sumber: tribunnews.com |
Bali dikenal dan diperkenalkan sebagai daerah
Hindu. Namun sejarah sesungguhnya telah mencatatkan bahwa awalnya tanah ini
berpenduduk Animisme, lalu terakulturasi dengan budaya Hindu setelah Patih
Gajah Mada menaklukkan pulau Bali pada tahun 1343 M.
Tentu dengan demikian, Hindu berkembang di areal
kerajaan-kerajaan yang dipengaruhi kerajaan Majapahit. Sedangkan
kerajaan-kerajaan itu sendiri akhirnya juga berinteraksi dengan Islam melalui
kaum Muslimin Bugis yang menyelamatkan diri dari kejaran VOC Belanda di
Makassar. Bahkan, di antara yang menyebarkan Islam di Bali adalah prajurit Majapahit yang beragama Muslim.
Sehingga beberapa sejarawan mengungkap bahwa Islam
telah masuk ke Bali pada abad XVI M. Di antaranya sebagaimana yang pernah
dipaparkan oleh Drs. A.A. Wirawan. Dan terkait catatan masuknya Islam di Bali,
yang terpenting adalah pada tiga wilayah yaitu Jembrana, Klungkung dan
Karangasem.
Jembrana
Berdasarkan pada tulisan-tulisan
Arab Melayu milik almarhum Datuk Haji Sirad di kampung Campaka (Loloan Barat),
I Wayan Reken mengutarakan bahwa Islam mulai tumbuh di Jembrana sejak masuknya
suku Bugis (Makassar) di daerah ini, imbas dari penyerbuan VOC Belanda ke
Makassar. Kaum Muslimin yang menyelamatkan diri ke Jembrana ini ada dua
gelombang; yang pertama pada tahun 1653 sampai 1655 M dan yang kedua pada tahun
1660 sampai 1661 M.
Kaum Muslimin dari suku Bugis yang merupakan
eskadron keturunan Sultan Bajo yang hanya tersisa 4 perahu ini tidak sekadar
berhasil lolos dari kejaran VOC Belanda dan bersembunyi di teluk Panggang
Blambangan, tetapi mereka akhirnya harus bertahan hidup di Bali. Di antara yang
mereka lakukan untuk bertahan hidup adalah berdagang. Dari interaksi
perdagangan inilah akhirnya terjalin persahabatan dengan keluarga I Gusti
Ngurah Pancoran (Jembrana), bahkan kemudian ada salah satu kerabatnya yang
masuk Islam.
Setelah menepi di Air Kuning pada tahun 1653, pimpinan
eskadron Bajo yang disapa Daeng Nachoda mengarahkan untuk bergerak ke Kuala Prancak.
Kemudian mereka bermukim di sana, hingga kini disebut sebagai Kampung Bajo yang
secara teritori masuk Kabupaten Jembrana. Selain nama kampung, hal yang
mengabadikan sejarah mereka di daerah ini adalah sumur air tawar di tepi barat
Kuala Prancak yang sejak 1669 diberi nama Sumur Bajo.
Perkampungan Bugis ini pernah terkena musibah
banjir. Saat itu tahun 1697 M, sungai Ijo Gading meluap hingga melumat kerajaan
Blambangan (Jembrana) hingga seluruh penduduknya menjadi korban termasuk Raja I
Gusti Ngurah Putu Tapa beserta keluarganya. Sementara Kampung Bajo, meski
juga dilanda banjir namun penduduknya dapat selamat.
Adapun yang tersisa dari kerajaan Blambangan
hanyalah wakil Raja Blambangan yaitu I Gusti Ngurah Made Yasa beserta istrinya.
Keduanya selamat karena sedang di Mengwi untuk mengundang Raja Mengwi dalam
upacara pengabenan besar Ngluwur. Bahkan awalnya suami-istri ini tidak
mengetahui musibah yang terjadi di Blambangan, hingga sekembalinya dari Mengwi
baru mendapati kerajaan Blambangan telah hancur. Keduanya pun kembali ke Mengwi
untuk meminta bantuan. Seratus pekerja disiapkan untuk membantu I Gusti Ngurah
Made Yasa dan istrinya dalam membangun kembali kerajaan di Jembrana. Selain
bantuan pekerja, juga dibekali beberapa perabotan dan kebutuhan pangan. Dalam
pembangunan ini, kaum Muslimin dari Kampung Bajo turut membantu.
Akhirnya kembali berdiri kerajaan Blambangan di
Jembrana dengan pimpinan I Gusti Ngurah Made Yasa. Namun kemudian diteruskan
oleh bungsu dari tiga putra Raja Mengwi, yaitu I Gusti Agung Alit Takmung.
Masuknya putra bungsu Raja Mengwi ini atas permohonan I Gusti Ngurah Made Yasa
sendiri. Karena ia sadar bahwa putranya yang bernama I Gusti Ngurah Andul tidak
mampu memimpin kerajaan dan hanya gemar berburu di hutan. Maka memohonlah I
Gusti Ngurah Made Yasa kepada Raja Mengwi, dan diperkenankan membawa putra
bungsunya tersebut beserta ibunya yang bernama I Gusti Ayu Ler Pacekan guna
mengasuhnya.
Kelak I Gusti Agung Alit Takmung dewasa, segera
dinobatkan sebagai Raja di Jembrana dengan gelar Anak Agung Ngurah Jembrana. Raja
ini kemudian memiliki dua putra, yaitu I Gusti Agung Lebar Ditama dan I Gusti
Lebar Kasud. Pemerintahannya
maju di antaranya karena sokongan kaum Muslimin asal Bugis. Sebab di antara
mereka ada yang kembali ke Goa untuk menambah perahu-perahu perniagaan. Tentu
ini meningkatkan perputaran ekonomi di Jembrana.
Ada dua orang yang cukup dikenal dari kalangan
Muslim Bugis ini karena keahlian silatnya dengan tabuhan gendang ala Bugis.
Yang pertama adalah Daeng Marema, dan yang kedua adalah Daeng Si Juda. Karena
pamor keahlian dua jawara ini, maka rakyat yang beragama Hindu mulai bersimpati
menjadi muridnya dan banyak yang masuk Islam.
Bahkan kelak salah satu Wali Pitu di Bali adalah
anak dari Raja Mengwi dari ibu Blambangan yang bernama Raden Mas Sepuh alias
Mangkuningrat (pernah menjadi Raja Blambangan). Raden Mas Sepuh ini dihukum
mati oleh ayahnya sendiri karena perselisihan keluarga. Yang saat vonis mati
dijatuhkan pada tahun 1764 M, ia sempat mendapatkan perlindungan dari I Gusti
Lebar Kasud (salah satu putra Raja I Gusti Agung Alit Takmung). I Gusti Lebar
Kasud ini terhitung sebagai cucu Raja Mengwi (yang memvonis), dan sebagai
keponakan Raden Mas Sepuh (yang divonis) dengan beda ibu. Namun, di sinilah
akhirnya I Gusti Lebar Kasud juga turut menjadi korban.
Pengaruh Raja Mengwi di kerajaan Blambangan
(Jembrana) ini memang semakin kuat. Bahkan Raja Mengwi kemudian bergelar Ida Cokorda Sakti Blambangan. Sementara
kerajaan Blambangan sendiri juga memiliki silsilah dengan Kedaton Girilayah
(Gresik). Adalah Sunan Giri (salah satu Wali Songo) merupakan putra Dewi
Sekardadu yang merupakan putri salah satu Raja Kerajaan Blambangan yaitu Prabu
Minak Sembuyu. Sunan Giri sendiri memiliki nama Raden Joko Samudra, dan bernama
alias Ainul Yakin.
Klungkung
Saat agama Islam masuk ke Bali pada abad XVI M,
pusat kerajaan Bali berada di Gelgel yang merupakan kabupaten Klungkung. Pada
masa Dalem Watu Renggong, wilayah kekuasaannya meliputi Bali, Lombok, Sumbawa, Blambangan
dan sebagian Jawa Timur.
Suatu ketika terjadi gejolak di
kawasan ini. Di antaranya adalah perebutan wilayah Lombok dan Sumbawa antara
kerajaan Mataram (Jawa Tengah) dan Blambangan dengan kerajaan Goa (Sulawesi),
yang akhirnya mereda saat pusat kerajaan Bali di Gelgel melemah.
Dalem Ketut Ngelesir sebagai Raja
Gelgel I (1380 – 1460) sesungguhnya adalah peletak dasar Kerajaan Gelgel yang
saat itu masih di bawah Kerajaan Majapahit. Suatu ketika pada abad XIV M turut
menghadiri Pertemuan Agung Kerajaan Massal seluruh Nusantara yang digelar Raja
Hayam Wuruk di Keraton Majapahit. Sekembalinya dari pertemuan ini, Raja Gelgel
tersebut diberikan pengawalan 40 orang yang notabenenya adalah prajurit Muslim.
Di antara 40 prajurit Muslim itu ada dua orang yang dikenali bernama Raden
Modin dan Kyai Jalil. Empat puluh prajurit inilah yang akhirnya mengenalkan
Islam ke masyarakat di Kerajaan Gelgel (Klungkung).
Karangasem
Raden Modin dan Kyai Jalil yang
termasuk dari 40 prajurit Muslim pengawal Dalem Ketut Ngelesir (Raja Gelgel I)
sepulang dari pertemuan Agung Kerajaan se-Nusantara di Kraton Majapahit
kemudian keluar dari Gelgel dan berjalan ke arah timur hingga sampai di Banjar
Lebah. Di tempat inilah keduanya berpisah, Raden Modin menetap (di Banjar
Lebah) sementara Kyai Jalil terus melanjutkan perjalanan ke arah timur sampai
perbukitan Kemutuk.
Di perbukitan ini Kyai Jalil bertemu
dengan kumpulan warga yang sedang panik karena amukan banteng buas. Kyai Jalil
akhirnya terlibat membantu warga menangani amukan banteng itu hingga dapat
dibunuh. Bangkai banteng itu lalu dikuliti, yang mana kulitnya digunakan untuk
membuat beduk dan sebagiannya untuk alas menjemur padi. Di tempat inilah, desa
Saren Utara yang merupakan kabupaten Karangasem, Kyai Jalil akhirnya menetap.
Desa ini kini dikenal sebagai desa Saren Jawa.
Keberadaan Kyai Jalil di desa ini memiliki peran
dalam perkembangan Islam di wilayah Karangasem. Sayangnya, peninggalan beliau
berupa al Qur’an tua, beduk dan alas penjemur padi yang berasal dari kulit
banteng itu telah rusak.
Kesimpulan
Demikianlah Islam masuk ke Bali. Dua abad setelah
terakulturasinya budaya Hindu di masyarakat Bali yang Animisme. Sehingga, usia
Hindu dan Islam di Bali hanya berselisih dua abad.
Dari penjabaran masuknya Islam di tiga wilayah tersebut,
dapat kita buat kesimpulan. Bahwa yang mengenalkan Islam ke daerah Jembrana
adalah Muslimin asal Bugis yang menyelamatkan diri dari kejaran VOC Belanda di
Makassar, tidak ada data jumlah mereka, namun data yang ada bahwa mereka adalah
penumpang empat kapal yang tersisa. Sementara yang mengenalkan Islam ke daerah
Klungkung adalah 40 personel prajurit Majapahit yang diberikan untuk mengawal
Raja Gelgel I. Adapun yang mengenalkan Islam di daerah Karangasem adalah Kyai
Jalil, salah satu dari 40 personil prajurit Majapahit yang dikirim ke Gelgel.
Wallahu a’lam.
Depok, 17 Januari 2016
Muhammad Irfan Abdul Aziz
SMART (Studi Masyarakat untuk Reformasi
Terpadu)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar