Karunia Allah subhanahu wata’ala yang akhirnya mempertemukan ustadz Chabib Thoyib Zein Arifin Assegaf dengan bapak Saja’i pada Juli 1991 H / Muharram 1412 H. Ustadz
Thoyib Zein Arifin adalah Pengasuh Pondok Putri Al Khoiriyah di Jl. Kol. Sugiono Wedoro Belahan RT 02 RW VII Gg. VI/16,
kecamatan Waru, kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Sedangkan bapak Saja’i adalah seorang
Muallaf yang asalnya beragama Hindu, yang mendapatkan hidayah setelah 70 tahun
usianya hidup sebagai seorang Hindu. Baik ustadz Thoyib Zein Arifin maupun
bapak Saja’i sama-sama berusia senja. Rasa kagum yang hinggap di relung hati ustadz
Thoyib akan keislamanan bapak Saja’i di usia senjanya yang menjadi sebab
pertemuan itu. Dengan taufiq dari Allah subhanahu wata’ala, ustadz Thoyib
berangkat dari Sidoarjo untuk menemui bapak Saja’i di kediamannya yang terletak
di Bukit Bedugul, kabupaten Tabanan, Bali.
Ustadz Thoyib Zein Arifin bercerita, bahwa seorang pedagang dari
Gresik yang telah memperkenalkan sosok bapak Saja’i kepadanya. Pedagang dari
Gresik ini telah menetap di Bali, tepatnya di Jl. Gunung Merbabu, Denpasar. Memang
di Jl Gunung Merbabu terkenal dengan komunitas pedagang muslim asal Jawa dan
Madura. Mereka sengaja merantau ke Bali untuk mencari nafkah. Ada yang bersama
keluarga, ada pula yang sendirian dan meninggalkan keluarga di kampung halaman.
Suatu ketika pedagang asal Gresik yang bernama Zainul Musabbihkin
ini pergi ke kecamatan Waru, kabupaten Sidoarjo. Zainul Musabbihkin adalah
pedagang sandal, sebagaimana pedagang lainnya, menjadi salah satu kebiasaannya
adalah kulakan atau membeli barang-barang dagangan untuk dijual kembali.
Salah satu sumber barang dagangannya berasal dari kecamatan Waru, Sidoarjo.
Namun saat itu, selain membeli barang dagangannya, Zainul Musabbihkin juga
menyempatkan mampir ke sebuah Pondok Putri yang diasuh oleh ustadz Thoyib Zein
Arifin. Kebetulan ustadz Thoyib Zein Arifin adalah Ketua Persatuan Kerajinan Sandal, maka kulakan sandal tidak lengkap bila belum bertemu dengannya. Di sinilah cerita akan sosok bapak Saja’i dikenalkan oleh Zainul Musabbihkin
kepada ustadz Thoyib Zein Arifin.
Zainul bercerita, bahwa ia pernah berjalan menjajakan sandal
dagangannya sampai sebuah tempat di Bali yang bernama Bukit Bedugul. Dengan
takdir Allah azza wa jalla, ia bertemu dengan seorang tua yang baru saja masuk
Islam. Yaitu bapak Saja’i itu, yang berasal dari kabupaten Karangasem. Menurut
perkiraan Zainul, usia bapak Saja’i sudah lebih dari 70 tahun.
Maha Kuasa Allah, yang telah memanjangkan usia hamba-Nya hingga
dilimpahkan hidayah Tauhid di usia senjanya pada sebuah daerah minoritas Muslim.
Itulah yang menarik bagi ustadz Thoyib Zein Arifin, sehingga ia menyampaikan
kepada Zainul Musabbihkin bahwa dirinya ingin mengunjungi Muallaf tersebut bila
ada rezeki.
Jama’ah Akhlakul Khasanah Jami’iyyah Manaqib Al Jamali
Pertemuan ustadz Thoyib Zein Arifin dan bapak Saja’i tidak sekadar
pertemuan persaudaraan sesama insan beriman. Tetapi kehadiran ustadz Thoyib
Zein Arifin juga disambut oleh komunitas pedagang Muslim yang berada di Jl
Gunung Merbabu, Denpasar. Dalam menyambut kedatangan ustadz Thoyib Zein Arifin,
para pedagang Muslim itu menyelenggarakan perkumpulan pembacaan Manaqib Syeh
Abdul Qodir Al Jailani, yaitu sebuah riwayat cerita teladan sosok ulama bernama
Syeikh Abdul Qodir Al Jailani.
Pembacaan Manaqib memang menjadi tradisi yang tumbuh di masyarakat
Muslim Jawa. Tujuannya sederhana, mengenalkan keteladanan hidup para ulama
sholih. Sedikit-banyak pembacaan Manaqib ini juga menjadi sarana dakwah,
mengenalkan nilai-nilai Islam yang telah diteladankan oleh para ulama. Dengan
kemasan cerita, maka seakan dakwah disampaikan sebagai cermin bagi ummatnya.
Apakah mereka telah berakhlak islami sebagaimana yang telah diteladankan para
ulama? Dan secara perlahan, masyarakat itu membenahi akhlaknya menuju akhlak
yang islami. Begitu harapannya. Meskipun, tidak sedikit pula kegiatan Manaqib
berjalan sekadar tradisi yang tidak mencapai tujuannya. Biasanya karena
memaksakan pembacaannya menggunakan bahasa Arab tanpa diterjemahkan dan tanpa
penjelasan, akhirnya masyarakat yang menyimaknya pun tidak memahami pesannya. Lebih
dari itu, bila masyarakat yang menyimaknya hanya memahami bahwa keberkahan pada
pembacaannya, dan melupakan pentingnya pengamalan semua keteladanan yang
disajikan dalam Manaqib tersebut.
Ala kulli hal, sebagian proses penyebaran syiar Islam telah berlangsung
melalui pembacaan Manaqib. Termasuk dalam kesempatan komunitas pedagang Muslim
bersama ustadz Thoyib Zein Arifin, meskipun saat itu hanya dihadiri 12 orang
saja, akhirnya berkembang dan menjadi sebuah jama’ah yang bernama Jama’ah
Akhlakul Khasanah Jami’iyyah Manaqib Al Jamali. Artinya nama itu adalah warga
yang berbudi luhur dalam kumpulan Manaqib dari Jawa, Madura dan Bali.
Jama’ah ini dibentuk untuk mengkoordinir forum menuntut ilmu dan
silaturrahim yang akan diadakan setiap bulannya, sebagai follow up dari
pertemuan dengan ustadz Thoyib Zein Arifin. Sehingga ustadz Thoyib akan rutin
hadir setiap bulannya memimpin kegiatan ini. Adapun acara rutin dalam pertemuan
bulanannya adalah membaca Manaqib, surat Yasin dan Tahlil. Secara waktu, jadwal
pertemuan diselenggarakan pada malam Jum’at Pon. Secara tempat, bergiliran di
rumah-rumah peserta.
Biasanya setelah pembacaan Manaqib, surat Yasin dan Tahlil, jama’ah
akan mabit dan mendirikan Shalat Malam (Qiyamul Lail) serta istighosah. Lalu
bila esok harinya pada hari Jum’at ada kesenggangan waktu, para jama’ah akan
bersilaturrahim ke para ulama di sekitar Denpasar. Tujuannya selain menjalin
ukhuwah, juga meminta taujih agama. Tentu kegiatan semacam ini sangat
bermanfaat bagi para pedagang tersebut. Bagaimanapun dalam keseharian mereka di
pasar, berinteraksi dengan beragam manusia, serta melakukan muamalah bisnis,
akan banyak hal yang membuat mereka perlu merujuk pada hukum syariat. Maka,
kegiatan bersilaturrahim kepada para ulama ini cukup membantu mereka memecahkan
beragam persoalan muamalah mereka secara hukum agama.
Satu hal lagi yang menjadi tradisi baik jama’ah ini adalah iuran
setiap kegiatan, setiap orang minimal Rp 1000 (Seribu Rupiah). Nominal itu pada
awal tahun 90-an cukup besar nilainya. Dari iuran yang terkumpul itu, digunakan
sebagai dana sosial bila ada anggota jama’ah yang membutuhkan. Hingga kini Jama’ah
Akhlakul Khasanah Jami’iyyah Manaqib Al Jamali telah menyebar ke banyak tempat
di Bali; Klungkung, Karangasem, Singaraja, Jembrana, Tabanan dan Badung di
Denpasar. Mempererat ukhuwah di kalangan muslim Jamali (Jawa, Madura, Bali).
Jakarta, 15 Januari 2016
Muhammad Irfan Abdul Aziz
SMART (Studi Masyarakat untuk
Reformasi Terpadu)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar