Selasa, 23 Februari 2016

BAGAIMANA MEMBANGUN MASYARAKAT ISLAMI?


Bahwa dakwah ini, tujuannya mengenalkan Tuhan Yang Maha Esa kepada seluruh manusia di dunia. Agar mereka memahami konsepsi Tauhid yang akan menjadi basis setiap langkah kehidupannya. Dengan konsepsi Tauhid, setiap manusia akan dibebaskan dari kekuasaan sesama manusia; baik berupa kedaulatan, hukum-hukum, nilai-nilai ataupun tradisi-tradisi. Maka tidak ada satupun Kedaulatan figur yang mengungkung, tidak ada satupun Hukum kehendak sekelompok orang yang mengintimidasi, tidak ada satupun Nilai leluhur yang mencekoki, pun tak ada satupun Tradisi manusia yang membunuh ilmu.


Konsepsi Tauhid inilah yang akhirnya mengantarkan pada satu kekuasaan Allah semata; dengan satu Kedaulatan-Nya dan Hukum-Nya dalam semua dimensi kehidupan. Hal ini sesungguhnya merupakan kebutuhan esensi manusia. Bahwa kita memang perlu menyerahkan Kekuasaan hanya kepada Allah azza wa jalla, karena kekuasaan yang mampu mengatur kehidupan manusia tentu hanyalah kekuasaan yang juga mengatur eksistensi manusia. Maka bila eksistensi Manusia dalam kehidupan ini berada di tangan Allah, bahwa hidup dan mati kita hanya Allah yang menentukan, tentu hanya Allah pula yang dapat mengatur kita. Sehingga, bagaimana sesama manusia yang tak saling menentukan eksistensi sesamanya dalam pentas kehidupan ini, bisa saling merasa berkuasa untuk saling mengatur sesuai kehendak masing-masing?

Sebagaimana paparan Abul A’la al Maududi dalam buku Mabadi’ al Islam, “Manusia tidak akan mampu mengubah sunnatullah dalam hukum alam yang mengatur dan mengendalikan semesta.” Jadi, bagaimana bisa sok-sokan berkuasa, sedangkan dirinya sama sekali tak mampu mengubah sunnatullah dalam hukum alam semesta ini?

Inilah akar masalahnya. Dan Islam hadir untuk membebaskan manusia dari akar masalah ini; yaitu Kekuasaan Sesama Manusia. Hal itu tidak boleh ada dalam kehidupan ini. Bila tetap ada sosok-sosok yang merasa Berkuasa, maka sosok itu akan kewalahan sendiri dalam mengelola kehidupan dan manusia yang ia anggap berada dalam kekuasaannya, sebab memang ia sebenarnya tak punya kuasa dan hanya merasa berkuasa yang berakibat kemurkaan Allah. Inilah pesannya, kenapa kita tidak boleh meminta jabatan. Ini pula pesannya, kenapa Kesombongan adalah pakaian Allah semata.

Pelajaran Sejarah Masyarakat Terdahulu

Bila dakwah Islam bertujuan membebaskan manusia dari kekuasaan sesama manusia lainnya, maka sesungguhnya apa yang telah terjadi pada masyarakat-masyarakat sebelumnya? Kiranya tiga contoh masyarakat berikut dapat memberikan gambaran akan kondisi zaman sebelumnya.

Pertama; Masyarakat Romawi

Telah kita dapati dalam sejarah, bahwa imperium Romawi adalah imperium yang berdasar pada ikatan kemanusiaan dengan konsep strata sosial-ekonomi. Sebab imperium Romawi memang terbentuk dari kalangan borjuis yang menghegemoni suku-suku lain melalui perbudakan. Sungguh, perbudakan itu adalah penguasaan manusia atas manusia lainnya yang sangat memprihatinkan.

Kedua; Masyarakat Inggris

Hampir mirip dengan Imperium Romawi, begitupun Imperium Inggris ini terbentuk. Bermula dari konsep kebangsaan imperialis, menjajah ke segenap bangsa-bangsa, hingga mengeksploitasi bangsa-bangsa lainnya. Maka, meranalah sebuah bangsa karena penguasaan bangsa lain.

Ketiga; Masyarakat Komunis

Apalagi dalam Imperium Komunis, lebih-lebih menekankan prinsip strata dalam tatanan masyarakatnya. Dengan menggunakan propaganda bahwa kebutuhan pada makanan, tempat tinggal dan seks menjadi sifat-sifat dasar manusia. Menumbuhkan obsesi sebatas makanan, tempat tinggal dan seks inilah yang akhirnya melahirkan kesewenang-wenangan sekelompok manusia atas manusia lainnya.

Cermin Masyarakat Islam

Setelah kita menyeksamai pelajaran sejarah dari masyarakat terdahulu, marilah kita bercermin pada masyarakat Islam. Apa yang membedakan masyarakat Islam dengan masyarakat sebelumnya? Yaitu pada sistem dan motif yang membentuknya. Bahwa masyarakat sebelumnya mendasarkan sistem dan motifnya pada asas Kebangsaan, Kewarganegaraan, Tanah Air, maupun Strata. Sehingga hanya membawa manusia pada permusuhan sesamanya; antar Bangsa dan antar Strata. Adapun sistem dan motif dalam pembentukan masyarakat Islam mendasarkan pada asas Iman. Apapun bangsanya dan apapun stratanya, bila ia beriman maka bersaudara. Dengannya tak saling menguasai, namun yang ada adalah kesetaraan.

Bila asas Iman inilah yang menjadi landasan sistem dan motif terbentuknya masyarakat Islam, yang kemudian menghadirkan tatanan sosial yang egaliter; maka sesungguhnya inilah yang dihindari oleh para Imperialis dan Penguasa. Sehingga mereka sengaja tidak menerapkan konsep Islam ini, karena tidak ingin manusia mengembangkan diri dengan potensi individunya yang luhur seperti yang difitrahkan oleh Allah di dunia ini.

Kenapa? Sebab bila potensi setiap manusia berkembang, maka semuanya akan berdaya. Keberdayaan manusia inilah yang akan menyulitkan para Imperialis dan Penguasa itu untuk menundukkannya.

Sebab Penyimpangan

Jadi mereka takut seluruh manusia dapat berdaya dalam jaminan kemerdekaan Islam, sehingga sulit ditaklukkan. Tapi bila kita telusuri, selain ketakutan itu, sebab penyimpangan lainnya adalah gagalnya memahami hakikat Ketuhanan Allah azza wa jalla. Inilah yang menjelaskan kenapa ada pula Penguasa Muslim yang zalim.

Karena meskipun mereka telah mengakui ketuhanan Allah subhanahu wata’ala, namun mereka keliru dalam memahami hakikat Tuhan yang hak. Kesalahan pemahaman inilah yang membuat keimanan mereka menyimpang.

Ada dua penyimpangan yang akan lahir dari kesalahan pemahaman itu. Pertama, penyimpangan berupa menyekutukan Allah dalam Keyakinan dan Peribadatan. Kedua, penyimpangan berupa menyekutukan Allah dalam Kedaulatan dan Ketundukan.

Bila kita salah memahami hakikat Tuhan, yang tidak memandang bahwa Tuhan Maha Segalanya, maka kita akan terjatuh pada penyimpangan Keyakinan dan Peribadatan. Sehingga akan menghadirkan Keyakinan tambahan selain pada-Nya dan menambah Peribadatan kepada selain-Nya.

Selain penyimpangan pertama, bisa juga terjatuh pada penyimpangan Kedaulatan dan Ketundukan. Sehingga akan menghadirkan atau bahkan membuat Kedaulatan yang sejajar dengan Kedaulatan-Nya dan memberikan atau meminta Ketundukan yang sama dengan Ketundukan kepada-Nya.

Kejahiliyahan yang Dihadapi Para Nabi

Baik. Setelah kita menelusuri sejarah tatanan masyarakat terdahulu, lalu bercermin pada tatanan masyarakat Islam, akhirnya kita menemukan poin yang menyebabkan mereka menolak konsep Islam. Pertama karena takut manusia semakin berdaya dengan kemerdekaan Islam sehingga menyulitkan mereka berkuasa dan berdaulat. Kedua karena kegagalan memahami hakikat Allah yang Maha Segalanya sehingga terpancing mengambil bagian dalam Kuasa dan Kedaulatan terhadap makhluk-Nya.

Tapi, ada satu hal lagi yang perlu kita pahami, yaitu implikasi dari dua poin penyebab penolakan pada konsep Islam tersebut. Itulah kejahiliyahan-kejahiliyahan yang dahulu dihadapi oleh para nabi.

Pertama; Kejahiliyahan berupa penetapan kedaulatan di tangan manusia. Penolakan mereka kepada konsep Islam, itu sikapnya. Namun implikasinya adalah menetapkan Kedaulatan manusia atas manusia lainnya.

Kedua; Kejahiliyahan berupa penyimpangan eksistensi semesta. Penolakan mereka kepada konsep Islam, itu sikapnya. Namun implikasinya adalah menyimpangkan eksistensi semesta; ada yang dituhankan dan ada yang dihambakan dari isi semesta ini, sekehendak hati mereka.

Ketiga; Kejahiliyahan berupa benturan dalam kehidupan individu manusia. Penolakan mereka kepada konsep Islam, itu sikapnya. Namun implikasinya adalah terjadinya benturan kejiwaan setiap manusia. Ada yang merasa nista, ada yang merasa mulia. Ada yang serba tak nyaman, ada yang arogan.

Itulah tiga implikasi kejahiliyahan yang lahir dari penolakan mereka terhadap konsep Islam. Di masa Rasulullah, ketiganya sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari kala itu, mengisi setiap gerak masyarakatnya. Kesadaran akan fenomena inilah yang menjadikan dakwah tak cukup dengan teori, namun juga perlu menghadirkan dengan sepenuh kesungguhan sebuah tatanan masyarakat Islami.

Sebab bila kejahiliyahan sebatas teori, maka dakwah pun dapat sebatas teori. Namun bila kejahiliyahan sudah sampai pada ranah praktek, maka dakwah pun hendaknya hadir pula dalam ranah praktek.

Epilog

Intinya adalah dakwah harus mampu menyeimbangi kejahiliyahan yang sudah merebak hingga ke akar-akar masyarakat. Maka perlu adanya pembangunan ulang masyarakat; yaitu masyarakat Islami. Untuk membangunnya, kita perlu memahami dua hal berikut:
1. Secara Teori kita mendasarkannya pada Prinsip Syahadat. Sehingga manusia tidak memutuskan perkara menurut ego pribadinya, namun harus mengembalikannya kepada hukum Allah yang wajib dipelajari dari satu sumber al Qur’an dan satu penyampainya yaitu Rasulullah shalallahu ’alaihi wasallam.
2. Secara Konsep kita harus meyakini bahwa konsep Islam itu sempurna ketika dipraktekkan secara nyata dalam segala sendi kehidupan; baik pribadi maupun sosial, di dalam maupun di luar wilayah Islam, bahkan pada interaksi sesama Muslim maupun dengan non Muslim.

Namun memang tidak mudah menerapkannya. Sebab tantangannya adalah pada individu-individu umat Islam yang secara mungkin saja masih termasuk dalam masyarakat jahiliyah. Kenapa ini menjadi tantangan? Pertama, karena saat individu Muslim masih berada di tengah-tengah masyarakat jahiliyah, maka akan terdesak untuk merespon tuntunan-tuntunan masyarakat jahiliyah itu. Kedua, karena saat individu Muslim masih berada di tengah-tengah masyarakat jahiliyah, maka akan terpaksa bereaksi memenuhi kepentingan primer yang mendesak bagi eksistensi kehidupan masyarakat tersebut sehingga mengabaikan baik dan buruknya.

Untuk itulah, pada masa Rasulullah ada perintah Hijrah. Agar individu Muslim tidak terdesak merespon tuntutan masyarakat yang jahil dan tidak terpaksa bereaksi memenuhi kepentingan primer masyarakatnya yang jahil itu. Maka perlu mengembangkan komunitas di luar itu yang independen. Itulah makna Hijrah; melepaskan loyalitas jahiliyah dan melepaskan kepemimpinan (sosial, politik, ekonomi) jahiliyah. Sebab muslim harus mendedikasikan loyalitasnya hanya kepada masyarakat Muslim. Memang, tidak ada hijrah setelah hijrah Rasulullah itu. Namun hijrah dalam makna independensi itulah yang semestinya diusahakan pada zaman kapanpun.

Kesimpulannya, yang perlu dilakukan dakwah secara berurutan dalam membangun masyarakat Islami adalah sebagai berikut: (1) Memerdekakan individunya dengan konsep Tauhid, (2) Memahami hakikat Tuhan yang sebenarnya, (3) Menjaga setiap individu dari intervensi kejahiliyahan, (4) lalu secara perlahan memunculkan masyarakat Islam yang independen sebagai pengganti kejahiliyahan masyarakat. Wallahu a’lam.


من كتاب معالم في الطريق لسيد قطب

Baca juga:

Tidak ada komentar: