Jumat, 15 Januari 2016

ISLAM DI BALI: PEDAGANG MUSLIM, MUALLAF HINDU DAN PENGASUH PESANTREN


Karunia Allah subhanahu wata’ala yang akhirnya mempertemukan ustadz Chabib Thoyib Zein Arifin Assegaf dengan bapak Saja’i pada Juli 1991 H / Muharram 1412 H. Ustadz Thoyib Zein Arifin adalah Pengasuh Pondok Putri Al Khoiriyah di Jl. Kol. Sugiono Wedoro Belahan RT 02 RW VII Gg. VI/16, kecamatan Waru, kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Sedangkan bapak Saja’i adalah seorang Muallaf yang asalnya beragama Hindu, yang mendapatkan hidayah setelah 70 tahun usianya hidup sebagai seorang Hindu. Baik ustadz Thoyib Zein Arifin maupun bapak Saja’i sama-sama berusia senja. Rasa kagum yang hinggap di relung hati ustadz Thoyib akan keislamanan bapak Saja’i di usia senjanya yang menjadi sebab pertemuan itu. Dengan taufiq dari Allah subhanahu wata’ala, ustadz Thoyib berangkat dari Sidoarjo untuk menemui bapak Saja’i di kediamannya yang terletak di Bukit Bedugul, kabupaten Tabanan, Bali.


Ustadz Thoyib Zein Arifin bercerita, bahwa seorang pedagang dari Gresik yang telah memperkenalkan sosok bapak Saja’i kepadanya. Pedagang dari Gresik ini telah menetap di Bali, tepatnya di Jl. Gunung Merbabu, Denpasar. Memang di Jl Gunung Merbabu terkenal dengan komunitas pedagang muslim asal Jawa dan Madura. Mereka sengaja merantau ke Bali untuk mencari nafkah. Ada yang bersama keluarga, ada pula yang sendirian dan meninggalkan keluarga di kampung halaman.

Suatu ketika pedagang asal Gresik yang bernama Zainul Musabbihkin ini pergi ke kecamatan Waru, kabupaten Sidoarjo. Zainul Musabbihkin adalah pedagang sandal, sebagaimana pedagang lainnya, menjadi salah satu kebiasaannya adalah kulakan atau membeli barang-barang dagangan untuk dijual kembali. Salah satu sumber barang dagangannya berasal dari kecamatan Waru, Sidoarjo. Namun saat itu, selain membeli barang dagangannya, Zainul Musabbihkin juga menyempatkan mampir ke sebuah Pondok Putri yang diasuh oleh ustadz Thoyib Zein Arifin. Kebetulan ustadz Thoyib Zein Arifin adalah Ketua Persatuan Kerajinan Sandal, maka kulakan sandal tidak lengkap bila belum bertemu dengannya. Di sinilah cerita akan sosok bapak Saja’i dikenalkan oleh Zainul Musabbihkin kepada ustadz Thoyib Zein Arifin.

Zainul bercerita, bahwa ia pernah berjalan menjajakan sandal dagangannya sampai sebuah tempat di Bali yang bernama Bukit Bedugul. Dengan takdir Allah azza wa jalla, ia bertemu dengan seorang tua yang baru saja masuk Islam. Yaitu bapak Saja’i itu, yang berasal dari kabupaten Karangasem. Menurut perkiraan Zainul, usia bapak Saja’i sudah lebih dari 70 tahun.

Maha Kuasa Allah, yang telah memanjangkan usia hamba-Nya hingga dilimpahkan hidayah Tauhid di usia senjanya pada sebuah daerah minoritas Muslim. Itulah yang menarik bagi ustadz Thoyib Zein Arifin, sehingga ia menyampaikan kepada Zainul Musabbihkin bahwa dirinya ingin mengunjungi Muallaf tersebut bila ada rezeki.

Jama’ah Akhlakul Khasanah Jami’iyyah Manaqib Al Jamali

Pertemuan ustadz Thoyib Zein Arifin dan bapak Saja’i tidak sekadar pertemuan persaudaraan sesama insan beriman. Tetapi kehadiran ustadz Thoyib Zein Arifin juga disambut oleh komunitas pedagang Muslim yang berada di Jl Gunung Merbabu, Denpasar. Dalam menyambut kedatangan ustadz Thoyib Zein Arifin, para pedagang Muslim itu menyelenggarakan perkumpulan pembacaan Manaqib Syeh Abdul Qodir Al Jailani, yaitu sebuah riwayat cerita teladan sosok ulama bernama Syeikh Abdul Qodir Al Jailani.

Pembacaan Manaqib memang menjadi tradisi yang tumbuh di masyarakat Muslim Jawa. Tujuannya sederhana, mengenalkan keteladanan hidup para ulama sholih. Sedikit-banyak pembacaan Manaqib ini juga menjadi sarana dakwah, mengenalkan nilai-nilai Islam yang telah diteladankan oleh para ulama. Dengan kemasan cerita, maka seakan dakwah disampaikan sebagai cermin bagi ummatnya. Apakah mereka telah berakhlak islami sebagaimana yang telah diteladankan para ulama? Dan secara perlahan, masyarakat itu membenahi akhlaknya menuju akhlak yang islami. Begitu harapannya. Meskipun, tidak sedikit pula kegiatan Manaqib berjalan sekadar tradisi yang tidak mencapai tujuannya. Biasanya karena memaksakan pembacaannya menggunakan bahasa Arab tanpa diterjemahkan dan tanpa penjelasan, akhirnya masyarakat yang menyimaknya pun tidak memahami pesannya. Lebih dari itu, bila masyarakat yang menyimaknya hanya memahami bahwa keberkahan pada pembacaannya, dan melupakan pentingnya pengamalan semua keteladanan yang disajikan dalam Manaqib tersebut.

Ala kulli hal, sebagian proses penyebaran syiar Islam telah berlangsung melalui pembacaan Manaqib. Termasuk dalam kesempatan komunitas pedagang Muslim bersama ustadz Thoyib Zein Arifin, meskipun saat itu hanya dihadiri 12 orang saja, akhirnya berkembang dan menjadi sebuah jama’ah yang bernama Jama’ah Akhlakul Khasanah Jami’iyyah Manaqib Al Jamali. Artinya nama itu adalah warga yang berbudi luhur dalam kumpulan Manaqib dari Jawa, Madura dan Bali.

Jama’ah ini dibentuk untuk mengkoordinir forum menuntut ilmu dan silaturrahim yang akan diadakan setiap bulannya, sebagai follow up dari pertemuan dengan ustadz Thoyib Zein Arifin. Sehingga ustadz Thoyib akan rutin hadir setiap bulannya memimpin kegiatan ini. Adapun acara rutin dalam pertemuan bulanannya adalah membaca Manaqib, surat Yasin dan Tahlil. Secara waktu, jadwal pertemuan diselenggarakan pada malam Jum’at Pon. Secara tempat, bergiliran di rumah-rumah peserta.

Biasanya setelah pembacaan Manaqib, surat Yasin dan Tahlil, jama’ah akan mabit dan mendirikan Shalat Malam (Qiyamul Lail) serta istighosah. Lalu bila esok harinya pada hari Jum’at ada kesenggangan waktu, para jama’ah akan bersilaturrahim ke para ulama di sekitar Denpasar. Tujuannya selain menjalin ukhuwah, juga meminta taujih agama. Tentu kegiatan semacam ini sangat bermanfaat bagi para pedagang tersebut. Bagaimanapun dalam keseharian mereka di pasar, berinteraksi dengan beragam manusia, serta melakukan muamalah bisnis, akan banyak hal yang membuat mereka perlu merujuk pada hukum syariat. Maka, kegiatan bersilaturrahim kepada para ulama ini cukup membantu mereka memecahkan beragam persoalan muamalah mereka secara hukum agama.

Satu hal lagi yang menjadi tradisi baik jama’ah ini adalah iuran setiap kegiatan, setiap orang minimal Rp 1000 (Seribu Rupiah). Nominal itu pada awal tahun 90-an cukup besar nilainya. Dari iuran yang terkumpul itu, digunakan sebagai dana sosial bila ada anggota jama’ah yang membutuhkan. Hingga kini Jama’ah Akhlakul Khasanah Jami’iyyah Manaqib Al Jamali telah menyebar ke banyak tempat di Bali; Klungkung, Karangasem, Singaraja, Jembrana, Tabanan dan Badung di Denpasar. Mempererat ukhuwah di kalangan muslim Jamali (Jawa, Madura, Bali).


Jakarta, 15 Januari 2016

Muhammad Irfan Abdul Aziz
SMART (Studi Masyarakat untuk Reformasi Terpadu)


Tidak ada komentar: