Dear Ayah dan Bunda,
Bila anakmu tersalah atau berbuat yang di luar engkau
perkenankan, maka silakan engkau tegur. Tapi ingatlah, Ayah dan Bunda!
Teguranmu itu sesungguhnya bagian dari ibadahmu.
Ingatlah selalu, bahwasannya kita menegur anak agar anak itu
berubah. Agar kesalahan yang semula dilakukannya dapat ditinggalkannya. Agar
perbuatan yang semula tak sesuai kehendak kita dapat diselaraskan dengan
kehendak kita. Sesungguhnya kita menegur bukan untuk memberikan hukuman,
melainkan untuk melakukan pembenahan. Bilapun ada sanksi yang kita berikan,
maka itu hanyalah salah satu sarana menuju proses perbaikan.
Sehingga jangan sampai kita lebih antusias memberikan
hukuman, dan luput dari fokus utama melakukan perubahan. Akhirnya anak-anak kita
hanya menerima kemarahan kita, tanpa pernah berubah. Alih-alih menerima teguran
kita dan berbenah, anak justru merasa terintimidasi dan memupuk dendam kepada
kita.
Berapa banyak orang tua yang amarahnya meledak-ledak saat anak
melakukan kesalahan, namun tak satupun patah kata bimbingan yang keluar dari
lisannya. Anak menjadi bingung, bagaimana ia harus bersikap. Bahkan anak
seakan-akan hanya menjadi objek, tanpa ruang untuk benar-benar menjadi subjek
dalam kehidupannya.
Hadir menegur dengan orientasi perubahan ini memang
membutuhkan kejujuran yang sejujurnya. Yaitu kejujuran yang lahir dari hati,
bahwa niat kita haruslah ikhlas karena Allah semata. Bahwa kita menegur anak
dari kesalahannya itu karena penunaian amanah Allah atas titipan anak kepada
kita. Bahwa yang kita kehendaki ada pada anak kita sesungguhnya merupakan
kehendak Allah kepadanya, bukan semata kehendak yang lahir dari hawa nafsu kita
sebagai orang tua. Jadi, posisi orang tua hanyalah perantara bagi
kehendak-kehendak Allah. Yang kita bimbingkan kepada anak adalah yang Allah
bimbingkan kepada kita.
Bila kita jujur dengan hal yang demikian, maka tidak
akan ada kemarahan yang menyakitkan bagi anak-anak kita. Maka tidak akan ada
pula perasaan digdaya kita semata-mata sebagai orang tua, dan penguasaan secara
intimidatif kepada anak yang berada dalam penguasaan kita. Orang tua yang jujur
membenahi anaknya adalah orang tua yang ikhlas semata-mata membimbing untuk
tertanamkannya nilai-nilai dari Allah pada diri anak-anaknya.
Keikhlasan ini adalah proses yang tidak berkesudahan.
Kita harus terus mengoreksi niatan kita. Kita harus selalu merasa waswas
terselewengkannya niatan kita. Masihkah ingat, wahai Ayah Bunda? Bagaimana
Rasulullah sungguh-sungguh berpesan kepada Abu Hurairah, sampai-sampai
Rasulullah menepuk kedua lutut Abu Hurairah. Selepas bercerita bahwa ada tiga
kelompok yang awal-awal dihisab namun amalnya tertolak. Yaitu Hafidzul Qur’an,
Syahid fii sabilillah, dan Kaya yang dermawan. Ketiganya dikatakan berdusta.
Berdusta!
Bahkan ketika Abu Hurairah diminta menceritakan hal
ini oleh Syufay al Ashbahi, beliau terhenti tiga kali dan tergugu mencucurkan
air mata. Tak kuasa. Bagaimana seorang yang dipandang baik selama hidupnya,
ternyata didustakan di hari penghisaban. Tapi begitulah yang dijelaskan
Rasulullah; bahwa yang menghafal al Qur’an hanya ingin disebut alim oleh
masyarakatnya, bahwa yang syahid berjihad hanya ingin disebut pemberani oleh
orang-orang yang ditinggalkannya, dan bahwa yang kaya hanya ingin disebut
dermawan oleh khalayak sekitarnya.
Kejujuran niat ini penting, karena inilah yang mampu
melembutkan hati-hati dalam penguasaan-Nya. Kejujuran niat pula yang akan
mengantarkan cahaya-Nya ke setiap objek yang dituju. Kemudahan dan keberkahan
lahir dari kejujuran niat ini.
Maka, Ayah dan Bunda… Jujurlah niatmu tetap dalam
keikhlasan kepada-Nya saat menegur anak-anakmu. Bahwa engkau menegur
anak-anakmu tak hendak ingin disebut sebagai orang tua yang tegas. Bahwa engkau
menegur anak-anakmu dan membenahinya tak hendak ingin disebut sebagai orang tua
yang berhasil mendidik anak. Bahwa engkau ingin anak-anakmu berubah menjadi
baik, bukan karena ingin membanggakan di kemudian hari bahwa itu semua
karenamu.
Begitupun jangan terlalu fokus pada pembenahan anak,
tapi luput menata sanubari hati anak kita. Jangan sampai kelak mereka menjadi
pandai dan penghafal al Qur’an, karena ingin mendapat penghormatan dari
keluarganya. Jangan sampai kelak mereka berani melakukan apapun, karena ingin
disegani orang-orang sekitarnya. Jangan sampai kelak mereka termotivasi menjadi
pengusaha dan ingin menyedekahkan hartanya, karena melihat begitu kagumnya
khalayak masyarakat memandang sosok-sosok dermawan yang tampil di media-media
maupun seminar-seminar.
Sungguh, bukan untuk itu kita menegur dan membenahi
anak-anak kita. Bukan untuk itu pula kita ingin anak-anak kita berubah. Sebab
bila itu yang dituju, kelak tak akan dapat kita banggakan di hadapan Allah dan
para malaikat-Nya.
Wahai Ayah dan Bunda… Mari kembali menata niat kita.
Mungkin anak sulit berubah karena niat kita belum benar. Namun bilapun kita
telah berniat ikhlas dan anak tetap tidak berubah, maka jangan pernah hilang
kesadaran kita bahwa Allah pemilik hati-hati anak kita. Tetaplah berharap pada
Allah semata.
Bila ini yang kita lakukan, sesungguhnya inilah bagian
dari ibadah. Semua teguran kita kepada anak, semata-mata sebentuk pengabdian
kita pada kesetiaan syariat-Nya. Semua teguran kita merupakan bagian dari amar
ma’ruf nahi munkar. Dalam beribadah, hanya ada khusyu’ dan khidmat. Tak ada
celah bagi amarah dan ketergesaan dalam ibadah. Semoga kita mampu ya, Ayah dan
Bunda!
Depok _ 4
Agustus 2016
Yang pernah menjadi anak,
Muhammad Irfan Abdul Aziz
Tidak ada komentar:
Posting Komentar