sumber: metal-archives.com |
Ingin terkesan Heroik, itulah tantangannya.
Perjuangan ini memang pedih, dan ‘terkesan heroik’ dianggap dapat menjadi obat
bagi kepedihan itu. Tetapi, justru itulah tantangannya. Kenapa?
Kita dapat mencermatinya dalam perjalanan
dakwah, yang akhirnya membuat para da’inya ditangkap dan dibunuh. Penyiksaan
itu memang sebuah konsekuensi dakwah, yang juga telah dialami oleh para nabi. Tetapi,
ada penyiksaan yang bertambah dikarenakan adanya stimulus yang memancing musuh bersemangat
menyiksa. Di antaranya adalah saat mulanya dakwah dibangun dari semangat
berislam dan anti penjajahan, menjadi gerakan yang menentang kekuasaan status
quo di sektor apapun. Menentang kekuasaan status quo itu tidaklah salah, namun
cenderung menentang itulah yang sedikit-banyak menjadikan kerja-kerja dakwah cenderung
berpola revolutif. Naifnya, terkadang penentangan itu dilakukan agar terkesan heroik.
Maka ketika Syeikh Ismail Hasan Hudaybi –seorang
pemimpin dakwah di Mesir- menolak petisi sebagian aktivis dakwah untuk
mengkafirkan rezim, sontak banyak yang menilai beliau lemah dan tunduk terhadap
kezaliman. Memang tidak mudah memilih bersabar saat kondisi lingkungan
(politik) sama sekali tidak menguntungkan. Apalagi mengingat sebagian kalangan
aktivis sedang bersemangat berjihad (di Afghanistan) dan menggelorakan revolusi
(di Suriah).
Tetapi penolakan Syeikh Ismail Hasan Hudaybi
itu bukan sekadar penolakan yang keluar dari seorang teoritikus, melainkan itu
adalah penolakan dari seorang praktisi sekaligus. Bahkan itu adalah hikmah yang
sempat ia resapi dari pernyataan pendahulunya Syeikh Hasan Al Banna pada Mu’tamar
Khamis, “Adapun revolusi, Ikhwanul Muslimin tidak pernah berpikir
tentangnya, tidak menggunakannya dan tidak yakin dengan manfaat serta hasilnya.”
Penolakan dan alasan Syeikh Ismail Hasan
Hudaybi awalnya memang tidak mudah diterima. Padahal saat ia menyatakan
penolakannya itu di tahun 1960-an, ia masih di dalam penjara dengan beragam
penyiksaan yang dialaminya. Kurang percaya apa mereka pada kejujuran mata
batinnya? Seorang yang disiksa, justru memilih bersabar untuk pertimbangan
maslahat yang lebih besar. Maka, sepuluh tahun kemudian apa yang beliau
sampaikan baru dipahami dan diterima, hingga sepuluh tahun berikutnya apa yang
dinyatakannya menjadi sikap resmi organisasi yang ia berada di dalamnya. Menurut
para pengamat, hal itu akhirnya diterima karena orang melihat bahwa Syeikh
Ismail Hasan Hudaybi tidak hanya berteori saja, melainkan ia sendiri bergelut
dengan kondisi yang diteorikan itu. Itulah akhlaknya, sehingga orang percaya.
Setidaknya ada tiga hal yang biasanya digunakan
untuk mengesankan kerja yang Heroik:
Pertama; Komando Mobilisasi. Dalam perjuangan, bila berjuang sendirian
memang tidak asik. Tapi berjuang bersama tanpa gaung yang menggema-gema juga
dirasa kurang asik. Maka sering kali untuk menambah nuansa asik dalam
perjuangan, dimunculkan komando mobilisasi. Komando bisa berarti intruksi,
ajakan, dan arahan. Mobilisasi bisa berarti peralihan massa dari suatu tempat
ke tempat lainnya dengan intruksi, ajakan, maupun arahan tersebut.
Sesungguhnya tidak ada yang salah dengan Komando Mobilisasi. Namun tidak
segala Komando Mobilisasi itu baik. Apalagi bila Komando Mobilisasi hanya agar
terkesan heroik, ingin menunjukkan adanya perjuangan dan dukungan yang besar. Adapun
komando yang hanya ingin terkesan heroik, biasanya tak diawali dengan penataan
yang baik di lapangan. Sedangkan dakwah hendaknya lebih mementingkan penataan,
demi terjaminnya transformasi yang berkesinambungan.
Kedua; Berhadap-hadapan dengan Kompetitor. Langsung berhadapan dengan
kompetitor memang mencerminkan keberanian, dan dirasa gagah. Tapi, ini pula
tantangan bagi kita. Bila hanya ingin terkesan heroik, maka berhadap-hadapan
langsung dengan kompetitor biasanya karena kenekatan atau egoisme. Ia
memandang, bahwa perjuangan ini kurang heroik kalau tidak langsung bertemu
kompetitor. Bahkan bila tidak ada kompetitor, maka dicari-carilah kompetitor
untuk menambah nuansa heroik dalam perjuangan. Atau, ia memandang, dirinya
mampu berhadapan langsung dengan kompetitor tanpa peduli kemampuan rekan
seperjuangannya.
Sesungguhnya tidak salah berhadap-hadapan dengan komtetitor. Bahkan dalam
jihad, kita dilarang berbalik ke belakang. Tapi, bila mampu menaklukkan tanpa
berhadapan dengan kompetitor bisa dilakukan, maka tentu tidak perlu berhadapan
langsung dengan kompetitor. Memang saat tidak berhadapan dengan kompetitor,
perjuangan kita terasa sunyi. Tapi, toh perjuangan ini tidak untuk mencari
gemuruh tepuk tangan. Yang terpenting dari perjuangan ini adalah kezaliman
ditaklukan, walaupun itu dengan kerja-kerja sunyi yang tak terkesan heroik.
Ketiga; Revolusioner. Mengganti serta-merta itu memang paling nikmat, sebab
hemat energi dan waktu. Tadinya adalah sesuatu yang tidak kita sukai, lalu kita
ganti semuanya dengan sesuatu yang kita sukai; maka itulah kenikmatan. Bukankah
simplikasi semacam ini yang kini sedang digandrungi? Tetapi, bila revolusioner
digulirkan demi mencapai kesan heroik, maka akan lain hal. Sebab, dalam
revolusioner kepahlawan cenderung mengkristal pada sesosok maupun sekelompok
orang, sehingga sangat familiar dalam sejarah istilah pahlawan revolusi. Tapi,
dakwah sejak awal sangat menekankan kehidupan berjamaah dan menghindari
pengkultusan individu. Oleh karenanya, itulah godaannya.
Sesungguhnya, bukan salah pahlawan revolusi, sebab ia hanyalah aktor yang
ditakdirkan mengambil peran dalam guliran sejarah revolusi yang bukan atas
kehendaknya. Namun, menjadi salah bila revolusi menjadi dambaan demi sebuah
hendak diri agar terkesan heroik. Adapun dakwah, sejak awal tidak menghendaki
revolusi. Karena dakwah ini dibangun untuk melakukan perubahan yang bertahap,
yang bersandar kepada argumentasi, penjelasan, dan bukti kebenaran. Inilah yang
diistilahkan oleh seorang da’i dengan pernyataannya, “Kita lebih baik karena
melakukan konfrontasi intelektual daripada konfrontasi keamanan, seperti yang
dilakukan pemerintah dalam menghadapi ekstrimisme dan fanatisme.”
#SerialDakwahKultural _ 31 Januari 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar