Kamis, 11 Februari 2016

POSISI MENTERI DALAM SISTEM POLITIK ISLAM


Dalam sistem politik Islam, Menteri adalah suatu posisi yang mendapatkan perhatian secara khusus. Bahkan istilah ‘Wazir’ (Menteri) ada di dalam al Qur’an, yang mengindikasikan urgensi keberadaan Menteri. Misalnya dalam surat Al Furqon ayat 35, “Dan sesungguhnya Kami telah memberikan Al Kitab (Taurat) kepada Musa dan Kami telah menjadikan Harun saudaranya, menyertai dia sebagai wazir (pembantu).


Dalil lainnya ada di surat Thaha ayat 29 sampai 32 yang menceritakan saat Musa alaihissalam meminta asisten wazir kepada Allah subhanahu wata’ala. “Dan jadikanlah untukku seorang wazir (pembantu) dari keluargaku, (yaitu) Harun, saudaraku, teguhkanlah dengan dia kekuatanku, dan jadikankanlah dia sekutu dalam urusanku.

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam juga pernah bersabda, “Apabila Allah menghendaki kebaikan bagi seorang Pemimpin maka Dia akan menghadirkan menteri yang jujur baginya. Apabila ia (pemimpin itu) lupa maka akan diingatkannya, dan apabila ia (pemimpin itu) telah ingat maka akan dibantunya. Dan apabila Allah menghendaki kebalikannya, maka Dia akan menghadirkan menteri yang buruk. Apabila ia (pemimpin itu) lupa maka tidak diingatkannya, dan apabila ia (pemimpin itu) ingat maka tidak ditolongnya.” (HR. Abu Dawud)

Menteri dalam Perjalanan Sejarah

Menteri adalah pihak yang ditugaskan untuk mengatur pemerintahan dan menjalankan kebijakannya berdasarkan pendapat Khalifah. Sejak zaman Nabi, bahwasannya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam telah menjadikan Abu Bakar dan Umar bin Khathab sebagai menterinya. Begitupun Abu Bakar telah menjadikan Umar bin Khathab sebagai menterinya. Kemudian berlanjut di masa Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib dengan menjadikan orang-orang berpengalaman dan cerdas dalam hal politik sebagai menterinya.

Adapun pada masa Bani Umayyah juga telah mengangkat menteri-menteri. Dimulai dari Mu’awiyah hingga Khalifah terakhir Bani Umayyah yaitu Mirwan bin Muhammad bin Mirwan. Dapat pula dikatakan bahwa Kementerian dengan segala kaedahnya, tata aturannya, serta ragam bentuknya juga ada dalam pemerintahan Bani Abbasiyah. Dengan demikian, keberadaan menteri dalam sebuah kepemimpinan sistem politik Islam merupakan suatu hal yang disyariatkan; baik oleh al Qur’an, Hadits, maupun tradisi para sahabat dan tabi’in.

Jenis-Jenis Menteri

A.   Menteri Mandataris

Menteri Mandataris adalah menteri yang menerima mandat secara penuh untuk mewakili Khalifah dalam pengelolaan beberapa wilayah. Syarat-syarat Menteri Mandataris sama dengan persyaratan yang berlaku bagi Khalifah.

Adapun menurut Dr. Abdul Qader Abu Faris dalam bukunya Sistem Politik dalam Islam, bahwa hal-hal yang perlu diperhatikan oleh seorang Menteri Mandataris sebagai berikut:
1. Menangani aneka tindak kedzaliman.
2. Berhak menetapkan kebijakan jihad.
3. Menjalankan semua urusan di wilayah tugasnya.
4. Dia berhak menjadi rujukan di wilayah tugasnya.
5. Ia memiliki hak sebagaimana hak Khalifah.

Tetapi para ahli Fiqh berpendapat, bahwa ada tiga hal yang tidak boleh dilakukan oleh Menteri Mandataris, yaitu:
1. Pemberian mandat.
2. Menyelisihi Khalifah.
3. Memaksakan kehendak kepada Khalifah.

B. Menteri Pelaksana

Posisinya di bawah Menteri Mandataris. Tugasnya hanya mewakili Khalifah dalam urusan teknis pelaksanaan, serta menyampaikan kondisi daerah dan rakyat kepada Khalifah, sebagaimana ia juga bertugas menyampaikan keputusan Khalifah ke para pemimpin dan hakim di berbagai daerah juga kepada para rakyat.

Sementara syarat-syarat Menteri Pelaksana sebagai berikut:
1. Amanah.
2. Baik lisan bicaranya.
3. Tidak serakah.
4. Selalu berdamai bila ada sengketa antara dia dengan orang lain.
5. Pintar dan Cerdas.
6. Bukan dari pelaku maksiat.
7. Kecerdasan politik dan memiliki pengalaman sehingga dapat memberikan pendapat yang baik.
8. Laki-laki

Ada dua hal yang perlu diperhatikan terkait syarat-syarat tersebut:
1. Sebagian ahli Fiqh seperti Mawardi tidak memberikan syarat Merdeka dan Islam bagi Menteri Pelaksana, dengan demikian boleh diserahkan kepada ahlu dzimmah, begitupun boleh bagi seorang hamba sahaya untuk menjadi Menteri Pelaksana.
2. Berdasarkan pada poin pertama itu, maka boleh juga menyerahkan amanah Menteri Pelaksana kepada perempuan.

Adapun kewenangan Menteri Pelaksana adalah lima poin berikut:
1. Melaksanakan ketentuan yang dikeluarkan oleh Khalifah.
2. Mendampingi Gubernur dan mengiringi penyiapan tentara.
3. Menerbitkan rahasia-rahasia Negara yang bersumber dari Khalifah dan menyampaikannya kepada para pemimpin daerah.
4. Membawa kabar dari daerah-daerah terkait problema pemerintahan dan kondisi tentara kepada Khalifah.
5. Memberikan masukan pendapat apabila diminta oleh Khalifah.

Epilog

Sesungguhnya Al Mawardi asy Syafi’i adalah orang yang pertama menulis buku-buku terkait Sistem Islam secara komprehensif. Lalu diikuti oleh Abu Ya’la al Fara’ al Hanbali. Keduanya berpendapat bahwa konsep kementerian ini tidak perlu diterapkan secara ketat sebagaimana yang pernah ada, melainkan dapat disesuaikan sebagaimana kondisi zaman. Wallahu ‘alam.


Jakarta, 11 Februari 2016, 16.35

Muhammad Irfan Abdul Aziz
SMART (Studi Masyarakat untuk Reformasi Terpadu)


Baca juga:

Tidak ada komentar: