Selasa, 09 Februari 2016

PERAN RADEN MADURA DAN KAPTEN BUGIS DALAM PENGENALAN ISLAM DI BADUNG


Badung adalah salah satu nama kabupaten di Bali. Islam mulai dikenal di daerah ini dengan dua motif. Pertama adalah Motif Sosial; karena cenderung pada alasan peri-kemanusiaan. Kedua adalah Motif Ekonomi; karena hubungan dagang antara orang-orang Bugis dengan orang-orang Bali.


Motif Sosial

Ada cerita turun-temurun yang juga diceritakan oleh Raja Tjokorda Ngurah Gede Pemecutan. Yaitu cerita tentang perahu dengan awak orang-orang Jawa yang mendarat darurat di Tuban karena rusak. Merapatnya kapal ini diketahui oleh Pasikepan Kerajaan (petugas keamanan atau polisi kerajaan), lalu dilaporkan ke Raja Tjokorda Pemecutan III yang bergelar Betara Sakti (karena terkenal dengan kesaktiannya).

Kebetulan situasi politik di kerajaan Badung saat itu sedang gawat, karena hubungan dengan kerajaan Mengwi (Tabanan) sedang memanas. Para penumpang kapal dari Jawa yang dipimpin oleh Raden Sastroningrat itu akhirnya mendapatkan penawaran dari Raja Pemecutan. Raden Sastroningrat yang seorang bangsawan kelahiran Madura pun menyetujui penawaran Sang Raja. Tawarannya adalah diberi kebebasan dan dinikahkan dengan putrinya apabila bersedia membantu Raja dalam pertempuran melawan kerajaan Mengwi.

Berangkatlah Raden Sastroningrat beserta pengawal-pengawalnya mengiringi pasukan kerajaan Pemecutan untuk menyerang Puri Mengwi. Tak terelakkan, akhirnya kerajaan Mengwi pun takluk. Maka Sang Raja pun menepati janji yang ditawarkannya. Ia nikahkan Raden Sastroningrat dengan putrinya yang bernama Anak Agung Ayu Rai, lalu mereka diperbolehkan keluar Badung.

Raden Sastroningrat pun mengajak istrinya Anak Agung Ayu Rai ke Jawa untuk dikenalkan dengan keluarganya. Mulanya mereka menuju ke Mataram (Jogjakarta), lalu bertolak ke Bangkalan (Madura). Di kampungnya Bangkalan inilah pernikahannya diresmikan secara adat Jawa, dan Anak Agung Ayu Rai pun masuk Islam mengikuti agama suami. Namanya pun berganti menjadi Raden Ayu Siti Khotijah.

Saat kembali ke Badung, Raja akhirnya tahu bahwa putrinya telah memeluk Islam. Sambutan yang mulanya penuh keramahan pun berubah, sang Raja menitahkan kepada menterinya untuk mengasingkan sang putri ke Kebon dan suaminya diasingkan ke Ubung. Kebon itu adalah sebuah tempat yang memiliki nama lain Karang Semaya atau Batan Nyuh, yang sekarang dikenal sebagai kampung Kepaon. Sementara Ubung saat ini adalah tempat beradanya terminal bus di Bali.

Keduanya diasingkan semata karena Raja khawatir bahwa keyakinan Islam mereka akan diikuti oleh masyarakat di kerajaan. Sebab dalam tatanan sosial di kerajaan sangat dikenal solidaritas kolektifisme yang karenanya masyarakat mudah diseragamkan, termasuk dalam hal keyakinan.

Kelak Anak Agung Ayu Rai meninggal karena dibunuh oleh Raja (ayahnya) sendiri, sewaktu sang putri hendak shalat Shubuh dan mengenakan mukena putih yang disangka oleh para punggawa kerajaan bahwa putri “ngeleak” sehingga segera dilaporkan ke Raja. Jasadnya kemudian dimakamkan di pemakaman Badung yang dekat dengan puri Raja. Namun karena darah yang mengucur dari jasadnya tercium wewangian, maka sang Raja akhirnya menganggap perlu untuk memelihara makamnya. Kini makam Anak Agung Ayu Rai dikenal dengan sebutan Pura Keramat Agung Pemecutan. Makam ini sering diziarahi oleh orang-orang Madura dan Jawa, selain juga oleh orang Bali sendiri. Adapun suaminya setelah meninggal, jasadnya tetap dikuburkan di Ubung.

Dari motif Sosial ini, tampak persamaan dengan masuknya Islam ke Klungkung. Bila di Klungkung sekembali Raja dari Majapahit diberi pengawalan 40 prajurit beragama Islam. Begitupun Anak Agung Ayu Rai sekembalinya dari Jawa bersama pengawal-pengawalnya yang telah memeluk Islam. Bedanya, Raja di Klungkung belum memeluk Islam dan pengawalnya yang beragama Islam berasal dari luar Bali sementara Anak Agung Ayu Rai telah memeluk Islam dan pengawalnya yang sama-sama memeluk Islam juga berasal dari Bali.

Motif Ekonomi

Adapun hubungan dagang antara orang Bugis dari Sulawesi Selatan dengan orang Bali yang tinggal di kerajaan Badung telah terjalin sejak abad ke-17. Eratnya hubungan dagang ini membuat mereka saling bersahabat. Karena persahabatan ini pula para Muslimin asal Bugis juga turut serta membantu Kerajaan Badung saat berhadapan dengan Kerajaan Mengwi.

Kelak persabahatan ini pula yang membuat daerah Jembrana dinobatkan sebagai Vazal kerajaan Badung, karena di Jembrana terdapat banyak komunitas Muslim. Raja Badung pun menetapkan Kapten Patimi sebagai wakil Raja Badung di Jembrana. Kapten Patimi saat itu memang merupakan kepalanya orang-orang Bugis di Bali.

Epilog; Kerajaan dan Masjid

Masjid tertua di Badung yang berada di pulau Serangan telah dibangun dengan biaya kerajaan, demikian yang disampaikan oleh Raja Pemecutan IX. Kerajaan juga menghias bagian dalam masjid dengan marmer yang diimpor dari India, yaitu marmer buatan sebuah pabrik di Cambay – Gujarat. Marmer-marmer itu didatangkan oleh para nelayan yang telah memiliki jaringan perdagangan dengan Singapura.

Demikianlah Islam dikenal di daerah Badung; karena motif Sosial (solidaritas kemanusiaan dari Muslim Madura) dan karena motif Ekonomi (perdagangan oleh Muslim Bugis). Sementara kekerabatan dan persahabatan dengan pihak Kerajaan Badung telah melahirkan perhatian dari pihak kerajaan dalam kehidupan ummat Islam di Badung; utamanya dalam membangun masjid pertama di kawasan ini.


Jakarta, 9 Februari 2016

Muhammad Irfan Abdul Aziz
SMART (Studi Masyarakat untuk Reformasi Terpadu)

Tidak ada komentar: