Istilah sastra santun itu bisa saja menjadi
polemik. Sebab, bila ada yang santun, maka ada yang tak santun. Maka, bila santun itu terpuji, sebaliknya tak santun itu
tercela. Tentu dalam penilaian ada beragam perspektif. Itu pula yang akan membuat
istilah ‘Sastra Santun’ ini rawan polemik. Tapi, dengan segala konsekuensi
itulah Forum Lingkar Pena mengusung tema ini pada momentum Milad-nya yang
ke-19.
Persoalannya memang pada nilai. Sebab penilaian itu relatif ‘subjektif’.
Dan ‘nilai’ dalam tema ini adalah istilah ‘santun’. Adapun ‘sastra’ itu produk,
maka ia bersifat netral. Sementara ‘era digital’ itu merupakan sarana
berdimensi waktu dan ruang, maka iapun bersifat netral. Namun ‘santun’, itulah
penilaiannya; yang relatif subjektif, yang rawan polemik.
Lalu, bagaimana kita membedah tema ini? Setidaknya pada urgensitas
pengusungannya, lalu pada membumikan pemaknaannya. Sebab hanya begitulah cara paling
elegan bagi kita dalam memandang sebuah tema; kenapa mengusungnya dan bagaimana
membumikannya? Ya, hanya begitu cara kita memposisikan tema di antara
relevansinya dan realistisnya.
Maka, kiranya ada tiga bagian yang bisa kita bedah dari tema ini.
Bagian pertama adalah Sastra; itulah produknya. Bagian kedua adalah Santun;
itulah nilainya. Bagian ketiga adalah Era Digital; itulah sarananya.
Bagian Pertama: Produk
Produk itu mulanya netral sebelum diisi nilai. Begitupun dengan
produk Sastra. Produk ini adalah hasil dari olah jiwa berupa ungkapan; baik
tertulis maupun hanya tertutur. Yang mempengaruhi kualitas produknya adalah kualitas
jiwa dan kualitas proses olah jiwanya. Menurut budayawan Melayu bernama Abdul
Malik, kualitas bahasa itu sesuai kualitas hati dan kualitas budi pekerti sang
penuturnya.
Bagi seorang Muslim, menjadi titah Rabb dan Rasul untuk menjaga kualitas
produk Sastra dan Bahasa-nya. Sebab Allah subhanahu wata’ala menyatakan
dalam firman-Nya, “Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan)
dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah adalah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. An Nisaa’ : 148)
Begitupun Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam juga telah menegaskan
akan hal ini dalam sebuah riwayat Tirmidzi, “Tidak ada sesuatupun yang
melebihi beratnya budi pekerti yang baik dalam timbangan orang mukmin pada hari
kiamat. Sesungguhnya, Allah membenci orang yang keji dan suka berkata kotor.”
Bagian Kedua: Nilai
Bicara tentang nilai, maka kita bicara tentang kualitas insan. Sebab
manusia-lah satu-satunya makhluk yang memiliki akal; sehingga bisa bernilai dan
menilai. Maka semua peristiwa dan karya dalam kehidupan ini adalah hasil
interaksi manusia; baik dengan dirinya sendiri, dengan sesama manusia maupun
dengan makhluk selain manusia.
Sedangkan bicara tentang kualitas individu, berarti bicara tentang
Pendidikan dan Aplikasi. Dua hal inilah yang menentukan seberapa bernilainya
seseorang dan sesuatu yang dihasilkan oleh orang tersebut. Termasuk dalam hal
ini adalah sastra.
Bila kita menyeksamai UUD 45 pasal 31 ayat 3, maka kita dapati
tujuan pendidikan yang telah ditetapkan oleh konstitusi kita adalah “meningkatkan
keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia”. Begitupun bila kita membuka UU no 20 tahun
2003 pasal 3.
Jadi,
pendidikan itu sejatinya bertujuan meningkatkan kualitas karakter; yang dalam
tema Milad FLP kali ini digambarkan dengan istilah Santun. Maka bila
Pendidikannya baik, akan Santun-lah insannya. Namun kualitas hasil Pendidikan
ini belum teruji kelanggengannya kecuali ia masuk pada medan Aplikasi.
Secara Aplikasi, apa yang menguji nilai Santun? Sebagian besarnya
adalah Perbedaan. Bahwa Perbedaan akan sangat menguji nilai Santun, begitulah.
Maka Raja Ali Haji dalam pasal V bait ke-6 dari Gurindam Dua Belas-nya
menyatakan, “Jika hendak mengenal orang baik perangai, lihatlah ketika
bercampur dengan orang ramai.” Sebab pada orang ramai itulah ada interaksi
yang sangat dinamis, yang karenanya potensi perbedaannya sangat besar.
Lalu apa ukuran perangai Santun saat bercampur dengan orang ramai?
Inilah yang dijelaskan oleh Allah subhanahu wata’ala dalam surat An
Nisaa’ ayat 86, “Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu
penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari
padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya
Allah memperhitungankan segala sesuatu.”
Begitulah tujuan pendidikan; yaitu mendewasakan setiap pribadi. Dan
kualitas kedewasaan seseorang dapat diukur dari cara menghadapi konflik. Santun
itulah kedewasaannya, dan Konflik itulah ujiannya.
Adapun tingkat kedewasaan tertinggi seorang Muslim apabila telah dapat menghadapi konflik dengan mengaplikasikan firman-Nya dalam surat an Nisaa’ ayat 59, “Hai orang-orang
yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di
antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Bagian Ketiga: Sarana
Setelah kita memahami bahwa produk itu mulanya bersifat netral,
lalu ia memiliki nilai sesuai kualitas muatan yang mengisi produk tersebut, yang
mana isi produk itu sangat tergantung dengan kualitas individu yang mengeluarkan
produk tersebut; maka produk Sastra Santun itu kemudian terdistribusikan dan dikonsumsi
melalui beragam sarana. Adapun sarana yang paling dominan untuk produk Sastra
(Bahasa dan Ungkapan) saat ini adalah Digital. Sebab zaman kita saat ini
terkategorikan sebagai Era Digital.
Digital inilah yang menjadi sarana ujian aplikasi bagi sebuah nilai;
termasuk Sastra Santun. Lebih-lebih bila kita memahami bahwa Era Digital itu
adalah era Perang Pemikiran. Karena tiba-tiba semua sarana yang ada dalam
keseharian kita membutuhkan konten, yang tentu konten-konten itu adalah hasil
dari beragam pemikiran yang saling melengkapi maupun saling menyelisihi. Atau
yang sederhananya adalah bila era digital digambarkan dengan era sosial media
via jejaring internet, maka itulah sarana yang mencampur-baurkan beragam produk
bahasa dan ungkapan. Campur-baur di keramaian akun itulah yang sangat
berpotensi konflik; dan itulah yang juga akan menjadi ujian bagi sebuah nilai
Sastra Santun.
Epilog
Karena Sastra identik dengan Bahasa, maka mungkin kita perlu
mengingat kembali penyampaian Dr. Yusuf Qaradhawi yang menyatakan bahwa salah
satu pemicu perbedaan adalah Tabiat Bahasa. Bedanya tabiat bahasa inilah yang
akhirnya memicu konflik.
Maka dalam
kehidupan beragama, kita telah diajarkan mekanisme memahami bahasa (al Qur’an)
dengan kaedah-kaedah bahasanya. Sebab dalam setiap teks bahasa itu ada
ketentuan tabiat bahasanya tersendiri; baik arti bahasanya maupun susunan
bahasanya. Maka dalam setiap teks bahasa sesungguhnya tersimpan beragam makna
yang mengikutinya. Ada makna asli dan ada makna kiasan, ada makna eksplisit dan
ada makna implisit, ada yang sifatnya umum dan ada yang sifatnya khusus, ada
yang menyeluruh dan ada yang segmentasi, ada yang jelas dan ada yang isyarat,
serta ada yang arahan tegas dan ada yang anjuran lunak. Belum lagi ditambah dengan intrepertasi
masing-masing pembacanya. Dengan
demikian, perbedaan itu memiliki dua model: Perbedaan Pemahaman dan Perbedaan
Kecenderungan.
Sesungguhnya hampir semua perbedaan tak menjadi masalah dan
diperbolehkan. Sebab perbedaan yang dilarang itu hanya dua hal: Perbedaan yang
melahirkan Pembangkangan dan Perbedaan yang melahirkan Perpecahan.
Sebagaimana dinyatakan dalam surat Ali Imran ayat 19, “Sesungguhnya
agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang
yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka,
karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap
ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.”
Serta pernyataan-Nya pada ayat ke 103, “Dan berpeganglah kamu
semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan
ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah)
bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena
nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang
neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.”
Lalu apa solusinya? Menurut Dr. Yusuf Qaradhawi dengan membatasi
pemahaman istilahnya, dengan
dijelaskan secara gamblang dan detail. Sehingga tidak terjadi kesalah-pahaman,
yang berakibat pada perbedaan sehingga berkonflik.
Maka, akhirnya dapatlah kita menjawab dua pertanyaan di awal: (1) kenapa
mengusungnya? (2) bagaimana membumikannya?
Kenapa
mengusungnya? Sebab saat ini kita berada di Era Digital yang sesungguhnya
adalah era Perang Pemikiran. Yang mana salah satu produk pemikiran itu berupa
Sastra. Maka untuk memenangkan perang tersebut dan meredam konfliknya, kita
perlu Sastra yang Santun. Sebab, sebagaimana kualitas kedewasaan seseorang
dapat diukur dari cara menghadapi konflik, maka kesantunan sastra juga dapat
diukur dari cara menghadapi konflik. Sehingga kualitas Sastra di era perang
pemikiran semacam ini ada pada Kesantunannya; dengan barometer sederhananya
sebagaimana sabda Rasul adalah membalas sesuatu dengan yang setara atau yang
lebih baik.
Lalu, bagaimana
membumikannya? Sebagaimana kita mengetahui bahwa yang menentukan nilai adalah
Pendidikan dan Aplikasi, maka bila FLP menghendaki lahirnya pegiat-pegiat Sastra Santun hendaknya
mengoptimalkan peran Kaderisasi-nya. Kaderisasi inilah yang menjalankan proses
Pendidikan, Kaderisasi pula yang memberdayakan SDM dalam beragam Aplikasi.
Dalam proses Kaderisasi akan ada kristalisasi pemahaman sehingga dapat
membatasi makna istilah dan bahasan, yang darinya akan terlatih membalas segala
sesuatu dengan yang setara maupun dengan yang lebih baik. Itulah esensinya.
Semoga FLP bisa melahirkan Sastra Santun beserta sekian banyak pegiat-pegiatnya.
Aamiin.
Jakarta, 22 Februari 2016
Muhammad Irfan Abdul Aziz
Staff Div. Kaderisasi BPP FLP
*Tulisan ini adalah Pandangan Pribadi
2 komentar:
Sebab saat ini kita berada di Era Digital yang sesungguhnya adalah era Perang Pemikiran. Yang mana salah satu produk pemikiran itu berupa Sastra.
Suka dengan kalimat ini, Mas. Keren banget tulisannya. Suguhan yang ciamik di miladnya FLP. Sukses terus untuk forum lingkar pena. Saya bangga menjadi bagiannya.
Hatur nuhun, Teh Ella... sudah mampir dan membersamai teman2 FLP Bogor
Posting Komentar