Jangan anggap, bila Bali yang identik dengan tradisi Hindu dan
dihuni oleh mayoritas umat Hindu maka benturan antara Agama dan Adat tidak
terjadi. Nyatanya benturan itu ada, bahkan semakin pelik saat berada di lokasi
yang sangat menjunjung tinggi adat. Karena hakikat adat adalah penjagaan warisan
kebiasaan, sehingga alasan ‘penjagaan’ itulah yang seringkali tidak dapat
menyesuaikan perkembangan zaman. Sebab tidak ada kebiasaan yang abadi dalam kehidupan
dunia yang terus melalui dinamika perjalanan zamannya. Dan inilah yang pernah
terjadi saat gagasan pembangunan Krematorium diangkat oleh Pesematonan Warga
Pasek Sanak Sapta Rsi pada tahun 2007.
Gagasan ini langsung mendapat banyak respon penolakan. Dengan alasan
‘rasa sungkan’ menyalahi adat kebiasaan. Namun di tengah beragam penolakan,
Putu Setia melalui Editorial majalah Raditya edisi 126 (Januari 2008) justru
mengatakan bahwa gagasan ini merupakan sebuah terobosan yang baik. Karena
Krematorium yang hendak dibangun justru akan dilengkapi sarana upacara Pitra
Yadnya, termasuk adanya Pura Prajapati. Dengan demikian, menurutnya umat
Hindu bisa melaksanakan upacara di tempat sampai selesai layaknya pelaksanaan
upacara di Setra (kuburan).
Pendapat Putu Setia ini berdasar pada pengalaman bahwa sebelumnya
upacara Pitra Yadnya masih menggunakan Krematorium di Mumbul dekat Nusa
Dua yang statusnya bukan milik umat Hindu, sehingga hanya berfungsi sebagai ‘pembakar
jenazah’ karena tidak ada sarana untuk ritual lainnya. Namun, sesungguhnya apa
yang membuat sebagian kalangan umat Hindu di Bali menolak gagasan ini? Apa adat
kebiasaan yang akan disalahi dengan pembuatan Krematorium ini?
Di antaranya adalah tradisi Bade (wadah) yang biasanya menjadi daya
tarik bagi turis. Dengan peniadaan Bade pun akan dianggap merenggangkan
keterikatan adat. Kembali hal ini disanggah oleh Putu Setia. Bahwa di
kampungnya, desa Pujungan kabupaten Tabanan, meski umat Hindu melaksanakan
upacara Pitra Yadnya di Krematorium yang terletak di Mumbul, tetap saja
mereka bisa menggunakan Bade. Walaupun untuk membawa Bade itu harus menggunakan
truk, lalu mendekati lokasi Krematorium diturunkan dari truk untuk diusung
ramai-ramai.
Lebih jauh bahkan Putu Setia mengambil contoh umat Hindu di
Jakarta. Bahwa mereka melakukan upacara Pitra Yadnya tanpa adanya Bade
di Krematorium daerah Cilincing yang statusnya bukan milik umat Hindu. Selain
itu, ia juga punya kesan kurang nyaman ketika menyaksikan proses ‘pembakaran
jenazah’ yang menggunakan kompor minyak tanah, yang dibolak-balik dengan bambu.
Pernah ia bergumam sendiri saat menyaksikan ‘pembakaran jenazah’ mertuanya, “Membakar
ayam saja memakai perasaan, membakar orang kok seenaknya begini?”
Begitulah polemik Agama dan Adat yang dialami oleh umat Hindu di
Bali. Bahkan tiga tahun kemudian polemik ini masih menjadi kajian yang hangat
dan diangkat kembali oleh I Gusti Putu Arthadana dalam Bahasan Utama-nya majalah
Media Hindu edisi 84 (Februari 2011). Kali ini tidak hanya membahas urgensi
adat kebiasaan, namun juga menyentil sentimen sektor ekonomi yang dialami umat
Hindu di Bali.
Katanya, untuk sebuah ritual upacara yang utamaning utama
(paling baik) membutuhkan biaya hingga Milyaran Rupiah. Untuk memenuhi ‘gengsi’
ini, umat Hindu di Bali sering kali harus menjual tanah warisan, mengganaikan
perhiasan, atau berhutang ke lembaga keuangan (baik Koperasi, LPD, maupun Bank).
I Wayan Winatha, yang saat itu sebagai Sekretaris Sabha Walaka PHDI
kabupaten Gianyar, bahkan menyesalkan program acara Dharma Wacana yang
disiarkan di sebuah TV swasta Bali, karena hanya mengenalkan kepada umat
terkait Ritual-nya saja dan tidak mengupas Tatwa-nya (pemaknaan dari ritualnya).
Sehingga umat Hindu di Bali banyak yang melakukan upacara Pitra Yadnya
hanya karena malu dengan tetangga tapi tanpa tahu bagaimana menghayati proses
ritual itu. Akhirnya tatacara-nya dianggap lebih urgen daripada hikmah-hikmah
yang mesti diresapi.
Apalagi bila menengok bahwa hakikat yadnya adalah agar umat
lebih damai, tentram, harmonis dan sejahtera. Bagaimana hakikat itu akan
terwujud bila yang dilakukan justru proses yang berbiaya tinggi.
Keprihatinan I Wayan Winatha ini berangkat karena kesadaran pada dua
fakta yang merupakan dampak langsung dari cara ber-yadnya berbiaya
tinggi ini, yaitu:
- Ratusan
hektar tanah Bali setiap tahun beralih milik dan fungsinya. Hal ini karena
mereka harus menjual tanah untuk membiayai yadnya. Selain tanah
hilang, profesi pun akhirnya juga terancam; mengingat sebagian besar umat
Hindu di Bali berprofesi sebagai petani. Bila tanah tidak ada, maka ke
mana mereka harus bertani.
- Para
pendatang justru melihat hal ini sebagai peluang bisnis. Akhirnya, kebutuhan
pisang, janur, buah-buahan dan lainnya untuk ber-yadnya pun diimpor
dari luar Bali. Bahkan mekanisme pasar akhirnya juga berlaku, di mana setiap
jelang Hari Raya Galungan dan Kuningan harga-harga kebutuhan yadnya pun
melonjak.
Bila profesi hilang dan ekonomi ‘diperas’ maka sangat mungkin angka
kemiskinan di kalangan masyarakat Hindu Bali akan meningkat, demikian simpul I
Wayan Winatha. Lalu ia menambahkan, “Bila umat jatuh miskin dan tidak
mendapatkan kesejahteraan dalam beragama Hindu, maka sangat mungkin mereka akan
berpindah agama.”
I Made Mirta, S.E. yang saat itu menjadi Ketua Parum Pecalang Kota Denpasar
dan pernah menjadi anggota DPRD Kota Denpasar pun memiliki pendapat yang sama.
Katanya, “Dalam ber-yadnya hendaknya pas-pasan; yaitu pas waktunya, pas
biayanya dan pas maknanya. Sehingga efektif, sesuai ajaran Weda.”
Epilog
Saya cukup terhenyak saat menyeksamai Putu Setia hendak memecah
kebekuan berpikir umatnya. Ia melontarkan beragam Tanya: “Untuk apa ‘budaya
Bade’ kalau hanya menjadi beban buat umat? Untuk apa orang Bali bangga dengan
budaya jor-joran kalau ‘beban budaya’ itu hanya membuat orang Bali menjadi
lebih miskin? Demi turisme? Apakah pernah sektor pariwisata memberi imbalan
untuk upacara keagamaan di Bali? Kecuali ngaben keluarga puri yang memang di-order
oleh produser untuk difilmkan.”
Ah, mungkin ini yang bisa kita ambil pelajarannya. Bahwa kebekuan berpikir
yang mengakibatkan konflik dengan Adat itu biasanya karena dua hal: ‘rasa
enggan menyelisihi adat kebiasaan’ (yang sebenarnya penuh nuansa pemaksaan) dan
‘dominasi cara pandang materialistis’ (yang membuat si miskin terperangkap
dalam jerat mekanisme ekonomi yang dalam hal ini adalah demi devisa dari
turisme).
Tapi Putu Setia punya ungkapan yang menarik untuk menjalin
harmonisasi dengan Adat, “Kalau Sang Yajamana tetap rukun dengan warga adat,
sejak dari awal sampai jenazah selesai dibakar tetap terjalin kebersamaan.”
Jadi, yang membuat kita rukun itu bukan meleburnya nilai-nilai, namun karena
membaurnya insan-insan yang memegang nilai-nilai itu.
Sebagai agama yang penuh dengan improvisasi tradisi namun akhirnya
terbentur sendiri dengan konsekuensi hakikat tradisi yang harus dijaga-lestarikan,
maka tidak heran bila kemudian di antara cita-cita pembaruan dalam ritual Hindu
adalah membuat upacara keagamaan yang lebih efisien dengan menghemat uang dan
menghargai waktu.
Umat Islam, tentu berbeda karena telah memiliki konsep beragama
yang sangat friendly dengan perkembangan zaman karena adanya metodologi
yang telah menetapkan hal-hal yang Tsawabit (Tetap karena merupakan hal inti-substansi)
dan Mutaghayyirat (Bisa Berubah karena merupakan hal yang bukan
inti-substansi). Walaupun begitu, tidak ada salahnya kita merenungi apa yang
terjadi pada umat lainnya. Semoga kita menjadi umat yang tidak terjebak pada
cara pandang materialis serta memahami betul konsep Tsawabit dan Mutaghayyirat.
Pun semoga lebih konsen membaurkan diri dengan interaksi kemasyarakatan daripada
meleburkan nilai dengan tradisi kebiasaan. Wallahu a’lam.
Jakarta, 20 Januari 2016
Muhammad Irfan Abdul Aziz
SMART (Studi Masyarakat untuk Reformasi Terpadu)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar