Seorang kawan bertanya, “Makkah dan sebagainya kalau dikaitkan
dengan membangun keluarga itu bagaimana?” Menelaah ruang dalam hal ini adalah
Makkah, maka kita perlu mencermati konten cerita yang pernah mengisi ruang tersebut
pada waktu itu. Dan kiranya, kita bisa sederhanakan dengan mentelaah
satu-persatu aktor-aktor utama dalam konten cerita tersebut. Yaitu; Sarah,
Hajar, Ibrahim, dan Ismail.
Pertama; Sarah
Saat Sarah cemburu karena telah lahir keturunan Ibrahim dari istri
keduanya (Hajar), maka Hajar dan Ismail pun diungsikan ke Makkah yang
notabenenya lembah kering tanpa manusia, bahkan tanpa binatang dan tumbuhan.
Hajar dan Ismail kemudian ditinggal di tanah tandus itu. Sebab Ibrahim kembali
ke Palestina untuk menemani Sarah.
Terkadang, kecemburuan itu baru terobati saat terpuaskan jiwanya
melihat lawan cemburuannya menderita. Terkadang pula, kecemburuan itu baru
terurai saat kedua jiwa itu dipisahkan jarak hingga terlupakan. Begitulah akhirnya
redup api kecemburuan Sarah kepada Hajar; saat mendapati keputusan suaminya
untuk meninggalkan Hajar di padang derita nan terpisah jauh.
Bagi Hajar, tentu hanya kesabaran dan kedewasaan iman yang dapat
membuatnya menerima keputusan suaminya. Ia memang istri kedua, namun ia yang
telah memberikan keturunan bagi Ibrahim. Naasnya, justru ia pula yang harus
mengalah karena kecemburuan Sarah. Tidak hanya mengalah, bahkan ia yang harus
merasakan pedihnya kehidupan jauh antah-berantah pada tanah tandus seorang diri
hanya bersama bayi gendongannya. Pungkas beban berat Hajar saat suaminya pun
meninggalkannya, bahkan tidak hanya meninggalkan namun juga hendak kembali ke
tempat Sarah istri pertamanya. Berat, tentu! Tapi kualitas sabar dan kedewasaan
iman sesosok istri bernama Hajar yang membuatnya kreatif menyibak kerumitan
menuju jalan temu, yaitu pertemuan Tauhid. “Apakah Allah subhanahu wa ta’ala yang telah memerintahkan
engkau dengan ini?”
begitu tanya Hajar setelah dua kali bertanya tanpa jawab tentang kenapa Ibrahim
meninggalkannya di tempat misteri itu.
Adapun Ibrahim, iapun berat. Tapi
ialah pemimpin rumah tangga, harus bisa memutuskan untuk keutuhan keluarga. Ia
juga hamba Allah, yang harus bisa memutuskan dengan titah-Nya. Maka iapun
meninggalkan Hajar dengan berat menuju Sarah. Doanya, “Ya Rabb kami, sesungguhnya aku
telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai
tanam-tanaman di dekat rumah-Mu (Baitullah) yang dihormati, ya Rabb kami (yang
demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian
manusia cenderung kepada mereka dan beri rizkilah mereka dari buah-buahan,
mudah-mudahan mereka bersyukur.”
Kedua; Hajar
Setelah Hajar ditinggal seorang diri bersama bayinya Ismail, maka
kehidupan seluruhnya sangat menuntut kearifan jiwa Hajar. Sebab ia harus
menghemat perbekalan yang ditinggalkan oleh Ibrahim. Iapun akhirnya harus
kreatif dan bersemangat mencari air penghidupan demi cintanya pada buah hati.
Hingga kemudian tanah itu tak lagi gersang dan kosong, sebab serombongan Bani
Jurhum II pun menghampirinya untuk turut serta menetap di lembah barakah itu.
Terkadang, sulitnya kehidupan justru membuat segala keterbatasan
menjadi daya yang dahsyat. Terkadang pula, kearifan hidup justru hadir saat
kita seorang diri dan merasa segalanya serba terbatas. Begitulah akhirnya mata
air zamzam memancar sebab daya dahsyat terus menggerakkan langkah Hajar mencari
sumber air demi cintanya kepada Ismail sang buah hati. Bahkan, kelak saat Bani
Jurhum II meminta izin kepadanya untuk menetap di lembah itu dengan senang hati
ia mengizinkannya, sebab hidup seorang diri tak lebih indah dari kehidupan
sosial. Dan kelak, ia sendiri yang membina anaknya hingga menikah dengan salah
satu perempuan Bani Jurhum.
Bagi Ismail, tumbuh berkembang tanpa dua orang tua yang lengkap
tentu bukanlah hal yang menyenangkan. Tapi Ismail adalah anak yang shalih. Maka
ia tetap berbakti kepada ibunya, orang tua satu-satunya yang mendampingi masa
tumbuhnya. Terlebih Hajar adalah sesosok ibu yang penuh cinta dan
tanggungjawab. Maka, tidak ada alasan bagi seorang anak untuk menyakiti seorang
ibu yang telah sudi menemaninya dalam tumbuh berkembang, meskipun seorang diri
dalam keterbatasan.
Adapun Ibrahim, tentu ia sadar bahwa semua itu adalah ketentuan
Allah. Tak boleh ada kelu, tapi tetap harus ada rindu. Maka, mengunjungi Makkah
adalah impian yang terus bertambah bobot kerinduannya. Menjumpai istrinya Hajar
dan anaknya Ismail. Rindu itu adalah energi yang mengalir dalam jiwa
tanggungjawab, hingga tercatat Ibrahim telah 4 kali mengunjungi anaknya guna
memantau perkembangannya bahkan setelah anaknya menikah. Namun sebagai hamba
Allah, kerinduannya tidak boleh mengabaikan arahan-arahan Allah. Maka saat
akhirnya Allah mengatur perjumpaannya dengan anaknya yang tidak lama, Rabb-nya
justru memintanya menyembelih Ismail. Rindu dan Sembelih, dua hal yang saling
bertentangan. Tapi kehendak Allah harus selalu didahulukan dari sekadar
perasaan. Ia memang rindu, namun rindu itu tak boleh mengabaikan kehendak
Allah. Dan saksikanlah, di balik kehendak Allah itu ternyata ada hikmah yang
besar. Membuat kerinduan itu tak sekadar kerinduan dua makhluk, namun menjadi
kerinduan yang berkelindan dengan cinta kepada-Nya.
Ketiga; Ibrahim
Empat kali Ibrahim datang ke Makkah setelah meninggalkan Hajar dan
Ismail. Pertama, saat ada perintah untuk menyembelih Ismail. Kedua, setelah
Ismail menikah dengan seorang perempuan Jurhum dan saat itu Hajar telah wafat.
Ketiga, setelah Ismail menikah yang kedua kalinya dengan anak Madhodh bin Amru seorang
tokoh Bani Jurhum. Keempat, saat ada perintah meninggikan pondasi Ka’bah. Tapi
yang paling menarik di sini adalah saat kunjungan kedua dan ketiga ia tak
bertemu dengan Ismail. Hanya istri Ismail yang menemui Ibrahim. Pada kunjungan
kedua dan ketiga, saat hanya bertemu dengan istri Ismail, maka Ibrahim bertanya:
bagaimana kabar kalian berdua? Istri pertama pada kunjungan kedua menjawab
bahwa kehidupan mereka susah, maka Ibrahim pun segera menitip pesan kepada
istri tersebut untuk menyampaikan kepada Ismail bahwa ia diminta mengganti
gagang pintunya. Saat menerima pesan itu, Ismail paham dan langsung menceraikan
istrinya. Sementara istri kedua pada kunjungan ketiga menjawab bahwa kehidupan
mereka baik-baik saja, maka Ibrahim pun segera menitip pesan kepada istri tersebut
untuk menyampaikan kepada Ismail bahwa ia diminta menjaga teguh gagang
pintunya. Saat menerima pesan itu, Ismail paham dan terus merawat pernikahan
itu.
Terkadang, keluh mencerminkan keroposnya cinta dan tanggungjawab.
Terkadang pula, keputusan-keputusan aneh namun didasari bakti dan taat akan
melahirkan hikmah keberkahan. Begitulah akhirnya keluhan istri pertama Ismail
yang membuat Ibrahim menitipkan pesan kepada Ismail untuk menceraikannya. Begitu
pula, saat dengan segera Ismail menunaikan amanah pesan ayahnya sebagai bakti
dan taatnya seorang anak, maka Allah berkahi keputusan itu dengan memberikan
Ismail jodoh pengganti seorang putri tokoh Bani Jurhum. Pernikahan kedua ini
tak hanya menentramkan, namun juga menaikkan. Sang istri dengan sepenuh cinta
dan tanggungjawab menentramkan kehidupan rumah tangga bagaimanapun kondisinya.
Sementara Ismail naik derajat sosialnya karena beristrikan seorang putri tokoh
kabilah.
Bagi Ismail, ia cepat memahami isyarat ayahnya saat menyebut gagang
pintu. Beginilah seorang anak yang pembelajar sejati, cukup dengan isyarat. Bahkan
tidak hanya paham, melainkan juga sigap memenuhi kehendak ayahnya. Inilah bakti
anak kepada orang tua. Mungkin karena ayahnya pun cukup memberi isyarat dalam
menyampaikan kehendak pada anaknya. Pada perketi, selalu ada hak bakti. Yakinlah!
Keempat; Ismail
Dari istri keduanya putri tokoh Bani Jurhum, maka Ismail diberi
keturunan 12 anak. Yang setiap anaknya membentuk kabilah-kabilah. Kelak
kabilah-kabilah dari anak ketiga sampai keduabelas menguasai perdagangan
barang-barang di Yaman untuk dijual ke Syam dan Mesir, hingga kebanyakan dari
mereka akhirnya membentuk komunitas-komunitas di pedalaman Yaman. Adapun anak
pertama dan keduanya terus berkembang di Hijjaz; yang kemudian dari anak
pertamanya berketurunan di Madinah, sementara dari anak keduanya berketurunan
di Makkah.
Terkadang, proses tumbuh-berkembang yang rumit menjadikan seseorang
memiliki kematangan dan kedewasaan yang lebih dari lainnya. Tapi sesungguhnya
tak hanya proses hidup yang rumit, melainkan juga proses dialog dan partisipasi
yang dibangun oleh ayah terhadap anaknya. Seperti dialog Ibrahim saat akan
menyembelih Ismail, seperti isyarat hikmah dari Ibrahim saat membimbing
bangunan rumah tangga Ismail, dan seperti partisipasi Ismail yang diajak oleh
Ibrahim meninggikan pondasi Ka’bah. Semua interaksi ayah dan anak itu, dalam
ketaatan kepada Allah dan bakti kepada orang tua -karena ayah berbudi pekerti memang
pantas punya hak bakti-, yang sesungguhnya akan melahirkan
keberkahan-keberkahan.
Maka, akhirnya Ismail melahirkan keturunan berkabilah-kabilah.
Mereka yang berkembang di Makkah, Madinah, Yaman, Bahrain, Iraq, dan lain-lainnya
itu adalah dari anak keturunan Ismail. Wallahu a’lam.
Jakarta, 28 Januari 2016
Muhammad Irfan Abdul Aziz
SMART (Studi Masyarakat untuk
Reformasi Terpadu)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar