Minggu, 17 Januari 2016

ISLAM DI BALI: ANTARA ESKADRON SULTAN BAJO DAN PRAJURIT MAJAPAHIT

sumber: tribunnews.com

Bali dikenal dan diperkenalkan sebagai daerah Hindu. Namun sejarah sesungguhnya telah mencatatkan bahwa awalnya tanah ini berpenduduk Animisme, lalu terakulturasi dengan budaya Hindu setelah Patih Gajah Mada menaklukkan pulau Bali pada tahun 1343 M.

Tentu dengan demikian, Hindu berkembang di areal kerajaan-kerajaan yang dipengaruhi kerajaan Majapahit. Sedangkan kerajaan-kerajaan itu sendiri akhirnya juga berinteraksi dengan Islam melalui kaum Muslimin Bugis yang menyelamatkan diri dari kejaran VOC Belanda di Makassar. Bahkan, di antara yang menyebarkan Islam di Bali adalah prajurit Majapahit yang beragama Muslim.

Sehingga beberapa sejarawan mengungkap bahwa Islam telah masuk ke Bali pada abad XVI M. Di antaranya sebagaimana yang pernah dipaparkan oleh Drs. A.A. Wirawan. Dan terkait catatan masuknya Islam di Bali, yang terpenting adalah pada tiga wilayah yaitu Jembrana, Klungkung dan Karangasem.

Jembrana

Berdasarkan pada tulisan-tulisan Arab Melayu milik almarhum Datuk Haji Sirad di kampung Campaka (Loloan Barat), I Wayan Reken mengutarakan bahwa Islam mulai tumbuh di Jembrana sejak masuknya suku Bugis (Makassar) di daerah ini, imbas dari penyerbuan VOC Belanda ke Makassar. Kaum Muslimin yang menyelamatkan diri ke Jembrana ini ada dua gelombang; yang pertama pada tahun 1653 sampai 1655 M dan yang kedua pada tahun 1660 sampai 1661 M.

Kaum Muslimin dari suku Bugis yang merupakan eskadron keturunan Sultan Bajo yang hanya tersisa 4 perahu ini tidak sekadar berhasil lolos dari kejaran VOC Belanda dan bersembunyi di teluk Panggang Blambangan, tetapi mereka akhirnya harus bertahan hidup di Bali. Di antara yang mereka lakukan untuk bertahan hidup adalah berdagang. Dari interaksi perdagangan inilah akhirnya terjalin persahabatan dengan keluarga I Gusti Ngurah Pancoran (Jembrana), bahkan kemudian ada salah satu kerabatnya yang masuk Islam.

Setelah menepi di Air Kuning pada tahun 1653, pimpinan eskadron Bajo yang disapa Daeng Nachoda mengarahkan untuk bergerak ke Kuala Prancak. Kemudian mereka bermukim di sana, hingga kini disebut sebagai Kampung Bajo yang secara teritori masuk Kabupaten Jembrana. Selain nama kampung, hal yang mengabadikan sejarah mereka di daerah ini adalah sumur air tawar di tepi barat Kuala Prancak yang sejak 1669 diberi nama Sumur Bajo.

Perkampungan Bugis ini pernah terkena musibah banjir. Saat itu tahun 1697 M, sungai Ijo Gading meluap hingga melumat kerajaan Blambangan (Jembrana) hingga seluruh penduduknya menjadi korban termasuk Raja I Gusti Ngurah Putu Tapa beserta keluarganya. Sementara Kampung Bajo, meski juga dilanda banjir namun penduduknya dapat selamat.

Adapun yang tersisa dari kerajaan Blambangan hanyalah wakil Raja Blambangan yaitu I Gusti Ngurah Made Yasa beserta istrinya. Keduanya selamat karena sedang di Mengwi untuk mengundang Raja Mengwi dalam upacara pengabenan besar Ngluwur. Bahkan awalnya suami-istri ini tidak mengetahui musibah yang terjadi di Blambangan, hingga sekembalinya dari Mengwi baru mendapati kerajaan Blambangan telah hancur. Keduanya pun kembali ke Mengwi untuk meminta bantuan. Seratus pekerja disiapkan untuk membantu I Gusti Ngurah Made Yasa dan istrinya dalam membangun kembali kerajaan di Jembrana. Selain bantuan pekerja, juga dibekali beberapa perabotan dan kebutuhan pangan. Dalam pembangunan ini, kaum Muslimin dari Kampung Bajo turut membantu.

Akhirnya kembali berdiri kerajaan Blambangan di Jembrana dengan pimpinan I Gusti Ngurah Made Yasa. Namun kemudian diteruskan oleh bungsu dari tiga putra Raja Mengwi, yaitu I Gusti Agung Alit Takmung. Masuknya putra bungsu Raja Mengwi ini atas permohonan I Gusti Ngurah Made Yasa sendiri. Karena ia sadar bahwa putranya yang bernama I Gusti Ngurah Andul tidak mampu memimpin kerajaan dan hanya gemar berburu di hutan. Maka memohonlah I Gusti Ngurah Made Yasa kepada Raja Mengwi, dan diperkenankan membawa putra bungsunya tersebut beserta ibunya yang bernama I Gusti Ayu Ler Pacekan guna mengasuhnya.

Kelak I Gusti Agung Alit Takmung dewasa, segera dinobatkan sebagai Raja di Jembrana dengan gelar Anak Agung Ngurah Jembrana. Raja ini kemudian memiliki dua putra, yaitu I Gusti Agung Lebar Ditama dan I Gusti Lebar Kasud. Pemerintahannya maju di antaranya karena sokongan kaum Muslimin asal Bugis. Sebab di antara mereka ada yang kembali ke Goa untuk menambah perahu-perahu perniagaan. Tentu ini meningkatkan perputaran ekonomi di Jembrana.

Ada dua orang yang cukup dikenal dari kalangan Muslim Bugis ini karena keahlian silatnya dengan tabuhan gendang ala Bugis. Yang pertama adalah Daeng Marema, dan yang kedua adalah Daeng Si Juda. Karena pamor keahlian dua jawara ini, maka rakyat yang beragama Hindu mulai bersimpati menjadi muridnya dan banyak yang masuk Islam.

Bahkan kelak salah satu Wali Pitu di Bali adalah anak dari Raja Mengwi dari ibu Blambangan yang bernama Raden Mas Sepuh alias Mangkuningrat (pernah menjadi Raja Blambangan). Raden Mas Sepuh ini dihukum mati oleh ayahnya sendiri karena perselisihan keluarga. Yang saat vonis mati dijatuhkan pada tahun 1764 M, ia sempat mendapatkan perlindungan dari I Gusti Lebar Kasud (salah satu putra Raja I Gusti Agung Alit Takmung). I Gusti Lebar Kasud ini terhitung sebagai cucu Raja Mengwi (yang memvonis), dan sebagai keponakan Raden Mas Sepuh (yang divonis) dengan beda ibu. Namun, di sinilah akhirnya I Gusti Lebar Kasud juga turut menjadi korban.

Pengaruh Raja Mengwi di kerajaan Blambangan (Jembrana) ini memang semakin kuat. Bahkan Raja Mengwi kemudian bergelar Ida Cokorda Sakti Blambangan. Sementara kerajaan Blambangan sendiri juga memiliki silsilah dengan Kedaton Girilayah (Gresik). Adalah Sunan Giri (salah satu Wali Songo) merupakan putra Dewi Sekardadu yang merupakan putri salah satu Raja Kerajaan Blambangan yaitu Prabu Minak Sembuyu. Sunan Giri sendiri memiliki nama Raden Joko Samudra, dan bernama alias Ainul Yakin.

Klungkung

Saat agama Islam masuk ke Bali pada abad XVI M, pusat kerajaan Bali berada di Gelgel yang merupakan kabupaten Klungkung. Pada masa Dalem Watu Renggong, wilayah kekuasaannya meliputi Bali, Lombok, Sumbawa, Blambangan dan sebagian Jawa Timur.

Suatu ketika terjadi gejolak di kawasan ini. Di antaranya adalah perebutan wilayah Lombok dan Sumbawa antara kerajaan Mataram (Jawa Tengah) dan Blambangan dengan kerajaan Goa (Sulawesi), yang akhirnya mereda saat pusat kerajaan Bali di Gelgel melemah.

Dalem Ketut Ngelesir sebagai Raja Gelgel I (1380 – 1460) sesungguhnya adalah peletak dasar Kerajaan Gelgel yang saat itu masih di bawah Kerajaan Majapahit. Suatu ketika pada abad XIV M turut menghadiri Pertemuan Agung Kerajaan Massal seluruh Nusantara yang digelar Raja Hayam Wuruk di Keraton Majapahit. Sekembalinya dari pertemuan ini, Raja Gelgel tersebut diberikan pengawalan 40 orang yang notabenenya adalah prajurit Muslim. Di antara 40 prajurit Muslim itu ada dua orang yang dikenali bernama Raden Modin dan Kyai Jalil. Empat puluh prajurit inilah yang akhirnya mengenalkan Islam ke masyarakat di Kerajaan Gelgel (Klungkung).

Karangasem

Raden Modin dan Kyai Jalil yang termasuk dari 40 prajurit Muslim pengawal Dalem Ketut Ngelesir (Raja Gelgel I) sepulang dari pertemuan Agung Kerajaan se-Nusantara di Kraton Majapahit kemudian keluar dari Gelgel dan berjalan ke arah timur hingga sampai di Banjar Lebah. Di tempat inilah keduanya berpisah, Raden Modin menetap (di Banjar Lebah) sementara Kyai Jalil terus melanjutkan perjalanan ke arah timur sampai perbukitan Kemutuk.

Di perbukitan ini Kyai Jalil bertemu dengan kumpulan warga yang sedang panik karena amukan banteng buas. Kyai Jalil akhirnya terlibat membantu warga menangani amukan banteng itu hingga dapat dibunuh. Bangkai banteng itu lalu dikuliti, yang mana kulitnya digunakan untuk membuat beduk dan sebagiannya untuk alas menjemur padi. Di tempat inilah, desa Saren Utara yang merupakan kabupaten Karangasem, Kyai Jalil akhirnya menetap. Desa ini kini dikenal sebagai desa Saren Jawa.

Keberadaan Kyai Jalil di desa ini memiliki peran dalam perkembangan Islam di wilayah Karangasem. Sayangnya, peninggalan beliau berupa al Qur’an tua, beduk dan alas penjemur padi yang berasal dari kulit banteng itu telah rusak.

Kesimpulan

Demikianlah Islam masuk ke Bali. Dua abad setelah terakulturasinya budaya Hindu di masyarakat Bali yang Animisme. Sehingga, usia Hindu dan Islam di Bali hanya berselisih dua abad.

Dari penjabaran masuknya Islam di tiga wilayah tersebut, dapat kita buat kesimpulan. Bahwa yang mengenalkan Islam ke daerah Jembrana adalah Muslimin asal Bugis yang menyelamatkan diri dari kejaran VOC Belanda di Makassar, tidak ada data jumlah mereka, namun data yang ada bahwa mereka adalah penumpang empat kapal yang tersisa. Sementara yang mengenalkan Islam ke daerah Klungkung adalah 40 personel prajurit Majapahit yang diberikan untuk mengawal Raja Gelgel I. Adapun yang mengenalkan Islam di daerah Karangasem adalah Kyai Jalil, salah satu dari 40 personil prajurit Majapahit yang dikirim ke Gelgel. Wallahu a’lam.


Depok, 17 Januari 2016

Muhammad Irfan Abdul Aziz
SMART (Studi Masyarakat untuk Reformasi Terpadu)

Tidak ada komentar: