sumber: viva.co.id |
Ledakan baru saja terjadi kembali di Jakarta, 14 Januari 2016. Di beberapa titik.
Ditingkahi dengan kabar-kabar mencekam lainnya. Siapa pelakunya? Mungkin itu
pertanyaan yang segera berloncatan dari setiap lisan kita. Bemacam spekulasi
pun berseliweran. Riuh. Ada geli, tapi tetap dalam ketakutan.
Saya hanya membayangkan, bila ledakan semacam ini suatu saat nanti
terjadi dalam jumlah yang sangat massif sehingga melumpuhkan seluruh persendian
kehidupan kita. Kira-kira sesiap apakah ummat ini dalam menghadapinya? Apakah ummat
seluruhnya otomatis akan menjadi imbas korbannya? Ataukah ummat akan saling tikam
dengan sendirinya?
Sebab, kita masih bersyukur, ledakan yang sudah terjadi berkali-kali hingga
saat ini masih hanya sebatas zona-zona tertentu. Durasinya pun hanya sesaat. Lalu
pengamanan juga masih dapat dilakukan. Tapi, bukankah tetap mungkin, suatu saat
nanti kita menghadapi suatu kondisi hingga Chaos. Mungkin atau tidaknya tentu
hanya akan sampai pada taraf pra-duga. Akan tetapi, bersiap diri menghadapi
kondisi seperti itu tentu tetap diperlukan. Karena kita adalah ummat yang
selalu berangkat dengan kesadaran; itu artinya ada kepahaman dan persiapan
sedini mungkin.
Dalam kondisi gejolak, memang sulit kita untuk membuat penilaian
final. Apalagi bila sumber sudah semakin absurd, maka yang ada hanya
analisa-analisa. Oleh karena itu, hendaknya ummat memang tidak terlalu menyibukkan diri
pada penilaian sebuah peristiwa. Ada hal yang jauh lebih diperlukan oleh ummat,
yaitu menyelamatkan sikap diri.
Karena itulah target dari gejolak. Setiap yang berada di sekitarnya
kehilangan pegangan, yang karenanya tak punya sikap diri. Termasuk di dalamnya
adalah ummat. Dan bila ummat tidak punya lagi sikap diri, maka apa yang bisa
dilakukan olehnya? Hanya kebimbangan, kegalauan, dan ketidak-jelasan yang
membuat ummat menjadi objek yang terimbas dari setiap peristiwa di dunia ini.
Setidaknya ada tiga hal yang harus dijaga untuk keteguhan sikap ummat.
Tiga hal ini jangan sampai hilang. Sebab inilah yang akan menentukan ke mana
ummat menuju dan apa yang akan dilakukan oleh ummat. Tetap bergerak, itulah
esensi kehidupan. Bila sudah tidak punya arah, lalu tak mampu bergerak,
masihkan dikatakan hidup?
Pertama; tetap
ingat dan fokus dengan problem utama Al Aqsha.
Gejolak hadir, langsung ataupun tidak langsung akan berimbas pada
pengaburan orientasi ummat. Dan kita tahu, bahwa orientasi perjuangan ummat
saat ini adalah menyelesaikan permasalahan utama, yaitu kemerdekaan Al Aqsha
dan tanah Palestina. Sebagai wakaf yang harus kita jaga.
Kenapa tanah ini terus bergejolak? Sebab tanah ini memiliki nilai bagi
semua ummat di dunia. Maka semua ummat, utamanya dari penganut agama-agama
samawi, akan menuju ke tempat ini. Hal inilah yang menjadikan tempat ini selalu
diliputi gejolak tak berkesudahan. Tapi, apa yang terjadi di Palestina juga akan berimbas
pada kondisi di seluruh belahan dunia. Sebab Al Aqsha dan Palestina adalah
perjuangan seluruh ummat Islam di manapun berada.
Hal ini disadari oleh banyak pihak, terutama kaum zionis yang
sesungguhnya semakin cemas menghadapi kegagalan mereka dalam merebut tanah
Palestina. Sehingga, yang perlu dilakukan adalah melemahkan semangat ummat
Islam di penjuru dunia. Di antara langkah efektif melemahkan semangat adalah
dengan mengaburkan orientasi. Maka, gejolak-gejolak yang muncul baik by design
maupun yang alami, rawan dimanfaatkan untuk mengalihkan orientasi ummat.
Sehingga tidak fokus, lalu melemah.
Kedua;
bersikap tenang dan taat pada hukum konstitusi.
Setelah kita menjaga fokus perjuangan pembebasan al Aqsha yang kita
yakini sebagai kunci perdamaian dunia, maka selanjutnya kita harus tetap
bersikap tenang dan taat pada hukum konstitusi. Karena dalam kondisi sesulit
apapun, ummat tetap harus tampil sebagai penjaga komitmen sosial. Dan komitmen
sosial yang utama adalah terkait hukum konstitusi. Apapun bentuk konstitusi
itu. Sebab kita hidup bersosial, maka dalam kehidupan ini selalu diperlukan
aturan yang menertibkan tata sosial kita. Bentuk peraturan itu bila dalam
tatanan bernegara dapat berupa konstitusi.
Di sini kita mungkin sesekali mengabaikan perhitungan untung
rugi dalam kehidupan dunia. Terkadang ada tuduhan yang semena-mena, maka ikuti saja alur hukumnya.
Bagaimanapun, menjaga wibawa hukum jauh lebih menyelamatkan ummat. Dan
yakinlah, mereka yang membenci kebenaran sesungguhnya bukan merupakan orang
yang mencintai keteraturan. Jangan pernah tertipu akan tampilan seakan-akan
mereka yang memihak hukum, sebab pada titik tertentu mereka akan terlepas dari
pakem hukum. Sebab kebatilan tidak pernah selaras dengan keteraturan. Di
situlah hukum dengan sendirinya akan melumat mereka, bahkan menjadi bumerang bagi mereka.
Mungkin kita akan menyanggah, bagaimana kita bisa taat pada hukum yang
tidak adil, yang menuduhkan sekehendak pesanan? Tidakkah kita lupa, bahwa
ukuran keberuntungan tidak hanya pada kemenangan di mata hukum dalam kehidupan
ini. Sebab, bilapun kita terzalimi oleh hukum, maka balasan akhirat tetap akan
diberikan bagi mereka yang beriman dan bertaqwa. Lagi pula, kebatilan memang
akan terus berusaha membuat makar agar kebenaran tidak selaras dengan hukum. Sehingga mereka
dengan mudah melumat kebenaran dengan mengatas-namakan hukum.
Bersikap tenang di sini tidak turut membuat riuh suasana. Biarkan suasana itu mengalir begitu saja, sehingga sunyi sendiri. Percayalah, kerugian selalu lebih banyak terjadi saat kondisi gaduh daripada dalam kondisi tenang. Maka jangan sampai, justru ummat yang aktif semakin memperbesar gejolak dari sebuah peristiwa ledakan.
Ketiga,
berpegang pada koordinasi ummat.
Selanjutnya, mau tidak mau ummat memang harus menegaskan sikapnya di
ruang publik. Dalam menegaskan sikapnya, ummat harus terus berpegang pada
koordinasi ummat. Rapatkan barisan, galang silaturrahim antar komunitas ummat.
Agar informasi yang dimiliki masing-masing bisa disinkronkan. Semoga dengan
demikian kita tidak mengeluarkan sikap yang kontra produktif bagi ummat.
Jangan
sampai setiap komponen ummat justru terjebak dimanfaatkan asing untuk saling
menikam. Musuh kebenaran tentu tidak mau juga semua darah terlumurkan di tangan
mereka. Tentu mereka juga ingin ada tangan lain yang ikut terpapar darah
kemanusiaan. Yang dengan begitulah, sehingga tidak ada lagi yang dapat menjadi
pembela kemanusiaan, sebab semua memiliki noda kemanusiaan. Itu harapannya.
Epilog
Semoga dengan menjaga tiga sikap ini, ummat dapat terselamatkan dari
kerja dan sikap yang kontra produktif. Tetap jaga fokus perjuangan pembebasan
Al Aqsha dan Palestina, tetap tenang dan taat pada hukum konstitusi, serta
tetap berkoordinasi dengan segenap komponen ummat. Dalam tiga sikap itu akan tampil kewibaan yang tetap menggetarkan. Maka luruh sudah rencana melumpuhkan
ummat; sebab ummat tetap fokus pada orientasi, tetap tenang, dan tetap bersatu.
Itulah tiga esensi hidup. Sebab hidup itu gerak; dan gerak hanya dapat
dilakukan secara maksimal bila kita tetap punya orientasi, tetap tenang dan
tetap bersatu. Wallahu a'lam.
Jakarta, 14 Januari 2016
Irfan Azizi
2 komentar:
Kira-kira sesiap apakah ummat ini dalam menghadapinya?
Pertanyaannya membuat saya bergetar hebat. Membayangkan semuanya terjadi. Saya? Punya apa? tidak punya kesiapan apa pun.
Terima kasih sudah memberikan pencerahan lewat tulisan ini.
Sama2, mbak Ella... Terima kasih sdh berkunjung.
Memang dlm kondisi kalut hampir2 kita tdk bisa berpikir dan tdk berdaya apa2. Kecuali kita sdh membiasakan diri berpikir dan mengeksplorasi daya. Latihan itu perlu kita biasakan sedini mungkin. Sebab kita tidak tahu, apa yg akan terjadi esok.
Posting Komentar