Meskipun ada sebuah hadits Qudsi yang
menyatakan, “Jika
ia berniat melakukan kejahatan lalu dikerjakannya, Allah mencatatnya satu
kejahatan.” Bahkan ada sebuah firman-Nya di al Qur’an yaitu surat Al An’am
ayat 160 yang menyatakan, “dan barangsiapa yang membawa perbuatan jahat maka dia tidak
diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka
sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).” Namun, ada 3 faktor yang menjadikan sebuah Keburukan bisa saja
dikali-lipatkan catatannya.
Apakah hal ini berarti dalil-dalil dalam agama Islam
saling bertentangan? Tidak. Melainkan itu merupakan pengkhususan dari dalil
yang umum. Lalu, apa 3 faktor itu?
Faktor Waktu
Allah subhanahu wata’ala berfirman dalam
surat at Taubah ayat 36, “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah
dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan
bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka
janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah
kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan
ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.”
Dari firman-Nya ini ada pengecualian dari aspek
waktu. Bila suatu keburukan dilakukan di waktu-waktu tertentu, maka nilainya
bisa berkali lipat dari keburukan yang dilakukan di waktu-waktu lainnya. Apa
itu waktu-waktu tertentu? Yaitu sebagaimana yang disebut oleh Allah azza wa
jalla adalah bulan-bulan suci. Yang disebut dengan bulan-bulan suci itu ada
empat: Muharram, Rajab, Dzul Qo’dah dan Dzul Hijjah.
Faktor Tempat
Allah subhanahu wata’ala berfirman dalam surat
al Baqarah ayat 197, “(Musim)
haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya
dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik
dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu
kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan
sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai
orang-orang yang berakal.”
Dari firman-Nya ini ada pengecualian dari aspek
tempat. Bila suatu keburukan dilakukan di tempat-tempat tertentu, maka nilainya
bisa berkali lipat dari keburukan yang dilakukan di tempat-tempat lainnya. Apa
itu tempat-tempat tertentu? Yaitu sebagaimana yang disebut oleh Allah azza
wa jalla dalam firman-Nya ini adalah tempat pelaksanaan Haji. Itulah tanah
suci; Makkah al Mukarramah.
Oleh karenanya, para sahabat memiliki kekhawatiran
bila harus menetap di Makkah. Sehingga seperti Ibnu Abbas, Abdullah bin Amru
bin Ash, Umar bin Abdul Aziz, dan lainnya; lebih memilih keluar Makkah. Karena
dengan kearifan jiwa mereka, ada rasa takut berbuat keburukan di tanah suci.
Bukan mereka tidak cinta tanah suci, namun mereka adalah insan-insan yang
selalu mengkhawatirkan dirinya terjatuh pada keburukan, yang karenanya bila
terjatuh dalam keburukan saat berada di Makkah maka nilainya bisa berkali
lipat. Sehingga Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu pernah berujar, “Melakukan
70 kesalahan di luar Makkah itu lebih baik daripada melakukan 1 kesalahan di
dalam Makkah.”
Abdullah bin Umar saat menafsirkan istilah fasiq
dalam ayat ini mengatakan, bahwa itu adalah kemaksiatan. Dan Mujahid
menambahkan tafsirnya tentang ayat ini, bahwasannya di Makkah itu kebaikan dan
keburukan dikali-lipatkan.
Faktor Pelaku
Allah subhanahu wata’ala berfirman dalam surat
al Ahzab ayat 30-31, “Hai
isteri-isteri Nabi, siapa-siapa di antaramu yang mengerjakan perbuatan keji
yang nyata, niscaya akan di lipat gandakan siksaan kepada mereka dua kali
lipat. Dan adalah yang demikian itu mudah bagi Allah. Dan barang siapa diantara
kamu sekalian (isteri-isteri nabi) tetap taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan
mengerjakan amal yang saleh, niscata Kami memberikan kepadanya pahala dua kali
lipat dan Kami sediakan baginya rezeki yang mulia.”
Dari firman-Nya ini ada pengecualian dari aspek
pelaku. Bila suatu keburukan dilakukan oleh orang-orang tertentu, maka nilainya
bisa berkali lipat dari keburukan yang dilakukan oleh orang-orang lainnya. Apa
itu orang-orang tertentu? Secara tekstual sebagaimana yang disebut oleh Allah azza
wa jalla dalam firman-Nya ini adalah istri-istri Nabi. Namun, secara
hikmahnya bisa berlaku bagi semua orang seiring bertambahnya fasilitas dari Allah
kepadanya; baik itu fasilitas yang terlihat maupun tidak terlihat. Seperti
posisi, keturunan, harta, ilmu dan petunjuk ketakwaan.
Maka kita sering mendapati, bahwasannya menjadi
tradisi seorang Sholih tidak hanya mengindari hal-hal yang haram, namun juga
menghindari hal-hal yang makruh bahkan yang mubah. Sebab bila mubah bagi orang
umum adalah hal yang biasa dibolehkan, namun bagi mereka menjadi hal yang
dibolehkan dan dapat melalaikan. Bila orang umum tersalah tak berimbas bagi
sosial, sementara mereka tersalah akan memiliki dampak bagi sosial. Oleh
karenanya, nilai keburukannya bisa saja berbeda. Wallahu a’lam.
Jakarta, 21 Januari 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar