Muslim Bali gelar sholat Idul Adha di Renon (harnas.co) |
Setelah masuknya agama Islam di nusantara pada abad XIII, kemudian
semakin berkembang pada abad XV (sekitar tahun 1416) dengan kehadiran para Muballigh
dari Malaka, Persia, dan Gujarat, maka tumbuh beragam kerajaan Islam di
nusantara. Kerajaan-kerajaan Islam itu tersebar di beberapa wilayah nusantara;
di antaranya Aceh, Minangkabau, Jawa, Ternate, Goa, Banjar, dan Kutai. Selain
itu, juga ada di beberapa daerah lainnya.
Dalam sebuah buku pengenalan Islam di Bali yang disunting oleh Drs.
M. Sarlan, M.P.A., maka kita dapat mengenali 3 tahapan pengaruh Islam di Bali.
Tiga tahapan itu adalah Jalur Diplomasi - Politik, Jalur Perdagangan - Ekonomi,
dan Jalur Kekerabatan - Sosial.
Pertama; Jalur Diplomasi – Politik. Jalur tahapan pertama ini,
terjadi saat pemerintahan Majapahit runtuh pada tahun 1478. Namun, kemudian
diiringi dengan berdirinya kerajaa Islam di Demak dan Mataram.
Runtuhnya digdaya Majapahit tentu melemahkan daya cengkeram dan
kendali Hindu atas berbagai wilayah di nusantara, termasuk terhadap kerajaan
hindu Gelgel di Klungkung. Meskipun saat itu kerajaan Gelgel menjadi kerajaan hindu
terbesar dan paling berwibawa. Namun karena tak lagi ditopang oleh Majapahit,
maka sedikit-banyak sempat goyah juga walaupun sempat pula mencapai masa
keemasan pada kepemimpinan Raja Gelgel II. Saat itu cakupan wilayahnya mencapai
Jawa Timur dan sebagian Lombok-Mataram.
Pada saat inilah pengaruh Islam mulai masuk ke Bali melalui diplomasi
politik yang dibawa oleh kerajaan Islam Demak dan Mataram. Sehingga kemudian
kita mengetahui bagaimana sebagian wilayah kerajaan Gelgel pun lepas. Meskipun
pada jalur tahapan pertama ini tidak terlalu signifikan, namun sejarah telah
mencatat bahwa utusan Raden Fatah dari kerajaan Demak pernah datang menawarkan
Islam ke Raja Gelgel.
Kedua; Jalur Perdagangan – Ekonomi. Pada jalur tahapan kedua ini,
pengenalan Islam di Bali dilakukan oleh para pedagang Muslim. Mereka adalah
para pedagang yang berasal dari Malaka (pesisir utara Sumatera), pantai utara
Jawa, dan Maluku. Saat itu Malaka menjadi pusat perdagangan Asia Tenggara. Sementara
dari Jawa dan Bugis banyak tersebar nelayan-nelayannya.
Melalui jalur perdagangan inilah, posisi kaum Muslimin semakin
dipandang. Sebab di ranah ini, Islam tampil dalam diri seorang Muslim berupa
citra transaksi dan pesona ekonomi. Citra transaksi memikat orang non Muslim
sehingga semakin menaruh kepercayaan kepada orang Muslim; maka saat itulah
Muslim dengan pemahaman Islam-nya menjadi rujukan. Sementara pesona ekonomi
memikat orang non Muslim sehingga semakin nyaman dengan kehadiran Muslim; maka
saat itulah Muslim dipandang sebagai rahmat kehidupan mereka.
Ketiga; Jalur Kekerabatan – Sosial. Pada jalur tahapan ketiga ini,
ada dua interaksi sosial yang efektif mengenalkan Islam di Bali. Pertama adalah
pernikahan, dan Kedua adalah pengobatan. Pernikahan menjalin hubungan kekerabatan
yang lebih kuat. Sementara pengobatan menjalin hubungan sosial yang lebih erat.
Di antara hasilnya adalah apa yang kita saksikan sekarang sebagai Pura Langgar. Ini adalah gabungan pura hindu dan langgar untuk sholat, yang
dibangun dalam rangka menyembuhkan penyakit yang diidap oleh I Dewa Agung Mas Blambangan (putra
pertama dari istri pertama Dalem Dewa Agung Wilis yang merupakan Raja Kerajaan
Bunutin di Bangli).
Sementara pernikahan hingga kini terus menjadi
sarana pengenalan Islam. Bahkan hingga kini, banyak perempuan-perempuan Hindu
yang ingin menikah dengan seorang Muslim lalu memeluk agama Islam. Alasannya
sederhana, karena dalam Islam seorang perempuan mendapatkan posisi yang
seimbang dengan keunikan hak-kewajiban masing-masingnya. Itu yang menjadi
impian lama mereka saat masih memeluk agama Hindu dengan beragam strata
sosialnya.
Dari ketiga tahapan itu, maka kita dapat mengenali bahwa setiap
tahapan jalurnya memiliki kekhasan peran tersendiri. Pada tahapan diplomasi –
politik, maka Islam dikenalkan kepada Raja sebagai izin memasuki rakyatnya. Sedangkan
pada tahapan perdagangan – ekonomi, maka Islam dikenalkan kepada para saudagar
dan masyarakat lapis menengah sebagai penetrasi di tengah-tengah rakyat.
Sementara pada tahapan kekerabatan – sosial, maka Islam dikenalkan kepada
masyarakat secara lebih luas hingga ke lapis paling bawah, bahkan di pilar inti
masyarakat yaitu keluarga. Wallahu a’lam.
Jakarta, 5 Februari 2016
Muhammad Irfan Abdul Aziz
SMART (Studi Masyarakat untuk Reformasi Terpadu)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar