Kamis, 04 Agustus 2016

AYAH DAN BUNDA… TEGURANMU ITU BAGIAN DARI IBADAHMU


Dear Ayah dan Bunda,

Bila anakmu tersalah atau berbuat yang di luar engkau perkenankan, maka silakan engkau tegur. Tapi ingatlah, Ayah dan Bunda! Teguranmu itu sesungguhnya bagian dari ibadahmu.

Ingatlah selalu, bahwasannya kita menegur anak agar anak itu berubah. Agar kesalahan yang semula dilakukannya dapat ditinggalkannya. Agar perbuatan yang semula tak sesuai kehendak kita dapat diselaraskan dengan kehendak kita. Sesungguhnya kita menegur bukan untuk memberikan hukuman, melainkan untuk melakukan pembenahan. Bilapun ada sanksi yang kita berikan, maka itu hanyalah salah satu sarana menuju proses perbaikan.

Sehingga jangan sampai kita lebih antusias memberikan hukuman, dan luput dari fokus utama melakukan perubahan. Akhirnya anak-anak kita hanya menerima kemarahan kita, tanpa pernah berubah. Alih-alih menerima teguran kita dan berbenah, anak justru merasa terintimidasi dan memupuk dendam kepada kita.

Berapa banyak orang tua yang amarahnya meledak-ledak saat anak melakukan kesalahan, namun tak satupun patah kata bimbingan yang keluar dari lisannya. Anak menjadi bingung, bagaimana ia harus bersikap. Bahkan anak seakan-akan hanya menjadi objek, tanpa ruang untuk benar-benar menjadi subjek dalam kehidupannya.

Hadir menegur dengan orientasi perubahan ini memang membutuhkan kejujuran yang sejujurnya. Yaitu kejujuran yang lahir dari hati, bahwa niat kita haruslah ikhlas karena Allah semata. Bahwa kita menegur anak dari kesalahannya itu karena penunaian amanah Allah atas titipan anak kepada kita. Bahwa yang kita kehendaki ada pada anak kita sesungguhnya merupakan kehendak Allah kepadanya, bukan semata kehendak yang lahir dari hawa nafsu kita sebagai orang tua. Jadi, posisi orang tua hanyalah perantara bagi kehendak-kehendak Allah. Yang kita bimbingkan kepada anak adalah yang Allah bimbingkan kepada kita.

Bila kita jujur dengan hal yang demikian, maka tidak akan ada kemarahan yang menyakitkan bagi anak-anak kita. Maka tidak akan ada pula perasaan digdaya kita semata-mata sebagai orang tua, dan penguasaan secara intimidatif kepada anak yang berada dalam penguasaan kita. Orang tua yang jujur membenahi anaknya adalah orang tua yang ikhlas semata-mata membimbing untuk tertanamkannya nilai-nilai dari Allah pada diri anak-anaknya.

Keikhlasan ini adalah proses yang tidak berkesudahan. Kita harus terus mengoreksi niatan kita. Kita harus selalu merasa waswas terselewengkannya niatan kita. Masihkah ingat, wahai Ayah Bunda? Bagaimana Rasulullah sungguh-sungguh berpesan kepada Abu Hurairah, sampai-sampai Rasulullah menepuk kedua lutut Abu Hurairah. Selepas bercerita bahwa ada tiga kelompok yang awal-awal dihisab namun amalnya tertolak. Yaitu Hafidzul Qur’an, Syahid fii sabilillah, dan Kaya yang dermawan. Ketiganya dikatakan berdusta. Berdusta!

Bahkan ketika Abu Hurairah diminta menceritakan hal ini oleh Syufay al Ashbahi, beliau terhenti tiga kali dan tergugu mencucurkan air mata. Tak kuasa. Bagaimana seorang yang dipandang baik selama hidupnya, ternyata didustakan di hari penghisaban. Tapi begitulah yang dijelaskan Rasulullah; bahwa yang menghafal al Qur’an hanya ingin disebut alim oleh masyarakatnya, bahwa yang syahid berjihad hanya ingin disebut pemberani oleh orang-orang yang ditinggalkannya, dan bahwa yang kaya hanya ingin disebut dermawan oleh khalayak sekitarnya.

Kejujuran niat ini penting, karena inilah yang mampu melembutkan hati-hati dalam penguasaan-Nya. Kejujuran niat pula yang akan mengantarkan cahaya-Nya ke setiap objek yang dituju. Kemudahan dan keberkahan lahir dari kejujuran niat ini.

Maka, Ayah dan Bunda… Jujurlah niatmu tetap dalam keikhlasan kepada-Nya saat menegur anak-anakmu. Bahwa engkau menegur anak-anakmu tak hendak ingin disebut sebagai orang tua yang tegas. Bahwa engkau menegur anak-anakmu dan membenahinya tak hendak ingin disebut sebagai orang tua yang berhasil mendidik anak. Bahwa engkau ingin anak-anakmu berubah menjadi baik, bukan karena ingin membanggakan di kemudian hari bahwa itu semua karenamu.

Begitupun jangan terlalu fokus pada pembenahan anak, tapi luput menata sanubari hati anak kita. Jangan sampai kelak mereka menjadi pandai dan penghafal al Qur’an, karena ingin mendapat penghormatan dari keluarganya. Jangan sampai kelak mereka berani melakukan apapun, karena ingin disegani orang-orang sekitarnya. Jangan sampai kelak mereka termotivasi menjadi pengusaha dan ingin menyedekahkan hartanya, karena melihat begitu kagumnya khalayak masyarakat memandang sosok-sosok dermawan yang tampil di media-media maupun seminar-seminar.

Sungguh, bukan untuk itu kita menegur dan membenahi anak-anak kita. Bukan untuk itu pula kita ingin anak-anak kita berubah. Sebab bila itu yang dituju, kelak tak akan dapat kita banggakan di hadapan Allah dan para malaikat-Nya.

Wahai Ayah dan Bunda… Mari kembali menata niat kita. Mungkin anak sulit berubah karena niat kita belum benar. Namun bilapun kita telah berniat ikhlas dan anak tetap tidak berubah, maka jangan pernah hilang kesadaran kita bahwa Allah pemilik hati-hati anak kita. Tetaplah berharap pada Allah semata.

Bila ini yang kita lakukan, sesungguhnya inilah bagian dari ibadah. Semua teguran kita kepada anak, semata-mata sebentuk pengabdian kita pada kesetiaan syariat-Nya. Semua teguran kita merupakan bagian dari amar ma’ruf nahi munkar. Dalam beribadah, hanya ada khusyu’ dan khidmat. Tak ada celah bagi amarah dan ketergesaan dalam ibadah. Semoga kita mampu ya, Ayah dan Bunda!



Depok _ 4 Agustus 2016

Yang pernah menjadi anak,

Muhammad Irfan Abdul Aziz

Tidak ada komentar: