-I-
Pengenalan
Tulisan (Sastra)
Pena. Ia adalah sarana. Saya
menggunakannya untuk dua aspek; diri sendiri dan orang lain. Bagi diri sendiri,
sarana ini berfungsi untuk menata keilmuan yang telah kita kumpulkan. Bagi
orang lain, sarana ini berfungsi untuk menyalurkan keilmuan, baik dalam rangka
sosialisasi maupun memberikan batas capaian atas ilmu agar dapat dilanjutkan
oleh pihak lain. Inilah urgensi pena.
Tulisan. Itulah titik mula sejarah.
Sebab sejarah adalah yang tertulis. Maka zaman sejarah adalah zaman tulisan.
Pena tadilah yang digunakan untuk merangkai tulisan. Maka menulis artinya
menyejarahkan segala hal yang kita kehendaki. Inilah urgensi tulisan.
Perangkat Otak. Tulisan itulah
perangkat otaknya atau yang disebut dengan Brain Ware. Pada era digital, kita
jauh lebih membutuhkan perangkat ini. Seiring perkembangan media, maka semakin
tinggi kebutuhan pada konten. Perangkat otak inilah kontennya; berupa ide dan
narasi. Inilah urgensi perangkat otak.
Sastra. Saya cukup tertarik dengan
ungkapannya Muhammad Iqbal. “Penyair mampu memuatkan ketak-terbatasan dalam
satu baris,” katanya. Menarik! Sebab ide itu sangatlah banyak. Narasi
lebih-lebih sering kali berpanjang kalam. Maka bagaimana menghimpun beragam ide
dan berpanjang narasi itu dalam nash yang ringkas, itulah seninya sastra.
Dengan demikian, inilah urgensi sastra.
-II-
Minat
Dunia kita adalah dunia tinta ulama
dan darah syuhada. Hanya itu pilihannya, maka bila tidak yang satunya
seharusnya yang satunya lagi. Bila tidak dua-duanya, maka tiada makna bagi
dunia kita. Oleh karenanya, menulis merupakan pilihan salah satu darinya; yaitu
Tinta Ulama.
Mutlak bagi penulis menjadi seorang
alim. Sebab tulisan sejatinya merupakan perangkat otak, maka ranahnya memang
kerja otak. Toh bila kita fungsikan pena sebagai alat penata keilmuan kita,
maka bila tiada ilmu apa yang akan ditata? Toh bila kita fungsikan pena sebagai
alat penyalur keilmuan, maka bila tiada ilmu apa yang akan disalurkan?
Segala proses awal, tentu
memunculkan minat. Dan kita akan berminat pada sesuatu karena telah memahami
urgensi sesuatu tersebut. Sebagaimana kita telah memahami urgensi pena dan
tulisan, maka seharusnya mulai tumbuh dalam diri kita minat menulis.
Tapi dari minat ini yang ingin
dicapai tidak mesti kemampuan menulis, cukup mengenali pola menulis. Sebab yang
disebut tinta ulama tidak mesti kecakapan menulis, karena banyak pula ulama
yang kecakapan lisannya tak sebanding dengan kecakapan tulisannya. Maka yang
terpenting adalah mengenali pola menulis. Ini seperti membaca, yang
penekanannya pada memahami pola membaca. Sebab perintah Iqra’ tidak hanya pada
ranah teks, namun juga konteks. Begitupun menulis, tidak selalu teks namun juga
konteks. Ingat! Ini hanyalah sarana untuk menata keilmuan kita dan menyalurkan
keilmuan kepada orang lain. Sebagai sarana ia bisa berubah-ubah bentuknya,
namun yang pasti pola kerjanya tetap sama.
-III-
Hobi
Setelah kita memiliki minat, maka
kita mulai memiliki kecenderungan. Inilah yang menggerakkan diri kita untuk menggeluti
minat tersebut secara ajeg berkala. Bila ini yang terjadi, maka inilah hobi.
Kita telah memiliki hobi.
Tapi, ingat! Jangan berpikir
parsial. Sebab menulis tidak akan pernah menjadi seakan hobi kalau kita masih
berpikir parsial. Yaitu menganggap menulis sebagai bidang kehidupan sendiri,
mempersempit makna aslinya sebagai sarana yang luas menjangkau apa saja.
Sebagaimana firman-Nya, “Yang mengajarkan dengan pena.” Itulah penetapan pena
sebagai sarana, bukan bidang kehidupan tersendiri.
Maka seharusnya, kita pun hanya
menjadikan menulis sebagai sarana. Untuk internalisasi bidang gelutan kita, dan
untuk aktualisasi bidang gelutan kita. Misalkan bidang kita adalah teknik, maka
menulis kita adalah sarana internalisasi pemahaman kita akan bidang teknik dan
aktualisasi pemahaman kita akan bidang teknik tersebut. Kita menulis teknik,
terus dan terus. Itu artinya hobi kita teknik, adapun menulis hanyalah
sarananya.
Sehingga tidak tepat kalau kita
mengatakan seseorang hobinya menulis. Sebab hobinya tetaplah bidang yang ia selami,
sedangkan tulisan hanyalah sarana untuk bidang yang ia hobi padanya. Dengan
demikian, tidak dapat pula kita benturkan dengan mengatakan, “Hobi saya bukan
menulis.” Loh, menulis memang bukan hobi. Menulis hanyalah sarana. Namun sarana
ini memiliki urgensitas yang tinggi sebagaimana telah kita paparkan. Karenanya
hendaknya kita gunakan sarana ini.
-IV-
Bakat
Bakat sebagaimana telah dimaklumi
merupakan hasil latihan berulang-ulang. Dalam hal sarana menulis, kita akan
berbakat dengannya bila sering menggunakan sarana ini berulang-ulang. Begitulah
hukum alamnya. Camkan dalam diri, kita bukan yang terbaik namun kita yang
terlatih. Dan yang disebut latihan adalah proses berkesinambungan.
Karenanya tidak ada standar bakat.
Yang selama ini disebut memiliki bakat menulis sesungguhnya hanya soal nasib
pasar. Sebab bakat bukan hasil, ia adalah proses. Siapapun yang berlatih, maka
akan berbakat. Dengan gaya apapun yang dimilikinya, itulah bakatnya dari hasil
latihannya.
-V-
Epilog
Setelah kita memiliki bakat karena terus berlatih, maka
sesungguhnya kita telah mengemban peran penting dalam kancah kehidupan. Menulis
bagi perspektif Muslim tetaplah sarana bagi dua tujuan hidupnya; Ibadah dan
Khilafah.
Kita beribadah membutuhkan ilmu, dan ilmu itu diikat dengan
menuliskannya. Maka semakin banyak menulis, semakin banyak pula ilmu yang kita
ikat. Itu artinya semakin berdayanya ibadah kita.
Kita menunaikan peran khilafah membutuhkan perbendaharaan yang
terus tumbuh. Dan menulis berguna memperkaya perbendaharaan umat Islam. Semakin
banyak yang umat tulis, semakin banyak perbendaharaan yang dimiliki umat Islam.
Ingat, tulisan adalah sejarah. Dan perbendaharaan utama suatu peradaban adalah
sejarahnya.
Seperti Baghdad tempo hari, tiba-tiba runtuh saat perpustakaannya
hancur. Itulah hangusnya perbendaharaan yang mengakibatkan keterpurukan strata sosial.
Semakin sedikit tulisan, semakin terpuruk dalam kemiskinan.
Persembahan untuk rekan-rekan di Persatuan Pelajar dan Mahasiswa
Indonesia (PPMI) Pakistan
Muhammad Irfan Abdul Aziz, Indonesia – 16 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar