Ketika
kita hendak menyapa masyarakat dengan ilmu, maka yang menjadi pemikiran
selanjutnya adalah terkait cara kita mendapatkan ilmu. Seorang muslim nan da'i
hendaknya selalu memiliki ruang konsentrasi bagi hal-hal yang mendekatkannya
dengan ilmu. Ada baiknya kita mencermati kondisi-kondisi terkait hal ini yang
pernah disajikan oleh Dr. Sa'd bin Ali bin Wahf al Qahthani pada 22 tahun yang
lalu.
Pertama,
beliau menyajikan kondisi bahwasannya Rasulullah pernah berdoa sebagaimana
diriwayatkan at Tirmidzi dan Ibnu Majah sebagai berikut: "Ya Allah,
limpahkanlah manfaat terhadap ilmu yang telah Engkau berikan kepadaku, dan
ajarilah aku ilmu yang bermanfaat bagiku dan tambahkanlah ilmuku."
Maka bila
Rasulullah yang Terpilih saja berdoa kepada-Nya untuk mendapatkan ilmu yang
bermanfaat, tentu kita jauh lebih mesti lagi untuk berdoa akan hal ini. Doa
Rasul itu telah menunjukkan kepada kita bahwa ilmu adalah milik-Nya, bahwa
tiada ilmu kecuali dari-Nya, dan bahkan bilapun tanpa meminta kita telah diberi
secuil ilmu tetap saja kita berhajat kepada-Nya untuk melimpahkan manfaat pada
ilmu yang bersemayam dalam diri kita.
Kedua,
beliau menyajikan kondisi ketika Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu dihampiri
seseorang yang berseloroh, "Aku berkeinginan untuk belajar tapi aku
khawatir akan menyia-nyiakannya." Sontak Abu Hurairah menyahut,
"Dengan meninggalkan mencari ilmu itu berarti kamu telah melakukan
tindakan menyia-nyiakan ilmu."
Subhanallah.
Terkadang kita enggan mendapatkan ilmu karena khawatir tidak bisa mengamalkan
ilmu tersebut, lalu menganggap lebih baik tidak tahu daripada tahu tapi menyia-nyiakan
karena tidak mengamalkannya. Namun kita lupa, bahwa enggannya kita mendapatkan
ilmu itu juga sebentuk menyia-nyiakan ilmu. Bahwa ilmu adalah hajat kehidupan
kita yang telah Allah tebar dengan penuh kerahmatan, maka menuntutnya adalah
kemestian. Adapun mengamalkan ilmu, itulah tantangan ujian kesungguhan kita.
Tapi kita tidak akan benar-benar mendapatkan ilmu bila kita tak kunjung
sungguh-sungguh bahkan menyemai benih-benih keragu-raguan. Karenanya dalam
Kumpulan Penjelasan tentang Ilmu dan Keutamaannya termuat tips mendapatkan ilmu
dari seorang ahli hikmah. "Diiringi dengan kemauan yang keras untuk
mendapatkan ilmu, mencintai ilmu dengan mendengarkannya, dan setelah selesai
hendaknya dikumpulkan," pesan ahli hikmah tersebut. Bila hanya berkemauan
namun tak benar-benar cinta ingin sekali menyimak setiap ilmu, maka tiada
dapatkan ilmu. Bila berkemauan dan benar-benar cinta menyimak ilmu namun tak
mengumpulkan ilmunya setelah itu, juga tiada dapatkan ilmu. Kesungguhan sejati
dalam mencari ilmu itu mesti genap tiga hal tersebut: Berkemauan, Cinta
sebenar-benarnya, dan Mengumpulkannya. Tanpa ketiganya, maka belum dapat
dikatakan bersungguh-sungguh.
Ketiga,
beliau menyajikan kondisi ketika Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu 'anhu
mengatakan: "Menurutku seseorang yang lupa ilmunya, karena mempelajarinya
sembari melakukan perbuatan dosa."
Jelas.
Bila ilmu adalah milik-Nya, bagaimana dapat diperoleh dengan melakukan
kesalahan kepada-Nya? Begitupun bila ilmu membutuhkan kesungguhan, maka di mana
letak kesungguhan beramal bila mudah lalai dalam kesalahan kepada-Nya?
Keempat,
beliau menyajikan kondisi di mana seorang mufassir yaitu Mujahid pernah
mengatakan, "Seorang pemalu dan sombong tidak akan mempelajari ilmu."
Benarlah,
bagaimana akan mempelajari ilmu bila rasa malunya yang berlebihan tak jua
membuatnya beranjak berbaur dan bertanya? Begitupun, bagaimana akan mempelajari
ilmu bila kesombongan telah membuatnya lebih banyak mempertanyakan daripada
menanyakan?
Semoga
Allah mudahkan kita menyelami ilmu-ilmu-Nya, menanamkan kesungguhan yang
sesungguh-sungguhnya, menjaga dari dosa-dosa penggugurnya, serta menyirnakan
rasa malu dan sombong dalam diri. Karena dengan bekal ilmu-Nya, seorang muslim
akan dapat mendakwahkan kebenaran Islam di tengah masyarakatnya.
Muhammad
Irfan Abdul Aziz
3
Ramadhan 1437 H
Twitter:
@Daybakh
BBM
PIN: 56C730A3
Channel
Telegram: @MadrasahRamadhan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar