (bahasa Bali). Melihat penamaan ini, maka kemungkinan
nama itu berasal dari istilah Gujarat. Inilah yang membuktikan bahwa pernah ada
utusan Islam untuk berdakwah kepada Raja Gelgel kala itu, yang berasal dari
Demak dan kemungkinan termasuk pedagang Gujarat. Atau bisa juga karena istilah
Gujarat identik dengan Islam, maka kebalikannya orang Islam juga diidentikkan
dengan panggilan Gujarat.
Begitulah ummat Islam berada di Gelgel, rahim Klungkung. Mereka
tidak mendirikan kerajaan sendiri, bahkan mereka menjadi pelayan Raja. Meskipun
pernah datang utusan da’i ke kerajaan Gelgel, namun saat itu belum berhasil
mengajak Raja memeluk Islam. Bali kemudian menjadi satu-satunya pusat agama
Hindu di nusantara.
Untuk mempertahankan identitas hindu dan eksistensi kerajaannya, maka
kemudian merebut wilayah Blambangan serta wilayah Lombok dan Sumbawa. Blambangan
difungsikan sebagai pembendung masuknya Islam dari barat yaitu dari Mataram dan
Demak. Sedangkan Lombok dan Sumbaha difungsikan sebagai pembendung masuknya
Islam dari timur yaitu dari Goa dan Makassar.
Ada cerita menarik dari usaha kerajaan Gelgel merebut Blambangan.
Awalnya kerajaan Gelgel hendak menjalin persahabatan dengan Blambangan melalui
politik perkawinan. Dalem Waturenggong meminang Ni Bas (putri Sri Juru, Raja
Blambangan). Namun, pinangannya ternyata ditolak. Dalem Waturenggong pun marah,
sehingga Blambangan pun diserang. Sebanyak 1600 pasukan dan 25 armada perahu yang
dipimpin Kyai Ularan berangkat dari Bali untuk menyerang Blambangan. Dalam
penyerangan ini, Sri Juru (sang putri) akhirnya terbunuh dan Nu Bas (sang Raja)
pun bunuh diri. Sehingga Blambangan dapat dikuasai.
Begitulah perjalanan kerajaan Gelgel, di mana tempat pertama
persemian ummat Islam di Bali. Namun kelak keutuhan kerajaan Gelgel menyusut setelah
Dalem Waturenggong wafat. Dengan munculnya kerajaan Buleleng (Mengwi) yang
pernah menguasai Blambangan, dan munculnya kerajaan Karangasem yang pernah merebut
Lombok.
Ummat Islam telah berperan mengawal Raja Gelgel dari Majapahit
hingga Klungkung. Lalu menjadi pelayan di kerajaan. Bahkan juga berperan dalam
memperluas wilayah kerajaan.
Jakarta, 2
Februari 2016
Muhammad
Irfan Abdul Aziz
SMART (Studi Masyarakat untuk
Reformasi Terpadu)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar