Badung
adalah salah satu nama kabupaten di Bali. Islam mulai dikenal di daerah ini
dengan dua motif. Pertama adalah Motif Sosial; karena cenderung pada alasan
peri-kemanusiaan. Kedua adalah Motif Ekonomi; karena hubungan dagang antara
orang-orang Bugis dengan orang-orang Bali.
Motif
Sosial
Ada
cerita turun-temurun yang juga diceritakan oleh Raja Tjokorda Ngurah Gede
Pemecutan. Yaitu cerita tentang perahu dengan awak orang-orang Jawa yang
mendarat darurat di Tuban karena rusak. Merapatnya kapal ini diketahui oleh
Pasikepan Kerajaan (petugas keamanan atau polisi kerajaan), lalu dilaporkan ke
Raja Tjokorda Pemecutan III yang bergelar Betara Sakti (karena terkenal dengan
kesaktiannya).
Kebetulan
situasi politik di kerajaan Badung saat itu sedang gawat, karena hubungan
dengan kerajaan Mengwi (Tabanan) sedang memanas. Para penumpang kapal dari Jawa
yang dipimpin oleh Raden Sastroningrat itu akhirnya mendapatkan penawaran dari
Raja Pemecutan. Raden Sastroningrat yang seorang bangsawan kelahiran Madura pun
menyetujui penawaran Sang Raja. Tawarannya adalah diberi kebebasan dan
dinikahkan dengan putrinya apabila bersedia membantu Raja dalam pertempuran
melawan kerajaan Mengwi.
Berangkatlah
Raden Sastroningrat beserta pengawal-pengawalnya mengiringi pasukan kerajaan
Pemecutan untuk menyerang Puri Mengwi. Tak terelakkan, akhirnya kerajaan Mengwi
pun takluk. Maka Sang Raja pun menepati janji yang ditawarkannya. Ia nikahkan
Raden Sastroningrat dengan putrinya yang bernama Anak Agung Ayu Rai, lalu
mereka diperbolehkan keluar Badung.
Raden
Sastroningrat pun mengajak istrinya Anak Agung Ayu Rai ke Jawa untuk dikenalkan
dengan keluarganya. Mulanya mereka menuju ke Mataram (Jogjakarta), lalu bertolak
ke Bangkalan (Madura). Di kampungnya Bangkalan inilah pernikahannya diresmikan
secara adat Jawa, dan Anak Agung Ayu Rai pun masuk Islam mengikuti agama suami. Namanya pun berganti menjadi Raden Ayu Siti Khotijah.
Saat
kembali ke Badung, Raja akhirnya tahu bahwa putrinya telah memeluk Islam.
Sambutan yang mulanya penuh keramahan pun berubah, sang Raja menitahkan kepada
menterinya untuk mengasingkan sang putri ke Kebon dan suaminya diasingkan ke
Ubung. Kebon itu adalah sebuah tempat yang memiliki nama lain Karang Semaya
atau Batan Nyuh, yang sekarang dikenal sebagai kampung Kepaon. Sementara Ubung
saat ini adalah tempat beradanya terminal bus di Bali.
Keduanya
diasingkan semata karena Raja khawatir bahwa keyakinan Islam mereka akan
diikuti oleh masyarakat di kerajaan. Sebab dalam tatanan sosial di kerajaan
sangat dikenal solidaritas kolektifisme yang karenanya masyarakat mudah diseragamkan,
termasuk dalam hal keyakinan.
Kelak
Anak Agung Ayu Rai meninggal karena dibunuh oleh Raja (ayahnya) sendiri,
sewaktu sang putri hendak shalat Shubuh dan mengenakan mukena putih yang
disangka oleh para punggawa kerajaan bahwa putri “ngeleak” sehingga segera
dilaporkan ke Raja. Jasadnya kemudian dimakamkan di pemakaman Badung yang dekat
dengan puri Raja. Namun karena darah yang mengucur dari jasadnya tercium
wewangian, maka sang Raja akhirnya menganggap perlu untuk memelihara makamnya.
Kini makam Anak Agung Ayu Rai dikenal dengan sebutan Pura Keramat Agung Pemecutan. Makam ini sering diziarahi oleh orang-orang Madura dan Jawa, selain
juga oleh orang Bali sendiri. Adapun suaminya setelah meninggal, jasadnya tetap
dikuburkan di Ubung.
Dari motif
Sosial ini, tampak persamaan dengan masuknya Islam ke Klungkung. Bila di
Klungkung sekembali Raja dari Majapahit diberi pengawalan 40 prajurit beragama
Islam. Begitupun Anak Agung Ayu Rai sekembalinya dari Jawa bersama pengawal-pengawalnya
yang telah memeluk Islam. Bedanya, Raja di Klungkung belum memeluk Islam dan
pengawalnya yang beragama Islam berasal dari luar Bali sementara Anak Agung Ayu
Rai telah memeluk Islam dan pengawalnya yang sama-sama memeluk Islam juga
berasal dari Bali.
Motif
Ekonomi
Adapun
hubungan dagang antara orang Bugis dari Sulawesi Selatan dengan orang Bali yang
tinggal di kerajaan Badung telah terjalin sejak abad ke-17. Eratnya hubungan
dagang ini membuat mereka saling bersahabat. Karena persahabatan ini pula para
Muslimin asal Bugis juga turut serta membantu Kerajaan Badung saat berhadapan
dengan Kerajaan Mengwi.
Kelak
persabahatan ini pula yang membuat daerah Jembrana dinobatkan sebagai Vazal
kerajaan Badung, karena di Jembrana terdapat banyak komunitas Muslim. Raja
Badung pun menetapkan Kapten Patimi sebagai wakil Raja Badung di Jembrana. Kapten
Patimi saat itu memang merupakan kepalanya orang-orang Bugis di Bali.
Epilog;
Kerajaan dan Masjid
Masjid
tertua di Badung yang berada di pulau Serangan telah dibangun dengan biaya
kerajaan, demikian yang disampaikan oleh Raja Pemecutan IX. Kerajaan juga
menghias bagian dalam masjid dengan marmer yang diimpor dari India, yaitu
marmer buatan sebuah pabrik di Cambay – Gujarat. Marmer-marmer itu didatangkan
oleh para nelayan yang telah memiliki jaringan perdagangan dengan Singapura.
Demikianlah
Islam dikenal di daerah Badung; karena motif Sosial (solidaritas kemanusiaan
dari Muslim Madura) dan karena motif Ekonomi (perdagangan oleh Muslim Bugis). Sementara
kekerabatan dan persahabatan dengan pihak Kerajaan Badung telah melahirkan
perhatian dari pihak kerajaan dalam kehidupan ummat Islam di Badung; utamanya
dalam membangun masjid pertama di kawasan ini.
Jakarta, 9 Februari 2016
Muhammad Irfan Abdul Aziz
SMART (Studi Masyarakat untuk Reformasi Terpadu)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar