Menjadi pejuang pena adalah salah satu pilihan peran kehidupan. Dalam kehidupan ini memang kita diniscayakan menjadi pejuang untuk sebuah keberartian hidup. Pejuang apapun itu, batasannya hanya baik dan buruk, medannya terserah kita atau sekehendak kebutuhan ummat. Nah, medan menulis adalah salah satunya. Menjadi Pejuang Pena.
Tapi, apakah Pena dan Publisitas seharusnya selalu berpasangan? Apakah Pena itu harus bersama Publisitas?
Umumnya kita akan menjawab, Ya. Sebab tinta Pena yang telah terterakan itu sesungguhnya adalah publikasi. Dan hasil goresan Pena hendaknya memang dipublikasikan.
Lalu, bagaimana dengan Pejuang-nya? Apakah Pejuang Pena dan Publisitas juga seharusnya selalu berpasangan? Apakah Pejuang Pena itu juga harus bersama Publisitas? Mungkin ini hal lain yang perlu perenungan sendiri.
Pena dan Pejuang Pena memang dua hal yang berbeda. Pena adalah alat yang akan melahirkan produk, atau bahkan simbol produk itu sendiri. Sementara Pejuang Pena adalah pengguna alat itu ataupun pembuat produk tersebut.
Berbeda dengan Pena yang memang semestinya menjadi satu kesatuan bersama publisitas, maka Pejuang Pena tak harus bersama publisitas. Karenanya bagi para Pejuang Pena, yang dipikirkan pada mulanya adalah bagaimana orang menerima tulisannya. Dan ia tak peduli apakah orang mengenalnya atau tidak. Bila akhirnya orang mengenalnya setelah mengenal tulisannya, sesungguhnya itu adalah anugerah Allah baginya. Namun itu bukan targetnya, sehingga bukan itu yang ia kejar. Target utamanya hanyalah agar orang mengenal tulisannya.
Sehingga kita mendapatkan dalam sejarah betapa banyak kalangan Pejuang Pena yang tak cukup dikenal hingga ajal menjemputnya, meskipun sesungguhnya tulisan-tulisannya telah sangat dikenal. Salah satu contohnya pernah terjadi di negeri Mesir pada sosok bernama Anwar al Jundi; seorang budayawan, pemikir dan penulis.
Meskipun karya pemikirannya telah memenuhi cakrawala kebudayaan selama 50 tahun, namun kabar kematiannya tak segera diketahui khalayak. Pertama, karena memang pribadinya tak lekat dengan publisitas. Kedua, karena media pun tak terlalu minat mempublikasikan sosok intelektual yang dinilai jauh rating-nya dibandingkan sosok artis.
Padahal, bila dirunut iapun bagian dari pertumbuhan media. Karena ia termasuk generasi pertama Persatuan Wartawan di Kairo yang telah menerima Penghargaan Negara pada tahun 1960.
Di antara karyanya yang hampir mencapai 100 buku itu bahkan berupa dua ensiklopedia: Muqaddimaat ul Manaahij wal Uluum (Pengantar Metodologi dan Ilmu-Ilmu) dan Fii Daairatidh Dhau' (Di Sekitar Cahaya). Yang pertama ada 10 jilid, yang kedua ada 50 bagian.
Kebetulan sekarang bulan Januari, saya jadi teringat 28 Januari 2002. Itulah tanggal wafatnya. Bila saya renungi keteladanannya sebagai seorang budayawan dan penulis, maka kira-kira di antara yang perlu diteladani adalah satu hal: publisitas itu dilekatkan pada Pena-nya, bukan pada Pejuang Pena-nya. Maka cukuplah khalayak mengenal Pena kita, dan jangan fokus mengenalkan diri kita. Bila akhirnya khalayak kenal kita sebagai Pejuang Pena setelah mereka mengenal Pena kita, maka anggaplah itu anugerah Allah. Namun bukan itu yang kita tuju.
Publisitas itu semestinya pada Pena-nya, bukan pada Pejuang Pena-nya. Walillahilhamd.
Depok, 9 Januari 2016, 02.35 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar