Museum Bank
Mandiri – Ahad, 7 Agustus 2016. Dialog seru kembali dihelat dalam rangkaian
acara Pameran Foto dan Gebyar Komunitas merayakan 80 tahun Habibie yang
mengusung tema “Cinta Sang Inspirator Bangsa kepada Negeri”. Kali ini
menghadirkan anak-anak intelektual Habibie pada sesi kedua yang mengulas “Peran
Habibie dalam Membangun SDM Bangsa.” Di sesi setelah makan siang itu hadir Dr.
Ir. Wendy Aritenang, M.Sc. (Staff Ahli Kementerian Perhubungan), Dr. Ir. Bambang
Setiadi (Ketua Dewan Riset Nasional), dan Dr. Ir. Nur Mahmudi Ismail, M.Sc.
(Mantan Walikota Depok).
Dr. Ir. Wendy
Aritenang, M.Sc. yang merintis karir di Departemen Perhubungan didaulat oleh
moderator untuk bercerita pertama kali tentang kesan-kesannya terhadap Profesor
BJ. Habibie. Aula Besar Museum Bank Mandiri siang itupun seketika bergairah, dibangkitkan
dengan beragam kenangan warisan inspiratif dari Profesor BJ. Habibie. Dr. Wendy
bercerita tentang pengembangan daerah industri pulau Batam sebagai salah satu hasil
pikiran brilian seorang Habibie, selain integrasi beragam industri strategis
nasional yang telah beliau rintis.
“Saat itu
beliau mendapatkan amanah dari Presiden untuk membangun Batam sebagai salah
satu pilar negara,” kata Dr. Wendy memulai ceritanya. “Idenya sederhana,
yaitu memanfaatkan selat yang berseberangan dengan Singapura. Kalau Singapura
saja bisa, kenapa kita tidak?”
Namun kata Dr.
Wendy, pergantian pemerintah telah membuat beberapa proyeksi industri yang
dirintis Habibie terhenti. Ini yang oleh sebagian orang dianggap gagal, padahal
yang terjadi memang belum selesai karena terpaksa dihentikan. Dr. Wendy semakin
menyayangkan kondisi demokrasi yang kini semakin dinamis sehingga berdampak negatif
bagi terhambatnya perencanaan jangka panjang pembangunan bangsa.
“Persoalannya
sekarang, proses lima tahunan demokrasi ini memiliki konsekuensi negatif
menjadi kendala dalam merancang rencana jangka panjang,” simpul Doktor yang
pernah menjadi Dirjen Perkeretaapian lalu menjadi Irjen Departemen Perhubungan
hingga menjadi Sekjend Departemen Perhubungan.
Tak kalah menarik
ketika Dr. Ir. Nur Mahmudi Ismail, M.Sc. dipersilakan melanjutkan cerita sebagai
pembicara kedua. Mantan Menteri Kehutanan di era Presiden Abdurrahman Wahid ini
memulai dari ingatannya di tahun 1984. Selesai S2 di Institut Pertanian Bogor
(IPB), ia sempat ditawari untuk bergabung dengan Profesor Habibie di Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Saat itu ia tidak langsung menerima
tawaran, karena terbayang olehnya bekerja di lingkungan birokrat yang serba
formal dan tidak bisa bebas.
Tapi ketika ia
keluhkan hal itu kepada Rektor, justru jawabannya bertolak belakang dengan yang
ia bayangkan. “Kalau
Anda ingin bebas, justru tempatnya di pak Habibie,” jawab Rektor singkat.
Nur Mahmudi saat itu masih belum paham.
Hingga Rektor pun menjelaskannya. “Karena itu adalah lembaga pengkajian atas
teknologi yang diperoleh. Maka kamu dituntut merencanakan sendiri, dan
mempertanggungjawabkan sendiri,” begitu ujar Rektor.
Rupanya benar, ketika Nur Mahmudi bergabung
dengan BPPT, tidak didapati seragam dinas dan upacara setiap hari. Hanya ada
upacara bulanan setiap tanggal 17 sebagai ajang inspeksi kerja semua bidang.
Sejak itulah Nur Mahmudi bergabung di jajaran yang langsung dibina oleh
Profesor Habibie.
“Pak Habibie itu yang pertama membawa
etos kerja lima hari atau 40 jam sepekan,” kenangnya kemudian. Maka
dimulailah budaya kerja efektif 5 hari di kota-kota besar, yang kini mulai
diadopsi hampir semua daerah di negeri ini.
Nur Mahmudi pun bercerita bagaimana cara
Habibie membangun budaya kerja yang efektif. “Beliau lebih mengutamakan
kinerja daripada absensi. Untuk mengapresiasi kinerja-kinerja itu, beliau pun
mengajukan tunjangan tambahan yang kemudian diatur oleh pemerintah dengan
adanya Tunjangan Selisih Penghasilan atau TSP.”
Nostalgia terhadap sosok BJ Habibie siang
itu dibuat oleh Nur Mahmudi begitu terbuka. Bahkan hal-hal pribadi sengaja
diungkap untuk membuat suasana forum itu cair tanpa batas. “Ada satu
kebiasaan yang sengaja saya lakukan ketika di BPPT. Yaitu saya mencoba
konsisten untuk memakai batik, hanya agar saya tidak perlu memasukkan baju,”
seloroh Nur Mahmudi yang disambut gelak tawa hadirin.
Tapi kemudian suasana kembali syahdu.
Ketika Nur Mahmudi bercerita tentang detik-detik kepemimpinan presiden BJ
Habibie. “Saat Reformasi, teman-teman membentuk partai politik dan saya
diminta memimpin Partai Keadilan (PK), lalu saya menjadi anggota dewan,”
kenangnya 18 tahun yang lalu. “Di sinilah kita melihat sosok negarawan
beliau, bahwa beliau mensikapi anak buahnya yang berbeda dalam pandangan
politik dengan sikap yang terbuka.”
Pelajaran lebih besar lagi adalah saat
pertanggungjawaban BJ Habibie selaku Presiden ditolah oleh Sidang Istimewa MPR. “Setelah
pertanggungjawaban pak Habibie ditolak, sebenarnya kami justru mendatangi
beliau untuk meminta beliau mencalonkan presiden. Tapi jawaban beliau itulah
yang menjadi pelajaran berharga bagi kita. Kata beliau, ‘Kalau pertanggungjawaban
ada isyarat tidak diterima, maka sebaiknya saya tidak mencalonkan.’ Dari situ
kami mengenal beliau sebagai sosok yang tulus memberi tanpa pernah memaksakan
kehendaknya,” tutup Nur Mahmudi yang disambut hening. Tak lama kemudian
ruangan itu pecah dengan tepuk gemuruh hadirin.
Ternyata semakin berlalu menit demi menit,
pembicaraan siang itu semakin hangat dan menarik. Dr. Ir. Bambang Setiadi
sengaja memilih giliran ketiga, karena ia ingin menggunakan slide untuk
membantu paparannya tentang sosok Profesor Habibie. Mantan Ketua Badan
Statistik Negara yang sekarang mengemban tugas sebagai Ketua Dewan Riset
Nasional itu telah menyiapkan slide berisi 10 inspirasi dari BJ Habibie.
“Di antara inspirasi dari pak Hibibie
kepada kami bawahannya adalah pesan beliau bahwa kita harus bekerja sembari
terus berdoa. Beliau punya etos kerja yang tinggi, namun juga memiliki modal
spiritual yang tidak kalah besarnya,” kata Doktor kedua di Indonesia yang
mendalami spesialisasi gambut dan telah membangun Pusat Riset Gambut Tropika di
Kalimantan Tengah. Di dunia saat ini, ada 20 doktor bidang gambut, dan beliau
salah satunya.
Kesuksesannya mendalami gambut juga tidak
lepas dari spirit yang ditanamkan oleh BJ Habibie. Di antara nasehat pak
Habibie yang masih ia kenang adalah tentang tanggungjawab professional. “Ilmuwan
itu bukan pekerjaan, tapi sikap,” begitu pesan Profesor Habibie. Maka
segenap anak didik beliau pun menggeluti keilmuan sebagai sikap hidup, bukan
semata pekerjaan bagi mereka.
Terkait penelitiannya tentang gambut,
dahulu banyak orang mencibirnya. Tapi satu hal yang didapat dari petuah pak
Habibie, “Jangan sentuh Sumber Daya Alam apapun, kalau kita belum menguasai
ilmu tentang sumber daya alam itu.” Oleh karenanya, Dr. Bambang memandang
bahwa gambut adalah bagian dari Sumber Daya Alam yang dimiliki Indonesia, yang
tidak mungkin kita sentuh kalau tidak memiliki ilmu tentangnya. Maka melakukan
penelitian tentang gambut menjadi keharusan untuk bisa mengoptimalkan sumber
daya alam yang satu ini. Melalui BPPT, Dr. Bambang memulai riset tentang gambut
ini pada tahun 1995 hingga berakhir tahun 2005.
Pernah suatu kali Dr. Bambang melakukan
protes kepada Presiden Soeharto melalui surat. Dr. Bambang melihat Presiden
Soeharto tidak memahami dalam pengelolaan sumber daya alam gambut. Sehingga
melalui suratnya ia ingin bisa beraudiensi dengan Presiden Soeharto. Ternyata
tidak lama Presiden Soeharto langsung merespon suratnya dan memintanya datang
ke Istana. Seketika Dr. Bambang merasa tidak nyaman, bukan karena tidak siap
bertemu Presiden, namun karena belum membicarakan hal protesnya kepada pak
Habibie selaku Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) di pemerintahan Presiden
Soeharto.
Akhirnya melalui sambungan telepon, Dr.
Bambang pun memberanikan diri menghubungi Profesor BJ. Habibie. Memohon izin bertemu Presiden.
Jawaban Profesor Habibie itulah yang membuat Dr. Bambang berkesimpulan bahwa
beliau memang seorang teknokrat yang mengayomi. Sama sekali tidak marah dan
merasa dilangkahi. Profesor Habibie bahkan menjawab dengan lembut
mempersilakan. “Silakan bertemu dan sampaikan salam saya,” begitu jawabannya.
Bekerja dengan BJ. Habibie, memang tidak
ada sekat. Tim dibangun dengan semangat egaliter. Dalam memandu tim kerja,
arahan Profesor Habibie sederhana saja; yaitu Fokus, segera Lakukan, tuntaskan
sampai Selesai, dan Laporkan hasilnya. Dalam perspektif Pembangunan Nasional,
prinsip pembangunan BJ Habibie adalah menyeimbangkan antara SDM, Riset, Industri,
dan Stabilitas Ekonomi. Jadi dimulai dengan membangun SDM, lalu menggiatkan
Riset, hingga sinergi dengan Industri dan terwujudnya Stabilitas Ekonomi. Bila
empat elemen itu terwujud, sebuah bangsa akan dapat mencapai kejayaannya.
Adapun hal yang tak kalah penting juga
menjadi perhatian BJ Habibie adalah terkait kerjasama internasional. Hal itu
selalu perlu dilakukan, sehingga bangsa ini bisa tampil di pentas dunia. Semua
falsafah kinerja BJ Habibie inilah yang diterapkan oleh Dr. Bambang hingga
sukses memimpin 130 negara dalam forum riset, menjadi tuan rumah untuk 16 event
internasional, dan sukses memimpin Badan Statistik Negara mencapai prestasi
Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). “Kuncinya
dari pak Habibie itu sederhana, yaitu sederhanakan model masalahnya. Maka akan
ketemu solusinya,” pesan Dr. Bambang mengutip yang sering disampaikan oleh BJ.
Habibie.
Setelah tiga pembicara itu selesai,
menambahkan dari jajaran bangku peserta seorang anak intelektual Habibie yang
terjun di dunia industri. Adalah Dr. Ade Suharsono, yang pada 2007 ditunjuk
sebagai Direktur Utama PT Pindad. Berbeda dengan tiga pembicara di panggung
yang semuanya berlatar belakang birokrasi, Dr. Ade Suharsono bercerita tentang
sosok Habibie dari sisi industri.
Bagaimana saat awal PT Dirgantara Indonesia
(PT DI) yang kemudian menjadi Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN)
dibangun pada tahun 1976, memang difungsikan untuk menata rencana strategis
pembangunan bangsa untuk jangka panjang. Saat itu BJ Habibie mengatakan kepada
Presiden, bahwa untuk mendukung industri strategis ini perlu 10 industri yang
tersinergikan.
Inilah terobosan yang dilakukan oleh BJ
Habibie. Yaitu agar anak bangsa ini dapat menguasai teknologi sehingga bisa
mengerjakannya sendiri. Sayangnya semangat itu kini mulai redup kembali. “Dahulu
kita punya program 200 PLTD (Pembangkit Listrik Tenaga Diesel) di Indonesia
Timur, sehingga mampu menghasilkan daya 200 MW. Dengan demikian, teknologi
dikuasai. Tapi sekarang balik lagi ke Cina,” kata Dr. Suharsono menyesalkan.
Dr. Suharsono juga menyampaikan bahwa BPPT dahulu
dibangun memang sebagai cleaning house technology. Sehingga semua proses
perkembangan teknologi dalam negeri dapat terpantau melalui BPPT, sehingga
mudah diintegrasikan.
Sayangnya industri yang telah dirintis oleh
Profesor Habibie itu harus hancur pasca Reformasi. “Di dunia ini ada tiga
negara yang industrinya pernah dihancurkan, yaitu Jerman, Jepang dan Indonesia,”
ujar Dr. Ade Suharsono.
Kendala signifikan bagi terwujudnya integrasi itu adalah ketika masing-masing bidang mulai dikuasai oleh ambisi pribadi dan
nafsu materi. “Kalau sudah berpikir komisi, susah substitusi,” pungkas Dr. Ade
Suharsono.
Namun demikian, saat ini anak-anak
intelektual BJ. Habibie masih aktif berkarya meskipun usia mereka semakin
menua. Hal ini karena keteladanan BJ. Habibie yang juga tidak pernah berhenti
di usia senjanya. Selain karena BJ. Habibie juga sering berpesan, “Jangan
berhenti berpikir, meskipun anda pensiun.”[AA]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar