Perlu pula kita belajar dari ath Thufail bin Amr ad Dausi,
seorang anak belia yang berhasil mengajak serta penduduk tempat asalnya untuk
berislam, padahal sempat ia putus asa dan murka dengan penolakan masyarakatnya.
Bahkan ia sempat terburu-buru datang kepada Rasulullah. "Sesungguhnya
penduduk Daus telah berbuat maksiat dan enggan menerima dakwah," adunya
gregetan. "Maka doakanlah wahai Rasulullah agar mereka dicelakakan
Allah."
Rasulullah menyimak, tidak merespon dengan jawaban telak, bahkan
segera mengangkat tangan mendongak. "Ya Allah," begitu baginda
memulai doanya. "Berikanlah petunjuk kepada kaum Daus, dan tuntunlah
mereka. Berikanlah petunjuk kepada kaum Daus dan tuntunlah mereka."
Pintanya jauh dari pinta Thufail. Sahabat yang beriman sejak
Rasulullah masih di Makkah inipun tercekat mengaminkan. Iapun kembali ke
negeri Daus, melanjutkan dakwahnya yang kala itu baru disambut oleh kedua orang
tuanya saja. Ia ingin seluruh masyarakatnya juga menyambut dakwahnya.
Dan benar! Kelak bertahun setelahnya selepas Hijrah Rasulullah,
Ath Thufail bin Amr berhasil mengajak 80-an orang menemui Rasulullah. Mereka datang ke
Madinah, berislam seluruhnya. Namun karena Rasulullah sedang di Khaibar, mereka
pun menyusul ke Khaibar. Al Maidani telah mencantumkan kisah ini dalam kitab
Akhlak Islamiyah dan Asas-Asasnya, penanda bahwa yang terjadi pada Ath Thufail
hendaknya menjadi bagian dari asas yang akan membentuk akhlak kita sebagai
Muslim.
Thufail tidak sendirian. Ada sosok lain nan tak terkenal pun
demikian. Bila kita baca kitab Hidayah al Mursyidin, maka kita akan menemukan
seorang badui yang oleh Ibnu Hajar dan Imam Nawawi diindikasikan bernama
Ghaurats bin al Harits. Kisahnya bermula saat pedang Rasulullah sudah di
tangannya dan kepala Rasulullah sedang rehat di bawah kilatannya. Sekali tebas.
Tapi ia tergoda untuk bertanya dahulu. "Siapakah yang akan
menolongmu dari tindakanku ini?" tanyanya kepada Rasulullah.
Jawab Rasulullah singkat, "Allah." Pertanyaan diulang
dan mendapat jawaban yang sama.
Itulah yang membuat Ghaurats urung menebas leher Rasulullah. Ia
sarungkan lagi pedang itu, lalu duduk merapat ke Rasulullah.
Syahdu. Terkadang orang-orang yang menguji para Da'i, hanya
ingin menguji penasarannya akan suasana syahdu bersama sang Da'i. Syahdu dalam
ketenangan, kemaafan, dan kemantapan. Sekali itu terbukti, penghormatan mereka
terberikan bagi sang Da'i.
Ghaurats telah menemukan itu pada diri Rasulullah. Maka ia akhirnya menjadi Da'i yang terbilang sukses berdakwah kepada banyak orang.
Memang demikianlah seharusnya. Seorang Da'i hendaknya jangan
terlalu terbawa perasaan. Sebab sebagian dari ujian dan tantangan itu sejatinya
untuk sebuah kemantapan hati menerima kebenaran yang telah tampak nyata.
Seperti yang dilakukan oleh Zaid bin Sa'nah, seorang Rahib
Yahudi. Sebelumnya ia pernah berkata, "Tanda-tanda kenabian Muhammad sudah
terpancar di wajahnya dan aku telah mengetahui semuanya. Akan tetapi ada dua
hal yang belum aku ceritakan yaitu sifat arifnya melebihi sifat bodohnya. Dan
dia tidaklah bertambah bodoh, akan tetapi justru semakin bertambah
kearifannya."
Tapi suatu saat ia menagih utang kepada Rasulullah dengan keras.
"Wahai Muhammad!" gertaknya. "Apakah engkau tidak akan membayar
hakku? Kalian semua wahai Bani Abdul Muthalib merupakan kaum yang selalu
menunda-nunda utang."
Bayangkan! Mungkin kita bisa sabar bila yang dicela hanya diri
kita seorang. Tapi berapa banyak yang akhirnya tak terima, karena celaan
membawa-bawa kerabat kita. Itulah yang terjadi pada Rasulullah. Bukan hanya
beliau yang dicela oleh Zaid, tapi juga keluarga besar Abdul Mutholib terkena
imbas celaan. Apalagi celaan disertai dengan menarik gamis dan sorban Rasulullah
secara kasar. Kita biasa akan menyahut bersungut-sungut, "Jangan pakai tangan, dong!"
Namun Rasulullah tetap tenang tiada amarah.
Hanya saja, Umar terpancing emosinya. "Wahai musuh
Allah!" hardiknya. "Engkau berani berkata begitu kepada Rasulullah
dan engkau melakukan seperti yang aku lihat. Demi Allah yang mengutusnya dengan
kebenaran, seandainya muncul celaan terhadap beliau lagi, niscaya aku akan
penggal kepalamu dengan pedangku ini."
Tapi suasana segera berubah ketika Rasulullah mulai angkat
suara. "Wahai Umar, aku dan dia lebih memerlukan sesuatu yang lain
darimu."
Umar terhenyak. Sesuatu apa itu selain pembelaan tadi? Lalu
Rasulullah melanjutkan, "Yaitu jika engkau memerintahkan kepadaku untuk
membayar utang dengan baik dan engkau memerintahkan kepadanya cara menagih yang
baik."
"Pergilah wahai Umar, bayarkanlah utang itu dan
tambahkanlah dua puluh sha' korma," pungkas Rasulullah.
Begitulah agama adalah nasehat. Maka saat itu juga Zaid bin
Sa'nah mendapatkan kemantapannya untuk bersyahadat. Kelak mantan Rahib Yahudi
tersohor itu syahid di tanah Tabuk, sebagaimana yang dikisahkan dalam al
Bidayah wan Nihayah-nya Ibnu Katsir. Allahu akbar!
Muhammad Irfan Abdul Aziz
11 Ramadhan 1437 H
Twitter: @Daybakh
BBM PIN: 56C730A3
Channel Telegram:
@MadrasahRamadhan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar