Awal tahun ini kita dihenyakkan oleh
kampanye LGBT, bahkan di sebuah kampus negeri terbesar negeri ini; Universitas
Indonesia. Kampus yang
identik dengan kalangan intelektual, mesti terbenturkan dengan ketidak-rasionalan. Bagaimana
sesama jenis menikah, sedangkan mereka sendiri tidak lahir kecuali dari
sepasang ayah dan ibu. Lalu teori biologi apa lagi yang akan dimanipulasi?
Baik. Katakan, mereka yang terkategori LGBT karena
terindikasi LGBT itu adalah bawaan lahir. Maka, bukan karena dalih
‘bawaah lahir’ itu kemudian kita menganggap ini sesuatu yang cukup dihargai
tanpa perlu diterapi. Bukankah anak-anak yang terlahir dengan keterbelakangan
mental pun tetap ada usaha terapi atasnya. Sebab meski itu dianggap ‘bawaan
lahir’ namun tetap dikategorikan sebagai penyakit yang menyelisihi kewajaran.
Maka, sikap kita terhadap para LGBT yang berdalih ‘bawaan
lahir’ hendaknya tidak sekadar menghargai, namun juga memberikan pendampingan
terapi. Sebab, bila dihargai tanpa terapi, bahkan di-support, maka hanya
akan menumbuh-kembangkan penyakit sosial. Dan itulah wabah, ia menular bila lingkungannya
tidak memiliki imun dan penderitanya tidak segera diterapi.
Nah, para musuh Islam sesungguhnya memahami problem
penyimpangan orientasi seks ini sebagai wabah sosial. Sehingga dengan
memahaminya sebagai wabah, maka sengaja dikembang-biakkan di masyarakat. Targetnya
adalah merusak tatanan masyarakat, yang basisnya adalah tatanan keluarga. Bagaimana
tatanan keluarga tidak rusak, bila terjadi penyimpangan orientasi seksual yang
mengakibatkan terputusnya mata rantai keturunan.
Sebenarnya LGBT merupakan rangkaian panjang proses merusak
tatanan keluarga Muslim. Setelah dilakukan perusakan hubungan laki-laki dan
perempuan melalui seks bebas dan sebagainya, kini masuk pada kampanye
penyimpangan orientasi seks. Maka tidak hanya rusak moral, namun rusak pula
keturunannya.
Pada 5 sampai 15 September 1994, Konferensi
Internasional tentang Kependudukan dan Pembangunan di gelar di Kairo. Tujuannya
sederhana; memerangi keluarga Muslim melalui agenda peralihan dari ‘Seks Legal’
menjadi ‘Seks Aman’. Sehingga orientasinya bukan hubungan yang sah, melainkan
yang penting aman meskipun tidak sah. Bahkan secara tidak langsung proses
menuju sah itu sengaja dihambat demi ‘mencoba’ sesuatu yang disebut aman itu.
“Pemerintah agar menaikkan usia minimum
perkawinan karena hal itu dianggap sangat penting. Apalagi dengan memberikan
alternatif yang bisa menyebabkan tidak adanya pernikahan dini.” Begitu
bunyi pesan tak langsungnya.
Sejak massifnya pergerakan merusak keluarga Muslim inilah, kemudian tiga tahun berikutnya Dewan Pendiri Muslim Council mengadakan pertemuan
yang ke-19 di Kairo, tepatnya pada 6 September 2007. Pertemuan inilah yang melahirkan Piagam Keluarga, sebagai sarana imunisasi dalam menjaga
ketahanan keluarga Muslim. Sebab untuk menghadapi wabah yang digulirkan musuh, selain perlu terapi bila wabah itu telah menjangkiti, juga perlu imunisasi
sebelum wabah itu menjangkiti.
Alhamdulillah Piagam Keluarga ini telah diterjemahkan
dalam bahasa Indonesia. Semoga setiap kita yang ada di Indonesia bisa
menelaahnya, sebagai imunitas bagi diri dan keluarga kita. Sebelum wabah itu
semakin merebak dan menjangkiti lingkungan kita. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar