Di antara karakter jihad Rasulullah adalah tidak
memulai peperangan kecuali telah tiba shubuh sehingga telah tampak semuanya
dengan jelas. Pun beliau akan mencermati suara adzan di daerah penyerangan
tersebut; bila ada adzan terdengar maka batal penyerangan, namun bila tiada
terdengar adzan maka lanjut penyerangan. Demikian yang disampaikan oleh Anas
bin Malik radhiyallahu 'anhu.
Maka tidak heran bila Rasulullah begitu kecewa kepada
Usamah bin Zaid radhiyallahu 'anhu sepulang dari penyerangan daerah al
Hirqah. Sampai-sampai beliau mengulangi sebuah pertanyaan sebanyak tiga kali,
"Apakah engkau membunuhnya setelah ia mengucapkan Tiada Tuhan selain
Allah?"
Sungguh pertanyaan yang sulit dijawab oleh Usamah,
sampai ia sempat berharap hari itu baru masuk Islam sehingga ia mendapat
pemakluman. Pasalnya, memang ia telah membunuh seorang yang tersaksi
bersyahadat di depan tombaknya.
Kala itu serangan ba'da Shubuh pasukan muslim di
daerah al Hirqah terbilang berhasil mengoyak kekuatan lawan. Hingga Usamah dan
seorang Anshar yang membersamainya mendapati seorang tentara musuh yang
berusaha lari. Dikejarlah orang itu. Tapi ketika mereka sudah saling
berhadapan, musuh itu mengucapkan syahadat. Sementara Usamah yang telah siap
dengan tombaknya tetap menusukkan ke tubuh orang tersebut.
Hal inilah yang tidak bisa diterima oleh Rasulullah.
Meski Usamah beralasan, "Wahai Rasulullah, lelaki itu mengucapkan
demikian hanyalah untuk melindungi dirinya saja."
Tetap saja Rasulullah tidak bisa menerimanya. Maka
beliau lontarkan pertanyaan tajam tersebut kepada Usamah, sebagai perenungan
agar lebih hati-hati. Jangan bertindak sebelum segalanya tampak jelas.
Kematangan pertimbangan, itulah yang dikehendaki oleh Rasulullah.
Memang begitu yang diarahkan Rasulullah. Makanya beliau
selalu memerintahkan kepada seluruh pasukan muslim untuk memberikan 3 pilihan
terlebih dahulu kepada musuh sebelum penyerangan. Pilihan pertama, Islam dan
Hijrah atau Islam saja tanpa Hijrah kemudian mendapat perlakuan yang sama
dengan muslim lainnya. Pilihan kedua, bila enggan berislam maka diajak untuk
membayar jizyah (pajak). Pilihan ketiga, bila masih enggan dengan dua
pilihan tersebut maka diperangi.
Bahkan ada ajaran tentang kematangan pribadi ini yang
terdapat dalam kitab Masjid-Masjid pada Shahih Muslim. Yaitu sabdanya, "Apabila
telah didirikan shalat (selesai iqamah) maka janganlah kalian berdiri sebelum
kalian melihatku telah keluar (dari kamar untuk mengimami)." Hikmahnya
memang menghindari kekecewaan karena menunggu lama dengan berdiri.
Atau ada hadits yang cukup akrab bagi kita, "Apabila
telah dilaksanakan shalat, maka janganlah datang dengan berlari, akan tetapi
datanglah dengan berjalan. Hendaklah kalian tenang. Apa yang kalian dapatkan,
maka shalatlah. Dan apa yang kalian tidak sempat (dapatkan), maka
sempurnakanlah." Itulah ketenangan pribadi yang matang.
Jauh sebelum Rasulullah shalallahu alaihi wasallam,
nabi Sulaiman alaihissalam telah tampil dengan kematangannya dalam
bermuamalah terhadap beragam pihak. Salah satunya kepada para pasukannya. Lebih
rinci lagi terhadap Hud Hud yang tak hadir dalam konsolidasinya tanpa izin.
Bahwa beliau tidak mengeluarkan putusan akhir sebelum menyimak alasan yang
jelas dari Hud Hud.
Demikianlah sejatinya Da'i, segala ucapannya dan
tindakannya diawali dengan kemantapan pikirannya terlebih dahulu, sehingga
tidak terjadi keraguan dan kebimbangan dalam dakwah yang disampaikannya. Maka
Ibnu Hani' al Maghribi mengguratkan dalam syairnya, "Kemantapan sebuah
pendapat adalah setelah berpikir panjang."
Tradisi tafakkur dan tadabbur adalah
bagian dari melatih mekanisme berpikir panjang. Sejatinya, itulah yang
membedakan aktivis dakwah dengan aktivis lainnya.
Muhammad Irfan Abdul Aziz
16 Ramadhan 1437 H
Twitter: @Daybakh
BBM PIN: 56C730A3
Channel Telegram: @MadrasahRamadhan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar