Rabu, 20 Januari 2016

WACANA KREMATORIUM YANG SEMPAT KONTROVERSIAL DI BALI (SAAT AGAMA TERBENTUR DENGAN ADAT)


Jangan anggap, bila Bali yang identik dengan tradisi Hindu dan dihuni oleh mayoritas umat Hindu maka benturan antara Agama dan Adat tidak terjadi. Nyatanya benturan itu ada, bahkan semakin pelik saat berada di lokasi yang sangat menjunjung tinggi adat. Karena hakikat adat adalah penjagaan warisan kebiasaan, sehingga alasan ‘penjagaan’ itulah yang seringkali tidak dapat menyesuaikan perkembangan zaman. Sebab tidak ada kebiasaan yang abadi dalam kehidupan dunia yang terus melalui dinamika perjalanan zamannya. Dan inilah yang pernah terjadi saat gagasan pembangunan Krematorium diangkat oleh Pesematonan Warga Pasek Sanak Sapta Rsi pada tahun 2007.


Gagasan ini langsung mendapat banyak respon penolakan. Dengan alasan ‘rasa sungkan’ menyalahi adat kebiasaan. Namun di tengah beragam penolakan, Putu Setia melalui Editorial majalah Raditya edisi 126 (Januari 2008) justru mengatakan bahwa gagasan ini merupakan sebuah terobosan yang baik. Karena Krematorium yang hendak dibangun justru akan dilengkapi sarana upacara Pitra Yadnya, termasuk adanya Pura Prajapati. Dengan demikian, menurutnya umat Hindu bisa melaksanakan upacara di tempat sampai selesai layaknya pelaksanaan upacara di Setra (kuburan).

Pendapat Putu Setia ini berdasar pada pengalaman bahwa sebelumnya upacara Pitra Yadnya masih menggunakan Krematorium di Mumbul dekat Nusa Dua yang statusnya bukan milik umat Hindu, sehingga hanya berfungsi sebagai ‘pembakar jenazah’ karena tidak ada sarana untuk ritual lainnya. Namun, sesungguhnya apa yang membuat sebagian kalangan umat Hindu di Bali menolak gagasan ini? Apa adat kebiasaan yang akan disalahi dengan pembuatan Krematorium ini?

Di antaranya adalah tradisi Bade (wadah) yang biasanya menjadi daya tarik bagi turis. Dengan peniadaan Bade pun akan dianggap merenggangkan keterikatan adat. Kembali hal ini disanggah oleh Putu Setia. Bahwa di kampungnya, desa Pujungan kabupaten Tabanan, meski umat Hindu melaksanakan upacara Pitra Yadnya di Krematorium yang terletak di Mumbul, tetap saja mereka bisa menggunakan Bade. Walaupun untuk membawa Bade itu harus menggunakan truk, lalu mendekati lokasi Krematorium diturunkan dari truk untuk diusung ramai-ramai.

Lebih jauh bahkan Putu Setia mengambil contoh umat Hindu di Jakarta. Bahwa mereka melakukan upacara Pitra Yadnya tanpa adanya Bade di Krematorium daerah Cilincing yang statusnya bukan milik umat Hindu. Selain itu, ia juga punya kesan kurang nyaman ketika menyaksikan proses ‘pembakaran jenazah’ yang menggunakan kompor minyak tanah, yang dibolak-balik dengan bambu. Pernah ia bergumam sendiri saat menyaksikan ‘pembakaran jenazah’ mertuanya, “Membakar ayam saja memakai perasaan, membakar orang kok seenaknya begini?

Begitulah polemik Agama dan Adat yang dialami oleh umat Hindu di Bali. Bahkan tiga tahun kemudian polemik ini masih menjadi kajian yang hangat dan diangkat kembali oleh I Gusti Putu Arthadana dalam Bahasan Utama-nya majalah Media Hindu edisi 84 (Februari 2011). Kali ini tidak hanya membahas urgensi adat kebiasaan, namun juga menyentil sentimen sektor ekonomi yang dialami umat Hindu di Bali.

Katanya, untuk sebuah ritual upacara yang utamaning utama (paling baik) membutuhkan biaya hingga Milyaran Rupiah. Untuk memenuhi ‘gengsi’ ini, umat Hindu di Bali sering kali harus menjual tanah warisan, mengganaikan perhiasan, atau berhutang ke lembaga keuangan (baik Koperasi, LPD, maupun Bank).

I Wayan Winatha, yang saat itu sebagai Sekretaris Sabha Walaka PHDI kabupaten Gianyar, bahkan menyesalkan program acara Dharma Wacana yang disiarkan di sebuah TV swasta Bali, karena hanya mengenalkan kepada umat terkait Ritual-nya saja dan tidak mengupas Tatwa-nya (pemaknaan dari ritualnya). Sehingga umat Hindu di Bali banyak yang melakukan upacara Pitra Yadnya hanya karena malu dengan tetangga tapi tanpa tahu bagaimana menghayati proses ritual itu. Akhirnya tatacara-nya dianggap lebih urgen daripada hikmah-hikmah yang mesti diresapi.

Apalagi bila menengok bahwa hakikat yadnya adalah agar umat lebih damai, tentram, harmonis dan sejahtera. Bagaimana hakikat itu akan terwujud bila yang dilakukan justru proses yang berbiaya tinggi.

Keprihatinan I Wayan Winatha ini berangkat karena kesadaran pada dua fakta yang merupakan dampak langsung dari cara ber-yadnya berbiaya tinggi ini, yaitu:
  1. Ratusan hektar tanah Bali setiap tahun beralih milik dan fungsinya. Hal ini karena mereka harus menjual tanah untuk membiayai yadnya. Selain tanah hilang, profesi pun akhirnya juga terancam; mengingat sebagian besar umat Hindu di Bali berprofesi sebagai petani. Bila tanah tidak ada, maka ke mana mereka harus bertani.
  2. Para pendatang justru melihat hal ini sebagai peluang bisnis. Akhirnya, kebutuhan pisang, janur, buah-buahan dan lainnya untuk ber-yadnya pun diimpor dari luar Bali. Bahkan mekanisme pasar akhirnya juga berlaku, di mana setiap jelang Hari Raya Galungan dan Kuningan harga-harga kebutuhan yadnya pun melonjak.

Bila profesi hilang dan ekonomi ‘diperas’ maka sangat mungkin angka kemiskinan di kalangan masyarakat Hindu Bali akan meningkat, demikian simpul I Wayan Winatha. Lalu ia menambahkan, “Bila umat jatuh miskin dan tidak mendapatkan kesejahteraan dalam beragama Hindu, maka sangat mungkin mereka akan berpindah agama.”

I Made Mirta, S.E. yang saat itu menjadi Ketua Parum Pecalang Kota Denpasar dan pernah menjadi anggota DPRD Kota Denpasar pun memiliki pendapat yang sama. Katanya, “Dalam ber-yadnya hendaknya pas-pasan; yaitu pas waktunya, pas biayanya dan pas maknanya. Sehingga efektif, sesuai ajaran Weda.”

Epilog

Saya cukup terhenyak saat menyeksamai Putu Setia hendak memecah kebekuan berpikir umatnya. Ia melontarkan beragam Tanya: “Untuk apa ‘budaya Bade’ kalau hanya menjadi beban buat umat? Untuk apa orang Bali bangga dengan budaya jor-joran kalau ‘beban budaya’ itu hanya membuat orang Bali menjadi lebih miskin? Demi turisme? Apakah pernah sektor pariwisata memberi imbalan untuk upacara keagamaan di Bali? Kecuali ngaben keluarga puri yang memang di-order oleh produser untuk difilmkan.”

Ah, mungkin ini yang bisa kita ambil pelajarannya. Bahwa kebekuan berpikir yang mengakibatkan konflik dengan Adat itu biasanya karena dua hal: ‘rasa enggan menyelisihi adat kebiasaan’ (yang sebenarnya penuh nuansa pemaksaan) dan ‘dominasi cara pandang materialistis’ (yang membuat si miskin terperangkap dalam jerat mekanisme ekonomi yang dalam hal ini adalah demi devisa dari turisme).

Tapi Putu Setia punya ungkapan yang menarik untuk menjalin harmonisasi dengan Adat, “Kalau Sang Yajamana tetap rukun dengan warga adat, sejak dari awal sampai jenazah selesai dibakar tetap terjalin kebersamaan.” Jadi, yang membuat kita rukun itu bukan meleburnya nilai-nilai, namun karena membaurnya insan-insan yang memegang nilai-nilai itu.

Sebagai agama yang penuh dengan improvisasi tradisi namun akhirnya terbentur sendiri dengan konsekuensi hakikat tradisi yang harus dijaga-lestarikan, maka tidak heran bila kemudian di antara cita-cita pembaruan dalam ritual Hindu adalah membuat upacara keagamaan yang lebih efisien dengan menghemat uang dan menghargai waktu.


Umat Islam, tentu berbeda karena telah memiliki konsep beragama yang sangat friendly dengan perkembangan zaman karena adanya metodologi yang telah menetapkan hal-hal yang Tsawabit (Tetap karena merupakan hal inti-substansi) dan Mutaghayyirat (Bisa Berubah karena merupakan hal yang bukan inti-substansi). Walaupun begitu, tidak ada salahnya kita merenungi apa yang terjadi pada umat lainnya. Semoga kita menjadi umat yang tidak terjebak pada cara pandang materialis serta memahami betul konsep Tsawabit dan Mutaghayyirat. Pun semoga lebih konsen membaurkan diri dengan interaksi kemasyarakatan daripada meleburkan nilai dengan tradisi kebiasaan. Wallahu a’lam.


Jakarta, 20 Januari 2016

Muhammad Irfan Abdul Aziz
SMART (Studi Masyarakat untuk Reformasi Terpadu)

Tidak ada komentar: