Rabu, 24 Agustus 2016

KEUNIKAN DUA MASJID AGUNG DI KOTA LUBUKLINGGAU


Senin, 22 Agustus 2016 - Selepas dari Bengkulu, Solo Touring JPRMI langsung disambut dengan pesona alam dan jalanan berkelok milik Kota Lubuklinggau, Sumatera Selatan. Di Bumi Sebiduk Semare inilah Tim Touring JPRMI ‘Jelajah Masjid Sumatera’ mencapai titik 1000 KM pertama dalam perjalanan ‘red dotting Sumatera Island’. Ada yang menyita perhatian Tim Touring JPRMI di kota tua peninggalan Hindia-Belanda ini, yaitu keberadaan dua Masjid Agung di satu kota yang jarak keduanya hanya beberapa ratus meter. Nama kedua masjid itu adalah Masjid Agung Al Baari’ dan Masjid Agung As Salam.


Apa keunikan keduanya? Bagaimana sejarah keduanya? Kenapa bisa ada dua Masjid Agung di satu kota? Pertanyaan-pertanyaan itu menghampiri secara liar di benak Tim Touring JPRMI. Mungkin inilah satu sisi yang menarik untuk diulas dari sekian sisi keindahan kota yang sejak 17 Agustus 2001 resmi menjadi daerah otonom.

Secara keunikan arsitektur bangunan, kedua Masjid Agung itu memiliki perbedaan mencolok. Bila Masjid Agung Al Baari’ cenderung bernuansa nusantara dengan mengadopsi arsitektur Masjid Demak, maka Masjid Agung As Salam lebih bercorak kearaban dengan mengadopsi model Masjid Nabawi.

Adapun secara sejarahnya, kedua Masjid Agung itu memiliki perbedaan pada latar masanya. Masjid Agung Al Baari’ adalah masjid yang didirikan di era pemerintahan Hindia-Belanda pada tahun 1930 untuk menyambut penetapan daerah ini sebagai ibukota dari Onder Afdeeling Musi Ulu, dalam hal ini Masjid Agung merupakan salah satu dari fasilitas umum yang disiapkan bersamaan dengan Kantor Pos, Stasiun Kereta, Kantor Kesehatan, Kantor Sosial, Pasar, Kantor Telepon, Kantor Pekerjaan Umum, Rumah Obak dan lainnya. Sementara Masjid Agung As Salam adalah masjid yang didirikan di awal era Reformasi pada tahun 1998 untuk memenuhi kebutuhan daerah yang kemudian hari sekaligus memenuhi kebutuhan objek wisata ruhani yang dicanangkan di Kota Lubuklinggau, karenanya terletak di pusat kota dan desainnya dilengkapi dengan Kantor, Aula, Taman Kurma, Payung Elektrik, Air Mancur yang menari ketika adzan berkumandang, serta Menara kembar dengan lift kapsul layaknya fasilitas-fasilitas pada tempat wisata.

Maka bila disatukan antara latar arsitektur dan latar sejarahnya, dapat kita simpulkan bahwa Masjid Agung Al Baari’ merupakan masjid tertua sebagai objek wisata sejarah di Kota Lubuklinggau, sementara Masjid Agung As Salam merupakan masjid terbesar sebagai objek wisata modern di Kota Lubuklinggau. Baik wisata sejarah maupun wisata modern, keduanya merupakan objek wisata ruhani. Karena di antara konsep pembangunan Kota Lubuklinggau adalah memprioritaskan pembangunan tempat ibadah sebagai bagian membangun kualitas SDM yang dimilikinya. Secara komposisi penduduk di Kota Lubuklinggau memang menunjukkan persentase umat Islam sebesar 96,44% (2015), sementara umat Kristen dan Budha di urutan berikutnya dengan persentase masing-masing di bawah 2%.

Sebagai masjid yang mengambil konsep seperti Masjid Demak, maka konstruksi awal Masjid Agung Al Baari’ berbahan kayu. Mulanya hanya seluas 400 meter persegi, yang mampu menampung kurang lebih 110 orang. Namanya pun saat itu hanya disebut Masjid Agung. Baru kemudian setelah muncul Masjid Agung As Salam, masjid inipun ditambahi dengan nama Al Baari’ untuk memudahkan identifikasinya. Jadilah sekarang disebut Masjid Agung Al Baari’.

Sayangnya wujud Masjid Agung Al Baari’ yang sekarang kita dapati bukan lagi bangunan aslinya. Karena masjid ini pernah dua kali direnovasi; pertama pada tahun 1975 dan kedua pada tahun 1993. Kalau pada renovasi yang pertama hanya mengganti konstruksi kayu dengan beton, pada renovasi yang kedua justru dibongkar secara total sehingga hanya menyisakan Beduk dan Jam sebagai wujud aslinya. Tapi dengan renovasi yang kedua ini, Masjid Agung Al Baari’ kini bisa menampung hingga 2500 orang.

Sedangkan Masjid Agung As Salam yang mengambil konsep seperti Masjid Nabawi, selain nilai uniknya berupa taman kurma dan paying elektrik, masjid ini juga memiliki keunikan pada kubahnya. Yaitu dengan adanya penambahan enam kubah pasca renovasi terakhir. Sehingga total kubahnya sebanyak 7 buah. Hal itu berangkat dari filosofi tujuh langit, tujuh masa, dan tujuh surga.

Inilah sedikit warna indah yang tersimpan di Kota Lubuklinggau. Kota yang pernah menjadi ibukota provinsi Sumatera Bagian Selatan pada tahun 1947. Dan setahun kemudian (1948) dijadikan sebagai ibukota kabupaten Musi Ulu Rawas, selain juga ibukota Karesidenan Palembang. Maka tidak heran bila beberapa masa kita jumpai orang-orang yang berasal dari Kota Lubuklinggau mengenalkan diri sebagai orang Palembang, meskipun jarak kedua kota itu cukup jauh. Karena faktor karesidenan itulah.


__________ 

Tim Humas JPRMI, 24 Agustus 2016

2 komentar:

Lina W. Sasmita mengatakan...

Waaaah lagi touring ya. Unik dan menarik banget touring dari masjid ke masjid.

Irfan Azizi mengatakan...

Iya, teh... Jaringan Pemuda dan Remaja Masjid Indonesia, dlm rangka penyediaan aplikasi android AyokeMasjid