sumber: binaulummah.com |
Agar kita sadar apa yang kini hilang, maka perlu kita telisik apa yang dulu
ada. Generasi dulu dan generasi kini sesungguhnya sama; yaitu sama-sama manusia biasa. Tapi
bedanya, generasi dulu (yaitu generasi awal dari ummat ini) disebut sebagai
generasi terbaik; itulah para sahabat radhiyallahu’anhum. Begitulah
fakta sejarahnya.
Tentu pertanyaannya adalah; kenapa para sahabat Rasulullah itu disebut
sebagai generasi terbaik? Maka, perlulah kita menelisik lebih jauh tentang
situasi dan kondisi yang melingkupi generasi tersebut serta model struktur keterbangunan
generasi kala itu.
Baiklah, kita mulai dari kondisi peradaban kala itu. Sedikitnya ada 5 peradaban yang melingkupi. Peradaban
Romawi dengan kebudayaannya, buku serta undang-undangnya yang bahkan hingga
kini masih menjadi referensi di Eropa. Peradaban Yunani dengan filsafat dan
keseniannya yang juga masih menjadi inspirasi Barat hingga saat ini. Peradaban
Persia dengan kesenian, kesusasteraan, mitologi, kepercayaan-kepercayaan dan
sistem pemerintahannya. Juga
ada Peradaban India dan Peradaban Cina.
Sementara secara situasi peta politik saat itu, ummat Islam di antara
digdaya Romawi dan Persia. Bahkan secara situasi pengaruh agama, ummat Islam
kala itu di antara pengaruh Yahudi dan Kristen.
Dalam kondisi dan situasi seperti itu, maka sangat mungkin ummat Islam
melirik peradaban, politik ataupun ajaran agama lainnya untuk menjadi referensi
pembanding. Sebagaimana kini, kita gandrung dengan K-Pop, Barat, China dan
sebagainya. Gandrung dengan seminar-seminar dan pelatihan-pelatihan. Serta gandrung dengan hasil-hasil penelitian dan pengamatan.
Namun kala itu Rasulullah menegur Umar saat mendapati di tangannya ada lembaran
Taurat. “Demi Allah, sesungguhnya andai saja Musa masih hidup di belakang
kalian, pastilah tak ada yang dilakukannya kecuali ia akan mengikuti
(ajaran)ku.”
Dengan demikian, mereka hanya merujuk kepada al Qur’an selama masa-masa
perintisan sebuah bangunan generasi. Sehingga jiwa mereka menyatu dengan
perasaan al Qur’an dan raga mereka berkomitmen dengan amalan al Qur’an. Ia
tidak merasa kecuali dengan cita rasa al Qur’an, dan tidak bertindak kecuali
dengan arahan al Qur’an.
Nah, sekarang apa bedanya dengan generasi kini? Setidaknya 3 hal masih ada pada generasi kini dan
sama dengan generasi dulu. Apa itu?
1. Al Qur’an
masih ada mendampingi kita sebagaimana dulu mendampingi generasi itu.
2. Arahan-arahan
Rasulullah berupa sabda-sabda yang teriwayatkan dalam hadits juga masih
ada mendampingi kita sebagaimana dulu mendampingi generasi itu.
3. Beragam keteladanan
generasi sahabat yang saling meneladani terkisah dari riwayat-riwayat juga
masih ada mendampingi kita sebagaimana dulu mendampingi generasi itu.
Itulah 3 hal yang masih ada dan masih sama. Lalu, apa yang beda? Apa yang
tidak ada? Apa yang hilang? Hanya satu hal; yaitu sosok Rasulullah shalallahu
’alaihi wasallam. Karena beliau telah wafat, tak mungkin mendampingi kita
saat ini.
Tapi, apa perlunya kita pada sosok Rasulullah, selain arahan-arahan beliau?
Toh, tanpa beliau Al Qur’an tetap dijamin kemurniannya oleh Allah subhanahu
wata’ala. Toh, arahan-arahan beliau masih dapat kita simak melalui
periwayatan hadits, sama halnya dahulu tidak semua sahabat juga menyimak
langsung arahan-arahan itu dari lisan beliau, sebab banyak pula sahabat yang
bermukim tak dekat dengan Rasulullah. Toh, beragam keteladanan generasi awal
itu juga masih dapat kita renungkan melalui kisah-kisah, sama halnya dahulu
para sahabat saling meneladani juga dengan cerita mulut ke mulut, tak semuanya
karena melihat langsung.
Dan satu lagi yang lebih penting, risalah Islam telah dihadirkan Allah azza
wa jalla sebagai risalah yang ditujukan untuk seluruh manusia. Maka semua
kita berhak memilikinya dan mengemban dakwahnya, karena itu bukan hanya hak dan
kewajiban Rasulullah. Jadi tanpa Rasulullah, risalah Islam beserta dakwahnya
adalah hak dan kewajiban setiap kita, yang tentu diwariskan dari beliau.
Tiga Faktor Pesona Generasi Kala Itu
Setelah kita mengupas hal-ihwal generasi kala itu; dari kondisi peradaban,
situasi politik, situasi pengaruh agama dan hal-hal yang mendampingi generasi
itu, maka kiranya ada 3 faktor pesona generasi kala itu yang bisa kita
simpulkan.
Faktor Pertama; Al Qur’an sebagai satu-satunya Rujukan.
Sesungguhnya ini merupakan sebentuk pemurnian referensi. Agar moralitas
yang sedang dibangun tak terjerat kerancuan perasaan. Agar pemikiran yang
sedang dibentuk tak terbentur beragam distorsi. Agar sikap-sikap yang sedang
dirumuskan tak terhalang ambiguitas kebijakan. Maka di masa perintisannya itu
mereka hanya merujuk pada al Qur’an semata.
Faktor pertama ini mungkin sedikit sirna di zaman sekarang. Di mana ummat
Islam tidak memfokuskan pada referensi al Qur’an. Bahkan, belum apa-apa sudah
mulai dengan referensi selain al Qur’an.
Faktor Kedua; Mentalitas intelektual yang berinisiatif pada Pengamalan.
Saat hanya merujuk pada al Qur’an itu, mereka justru tidak terkungkung
dengan teks al Qur’an. Sebab mereka memiliki faktor kedua yaitu Mentalitas
intelektual yang berinisiatif pada pengamalan. Sehingga, setiap teks yang
mereka baca, selalu melahirkan inisiatif pengamalannya. Oleh karenanya, karakter al
Qur’an memang diturunkan (diajarkan) secara berangsur-angsur. Sebagaimana firmannya
dalam al Isra’ ayat 106, “Dan al Qur’an itu telah Kami turunkan dengan
berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan kami
menurunkannya bagian demi bagian.” Sahabat pun saat menyimak al Qur’an tak ingin
banyak-banyak, agar dapat segera mengamalkan. Karena mereka sadar bahwa al Qur’an
adalah jalan hidup dan petunjuk Illahi. Mereka tidak dapat berjalan kecuali
dengan bimbingan al Qur’an. Mereka tidak pula dapat memutuskan kecuali dengan
putusan Illahi. Karenanya, menjadi keniscayaan setiap harinya merujuk pada al
Qur’an lalu menjadikannya amalan unik di hari itu.
Faktor kedua ini mungkin kini hampir-hampir tiada. Di saat orientasi pada
tradisi, publikasi, hobi atau mencari keuntungan menjadi tren dalam proses
belajar. Saat ini, kita membaca al Qur’an lebih karena ada tradisi mengaji di
lingkungan kita; baik itu maghrib mengaji, yasinan, atau yang lainnya. Saat ini
pula, kita membaca al Qur’an karena perlunya mencuplik ayat untuk publikasi
makalah. Pun saat ini, kita membaca al Qur’an bak hobi karena tiba-tiba
tren masyarakatnya sedang menebar hobi ini. Bahkan, mungkin kita baca al Qur’an
karena ada keuntungan yang dapat melekat padanya, baik dengan mengikuti
perlombaan ataupun sering diundang sebagai qari’. Tentu kita selalu berdoa agar
terhindar dari mentalitas intelektual yang semacam ini.
Faktor Ketiga; Pemisahaan Kesadaran sejak memeluk Islam.
Saat hanya merujuk pada al Qur’an lalu menjalaninya dengan mentalitas
pengamalan yang membuat jiwanya menyatu dengan perasaan al Qur’an dan raganya
berkomitmen dengan amalan al Qur’an, maka faktor ketiga yang mereka miliki adalah
Pemisahan Kesadaran sejak menghayati Islam. Pemisahan kesadaran ini dari segala
hal yang pernah melekat di masa jahiliyah sebelum menghayati Islam dengan sepenuh
komitmen. Yang pertama harus dipisahkan memang kesadaran yaitu perpaduan akal
dan hati, sebab yang menggerakkan pribadi kita adalah akal dan hati itu. Dengan
pemisahan kesadaran ini, maka selanjutnya akan ada pemisahan yang sepenuhnya
dari segala hal kejahiliyahan; baik perasaan, pemikiran, maupun perilaku. Tapi
ada hal yang perlu dipahami dengan baik, bahwa pemisahan terhadap jahiliyah ini tidak
termasuk dalam hal kerjasama teknis sehari-hari. Semisal kita menolong non Muslim, saling menyapa, saling menjaga keamanan lingkungan, dan sebagainya.
Sebab itu termasuk kewajiban khilafah kita di muka bumi untuk menjaga ketentraman kehidupan.
Kelemahan kita saat ini adalah tidak dapat memisahkan antara prinsip dan teknis.
Sehingga kita melebur dengan kejahiliyahan hingga tanpa batas. Atau sebaliknya,
memisahkan diri dengan kejahiliyahan hingga tanpa dakwah yang meretas. Apa
modal untuk memahami prinsip dan teknis tersebut? Yaitu kemurnian referensi
beragama kita, yang tak lain adalah al Qur’an semata. Maka kembalilah pada
referensi al Qur’an dan bermentallah pada pengamalannya, insyaAllah kita akan
mendapatkan keterpanduan dalam kehidupan; baik dalam memegang teguh prinsip
beragama maupun dalam menjalin kerjasama teknis keseharian.
Generasi yang Hilang
Setelah kita menelisik perbandingan generasi dulu dan generasi kini, lalu
kita mencermati faktor pesona generasi dulu, maka dapat kita simpulkan bahwa
yang hilang dari ummat kini adalah karakter Generasi itu sendiri. Ya, Generasi
yang Hilang.
Yaitu, generasi yang tulus hatinya, jernih akalnya, orisinal konsepsinya,
bersih kesadarannya, dan komposisinya bebas dari pengaruh apapun selain al Qur’an.
Kita telah mengulasnya saat mencermati satu-persatu faktor pesona generasi
dulu, yang kiranya faktor itu hampir-hampir tak lagi kita miliki kini.
Nah, generasi yang hanya mengadopsi panduan al Qur’an semata inilah yang kemudian
tumbuh dengan karakter nan unik. Keunikan yang memancarkan pesona. Keunikan
inilah yang kini hilang, setidaknya pada 2 aspek.
Pertama; keunikan Orientasi.
Dakwah kini hampir-hampir sudah kehilangan orientasi, yang karena itu
keunikannya pun hilang. Hampir-hampir, dakwah Islam dan dakwah selainnya tak
memiliki perbedaan lagi.
Padahal, orientasi dakwah kini hendaknya hanya pada pengamalan al Qur’an.
Sebab referensi utama Islam adalah al Qur’an semata. Sebab, sabda-sabda Sang
Rasul itu hanyalah penjelas bagi al Qur’an. Begitupun ketika Aisyah ditanya
tentang akhlak Rasulullah, jawabannya juga al Qur’an. “Akhlak beliau adalah
al Qur’an,” begitu tegas Aisyah radhiyallahu ’anha.
Kedua; keunikan Konsep.
Pembelajaran Islam kini hampir-hampir juga sudah kehilangan konsep
semestinya, yang karena itu keunikannya pun hilang. Hampir-hampir, pembelajaran
Islam dan pembelajaran selainnya tak memiliki perbedaan lagi.
Padahal, konsep pembelajaran kini hendaknya fokus pada tujuan implementasi
dan praktik. Bukan konsep pembelajaran yang hanya bertujuan untuk memenuhi pengetahuan dan tugas
akademik. Sebab tujuan kita belajar al Qur’an adalah mengetahui
apa yang dikehendaki al Qur’an untuk kita lakukan.
Epilog
Jadi, apa yang sesungguhnya hilang dari ummat ini? Orientasi al Qur’an dan
Konsep Pengamalan. Yang dengan keduanya akan melahirkan pemahaman akan Prinsip
dan Teknis sebagai kerangka Memisahkan Kesadaran diri dengan segala
kejahiliyahan. Agar generasi kini pun memiliki keunikan sebagaimana yang pernah
dimiliki generasi dulu.
Sebenarnya, yang membedakan generasi kini dengan generasi dulu bila ingin
disimpulkan dalam sebaris kalimat adalah seperti ujaran Sayyid Qutb saat
menggambarkan masa dulu: “Itulah sebuah masa saat adanya afiliasi massif dalam
jumlah besar di suatu tempat.”
Kini, yang paham al Qur’an dan Mengamalkan tidak sedikit juga. Bedanya
dengan dulu, yang paham al Qur’an dan Mengamalkannya di masa kini masih sebatas taraf
per-individu, sedangkan dulu satu generasi. Makanya Sayyid Qutb katakan, "Afiliasi
massif dalam jumlah besar di suatu tempat." Itulah yang hilang! Itulah
tantangannya!
Kita, tidak per-individu namun satu generasi, kompak berafiliasi pada al
Qur’an. Itulah keunikan yang semestinya kita munculkan. Agar dunia kembali
tercengang! Bismillah.
من كتاب معالم في الطريق لسيد قطب
Tidak ada komentar:
Posting Komentar