Namun, sepertinya kejahiliyahan yang ada di sekitaran
kita telah mampu menekan sebagian da’i yang ikhlas. Sehingga mendorong mereka
untuk tergesa-gesa menempuh prosedur sistematis dari konsep Islam. Hanya karena
mereka terpancing dengan tantangan jahiliyah yang terus bertanya-tanya; mana
penjelasan-penjelasan tatanan yang kalian dakwahkan dan apa saja yang kalian
persiapkan untuk implementasinya?
Antara Periode Makkah dan Madinah
Baiklah, ada perlunya kita merenungi kembali
sejarah dibangunnya dakwah ini. Bagaimana Allah menitipkan dakwah pada periode
Makkah dan bagaimana Allah menitipkan dakwah pada periode Madinah?
Kala Makkah; ummat Islam belum memiliki kekuasaan
atas diri mereka, lebih-lebih lagi belum memiliki kehidupan yang bebas untuk
menerapkan hukum-hukum Allah. Sehingga Allah hanya menurunkan tuntunan aqidah,
sebagai hal yang didakwahkan.
Adapun kala Madinah; ummat Islam telah memiliki negara yang berdaulat.
Sehingga Allah turunkan perundang-undangan dan ketetapan peraturan yang menjadi
kebutuhan riil masyarakatnya. Sebab semakin rumitnya tatanan masyarakat tentu
membutuhkan tata aturan, pun dalam kondisi berdaulat maka tata aturan dapat
dilaksanakan dengan jaminan kuat dari negara.
Beginilah dakwah Islam yang sangat realistis. Bahwa dakwah ini; tidak
mencari-cari masalah dan kemudian memberikan solusinya agar mempercepat simpati
publik. Tetapi dakwah ini sesungguhnya hadir sesuai kebutuhan problem realitas.
“Sementara sebagian orang,” seperti yang disampaikan oleh Sayyid Qutb. “Ingin
Islam merumuskan teori-teori, membuat peraturan yang berbeda dari yang sudah
ada, serta merancang perundang-undangan sendiri. Mereka tergesa-gesa merespon
hasrat-hasrat temporer yang ada dalam jiwa mereka, disebabkan kekalahan batin
dalam jiwa mereka terhadap sistem-sistem manusia yang sepele.”
Sungguh, dakwah Islam bukan berangkat dari rasa gengsi ataupun nostalgia
semata. Dakwah Islam adalah proses yang realistis dengan konsep teologis yang
spesifik dan mendalam, disampaikan secara perlahan, serta menjalani kontruksi
yang dinamis.
Revolusi Kekuasaan Makhluk
Setelah kita merenung ulang pada sejarah awal dakwah ini dibangun, maka
kemudian kita menemukan poin esensial dari tahapan dakwah yang mesti dipatuhi.
Mulanya adalah menanamkan aqidah Islam yang berupa prinsip Ketuhanan. Kemudian
setelah prinsip ini dipahami, barulah tatanan aturan Islam dibangun di atasnya.
Namun, menyemai prinsip itu pada mulanya memanglah bukan perkara yang mudah.
Sebab prinsip Ketuhanan itu
berarti kekuasaan tertinggi. Maka kekuasaan yang semula ada pada tangan-tangan dukun, kepala suku, para
pemimpin dan penguasa apapun, harus dicabut dan diserahkan kepada Allah semata.
Itulah tantangannya! Dan di situlah kita butuh kesabaran yang ekstra. Sebab
aqidah Islam memiliki tiga makna:
- Tidak
ada kekuasaan tertinggi kecuali kekuasaan Allah.
- Tidak
ada syariat kecuali
berasal dari Allah.
- Tidak
ada penguasaan seseorang atas orang lain.
Peluang-Peluang yang Tidak Dilakukan Rasulullah
Bila inti dakwah ini adalah revolusi kekuasaan makhluk, maka memang
seharusnya penekanan dakwah ini pada fondasi aqidah Tauhid yaitu tegaknya
kalimat Laa ilaaha illa Allah. Maka pahamlah kita, kenapa jalan dakwah
ini niscayanya memang tidak mudah. Sehingga, para da’i-nya pun jangan
mudah-mudah tergoda dengan peluang-peluang yang seakan dapat memberikan ‘percepatan’
bagi dakwah ini. Sebagaimana Rasulullah telah bersabar untuk tidak masuk pada
peluang-peluang berikut.
Pertama; peluang isu Kebangsaan
Fakta saat itu, tanah-tanah Arab yang subur memang tidak dikuasai oleh orang-orang
Arab. Sebelah utaranya yaitu
Suriah dikuasai oleh Romawi. Sebelah selatannya yaitu Yaman dikuasai oleh
Persia. Sementara orang Arab hanya ada di Hijaz, Tihamah, Nejed dan seluas
gurun tandus yang tersisa.
Sementara Muhammad sesungguhnya adalah sosok yang jujur dan terpercaya. Bahkan
ia punya track record sejarah pengembalian Hajar Aswad, bahwa para tokoh
di Arab menaruh percaya kepada Muhammad. Seandainya Muhammad mengusung isu
Kebangsaan (Nasional Arab) dengan tujuan menyatukan bangsa Arab dan mengusir
para penjajah, maka para tokoh itu akan mudah diajak bergabung pada seruannya.
Sebab mereka telah percaya pada keadilan Muhammad yang tidak akan merampas
kekuasaan yang telah dimiliki masing-masing. Sekali lagi, peletakan Hajar Aswad
adalah bukti penjaminnya; mereka para tokoh itu tetap punya harga diri bersama
mengembalikan Hajar Aswad di saat Muhammad berhak mengembalikannya seorang diri.
Tapi meskipun ada peluang isu ini, Allah justru mengarahkan Muhammad untuk
menegakkan kalimat Laa ilaaha illa Allah saja. Kenapa demikian? Sungguh
bukan solusi penjajahan, bila membebaskan tanah Arab dari cengkeraman penjajah asing
(Romawi dan Persia) namun akhirnya menyerahkan kepada penjajahan sesama anak
bangsa Arab sendiri. Cerdas!
Kedua; peluang isu Sosial
Fakta saat itu, masyarakat Arab adalah masyarakat terburuk dengan kekayaan
dan keadilan yang tak merata. Kekayaan hanya menumpuk di sekelompok kecil, yang
transaksi sesamanya penuh dengan riba.
Sementara Muhammad sesungguhnya adalah sosok sederhana yang peduli kaum
papa dan terlahir sebagai yatim. Penjuru gurun telah mengenal Muhammad sebagai
penggembala yang dapat dipercaya, bahkan kemudian dengan back up istrinya
Khadijah yang kaya raya sangat mungkin bila gerakan kawula miskin untuk melawan
para hartawan tamak dapat meraih kesuksesan. Seandainya Muhammad mengusung isu
Sosial (sepaham dengan Sosialisme) yang mengobarkan perang melawan kelas borjuis
dengan revolusi agar kekayaan yang ada pada orang-orang kaya dapat diserahkan
kepada orang-orang miskin, mungkin Muhammad akan sukses merekrut sekian banyak
pengikut dalam waktu yang cepat dan menaklukkan segelintir hartawan yang rakus
itu. Selesai masalah!
Tapi meskipun ada peluang isu ini, Allah justru mengarahkan Muhammad untuk
menegakkan kalimat Laa ilaaha illa Allah saja. Kenapa demikian? Sungguh
bukan solusi keadilan sosial bila akhirnya revolusi semacam itu hanya
melahirkan jiwa-jiwa yang berbalas tamak, lalu saling membenci dan menyimpan
dendam, hingga berujung peperangan. Adapun solusi keadilan sosial di masyarakat
yang sesungguhnya harus terpancar dari konsepsi teologis yang komprehensif; yang
mengembalikan semua kuasa kepada Allah, serta menjalankan segala yang telah
ditetapkan Allah berupa keadilan pemerataan dan kesejahteraan bersama. Tanpa
menghilangkan eksistensi si Kaya, namun tetap memperhatikan eksistensi si
Miskin. Sehingga lahirlah keseimbangan loyalitas sosial dalam perspektif dunia
dan akhirat.
Ketiga; peluang isu Moralitas
Fakta saat itu, seperti yang telah digambarkan oleh Zuhair bin Abi Salma
dengan syairnya, “Barangsiapa yang tidak menyelesaikan persoalannya dengan
pedangnya, maka ia akan hancur. Dan barangsiapa yang tidak mau menzalimi,
niscaya ia akan dizalimi.” Sungguh, bangsa Arab saat itu adalah masyarakat
yang penuh anarkis. Belum lagi kerusakan tatanan keluarga; di mana pernikahan legal
kala itu beragam bentuknya dari yang normal hingga dengan sistem undi bahkan
yang sifatnya pelacuran.
Sementara Muhammad sesungguhnya adalah sosok yang terkenal dengan akhlak
terpujinya. Terbukti para penduduk Makkah sering menitipkan hartanya kepada
Muhammad, karena kearifannya dan kehalusan budinya. Seandainya Muhammad
mengusung isu Moralitas (Pembaharuan Moral) maka orang akan tunduk, sebab
itulah keteladanannya yang telah disanjung-sanjung banyak orang.
Tapi meskipun ada peluang isu ini, Allah justru mengarahkan Muhammad untuk
menegakkan kalimat Laa ilaaha illa Allah saja. Kenapa demikian? Sungguh bukan
solusi bila seruan moralitas pada akhirnya hanya berpegang pada kaca mata
penguasa, sehingga ukuran benar-salahnya ada pada penguasa; mereka yang
menyanjung pemerintah dianggap bermoral, sementara yang mengkritik pemerintah
dianggap tak bermoral. Maka moralitas haruslah berlandaskan aqidah; sehingga nilai-nilai
moralitas bukan sekehendak pemerintah, namun sekehendak aqidah. Maka pemerintah
yang berdasar kehendak moralitas aqidah inilah yang akan menjalankan prinsip
penghargaan dan hukuman yang penuh nilai keadilan. Dengan landasan aqidah
inilah, moralitas akan terjaga dengan sistem kontrol yang paten dalam setiap
individu. Bila tidak, maka hanya moralitas sesaat dan akan segera goyah.
Cara Al Qur’an Menyemai Aqidah
Bila Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam diarahkan oleh Allah subhanahu
wata’ala untuk fokus menyemai aqidah dalam permulaan dakwahnya, maka hendaknya
kitapun melakukan hal yang sama. Namun persoalannya, kita mengetahui bahwa
menyemai aqidah ini bukanlah pekerjaan yang mudah dan tanpa tantangan;
sebagaimana kita tahu bahwa inilah revolusi kekuasaan makhluk yang akan
mendapatkan perlawanan dari para penguasa dan segenap kekuasaannya. Maka, agar
proses ini tak semakin diperpanjang karena kesalahan sistematika kita, kiranya
perlu mencermati cara al Qur’an menyemai Aqidah.
Sebab al Qur’an adalah referensi utama ummat Islam, maka ia juga sumber
inspirasi bagi dakwah Islam. Darinya kita belajar, bahwa dakwah ini dimulai
dengan membahas satu persoalan yang tidak pernah berubah; yaitu persoalan Aqidah.
Persoalan aqidah itu sesungguhnya adalah persoalan eksistensi manusia pada dua
hal; hubungan manusia dengan semesta dan hubungan manusia dengan Pencipta.
Dalam mengenalkan hubungan semesta dan Pencipta, al Qur’an telah melontarkan beragam
pertanyaan kepada manusia. Begitulah aqidah disemai dalam perenungan-perenungan
yang panjang oleh al Qur’an.
Namun secara sistematis, ada dua cara al Qur’an dalam menyemai Aqidah:
- Secara
umum; al Qur’an tidak memaparkan aqidah secara teoritis ataupun teologis seperti
yang kini dikenal dengan ilmu Tauhid. Tetapi al Qur’an berbicara langsung kepada
fitrah manusia, baik mengenai eksistensi manusianya maupun eksistensi seluruh
makhluk yang ada di sekitarnya dengan bukti-bukti dan
argumentasi-argumentasi. Perenungan-perenungan akan segala isi alam,
itulah cara yang Pertama.
- Secara
spesifik; al Qur’an menanamkan aqidah dengan interaksi langsung di medan
perjuangan yang dinamis dan riil. Sehingga format teori bukanlah format
yang relevan bagi realitas yang spesifik masuk ke relung-relung peristiwa
kehidupan. Interaksi dengan segala masalah kehidupan, itulah cara yang
Kedua.
Nah, dengan dua cara itulah al Qur’an menyemai Aqidah dalam jiwa-jiwa
manusia. Al Qur’an telah menggunakan cara yang dinamis dalam menghadapi
berbagai konsekuensi serta tantangan terkait kejiwaan individu maupun realita
sosial. Maka perdebatan intelektual ala ilmu filsafat bukanlah format
yang relevan. Dengan demikian, Islam melakukan pemantapan aqidah dalam format
masyarakat alami yang dinamis dengan struktur sistemik.
Seperti pada periode Makkah, itu bukanlah fase perumusan dan pengkajian
teori. Melainkan periode implementasi pembangunan yang fundamental bagi aqidah
individu dan eksistensi masyarakat Islam secara kolektif. Maka salah dan sangat
membahayakan bagi dakwah Islam sendiri, bila kristalisasi aqidah dilakukan
dengan format teori yang sebatas kajian intelektual.
Begitulah prinsip yang harus dipegang. Jangan sampai kita ingin mengubahnya
sebatas demi memenuhi keinginan-keinginan temporal karena merasa kalah dengan
teori-teori kemanusiaan. Padahal Allah subhanahu wata’ala telah
berfirman dalam Al Isra’ ayat 106, “Dan al Qur’an (Kami turunkan)
berangsur-angsur agar kamu (Muhammad) membacakannya kepada manusia
perlahan-lahan, dan Kami menurunkannya secara bertahap.”
Jadi... Tetaplah menyemai Aqidah secara mendalam, perlahan, dan dinamis.
Hingga manusia merasakan segala sisi kehidupannya terintegrasi dengan cara
pandang Tauhid.
Kesimpulan
Begitulah hendaknya dakwah kita. Pertama kali yang dilakukan adalah menyeru
manusia untuk menganut aqidah Tauhid hingga tertancap kalimat laa ilaaha
illa Allah dengan maknanya yang hakiki. Kristalisasi inilah yang kemudian menjadi
landasan kokoh bagi bangunan masyarakat Islami.
Maka, hendaknya dakwah kita komitmen dengan tiga hal berikut:
Pertama; komitmen untuk memulai dakwah dengan pemantapan Aqidah Tauhid.
Sebab dakwah tidak akan sampai pada tingkatan tertinggi bila tidak mengibarkan
panji Laa ilaaha illa Allah. Dan pengikutnya tidak akan benar-benar
ikhlas bila memulai dari aspek kebangsaan, sosial maupun moral.
Beginilah, bangunan Islam yang besar haruslah memiliki akar yang kuat dan
dalam. Sehingga fokusnya adalah
pembangunan identitas aqidah hingga masuk ke setiap relung jiwa. Sebab
kepatuhan adalah permulaan yang dibutuhkan keimanan, agar kemudian menerima
tata aturan dan perundangan Islam dengan penuh ridha dan lapang dada.
Tentu ini berbeda dengan yang dilakukan para pemimpin. Demi eksistensi
kekuasaannya; mereka berusaha keras memutuskan sesuatu dengan undang-undang dan
peraturannya, dengan segenap sistem dan tenaganya, bahkan dengan tentara dan
senjatanya, serta dengan segala propaganda dan publikasinya. Tapi yang
demikian, hasilnya hanya sebatas mengatur perselisihan yang tampak di
permukaan. Tentu Islam bukan sekadar polesan kemasan luar, namun tampilan yang
memang tumbuh dari benih aslinya.
Maka dakwah Islam bukan sekadar setting peraturan maupun
gegap-gempita propaganda dan publikasi.
Kedua; komitmen dengan konsep yang aplikatif, dinamis dan moderat. Sehingga
mengatur kehidupan dalam tataran realitas, dan mengarahkan realitas agar
tertata menurut tatanan Islam. Hingga menerima kedaulatan tertinggi hanya di
tangan Allah.
Maka dakwah Islam bukan sekadar mengisi panggung kehidupan dengan mengikuti
tren, namun juga mengarahkan tren agar sesuai dengan tuntunan Islam.
Ketiga; komitmen dengan reformasi konsep pemikiran dan penanganan masalah
secara realistis. Sehingga seorang da’i memahami setiap tahapan dakwah beserta
segala pola penataannya, hingga dakwah ini tak pernah kehabisan ide-ide solusinya.
Maka dakwah Islam bukan sekadar melakukan reformasi terhadap aqidah dan
realitas manusia, namun gamang secara konsep sehingga mudah digoyang oleh
infiltrasi-infiltrasi musuh Islam.
من كتاب معالم في الطريق لسيد قطب
Baca juga:
2 komentar:
Tulisan yg sangat bagus dan berbobot, mas irfan! Kritik & solusi bagi para da'i. Semoga banyak yg membaca & memahami tulisan ini.
terima kasih atas kunjungannya, mas Billy...
Posting Komentar