Dear Ayah dan Bunda,
Pandanglah anakmu sejak lahir sebagai manusia yang mungkin salah. Bahkan
bilapun kesalahan itu telah terkoreksi, tetap pandanglah bahwa kesalahan itu
mungkin saja terulang. Ya, terulang. Bukan diulang. Terulang tanpa sengaja, dan
bukan diulang dengan sengaja. Mungkin saja itu terjadi. Selalulah pandang
demikian.
Bahkan jikalau diulang dengan sengaja, sesungguhnya kemungkinan itu juga
ada saja. Sisakan saja seruang kemungkinan itu. Jangan takut, sebab itulah hakikat
dinamika kehidupan. Ada kebaikan, ada keburukan. Ada kebenaran, ada kesalahan.
Ada keinsafan, ada kekhilafan. Ada ketaatan, ada keinkaran. Semua itu mungkin,
sekehendak hatinya; pada kutub mana kecenderungannya. Dalam hal inilah
pentingnya adaptasi lingkungan yang kondusif bagi tumbuhnya kebaikan,
kebenaran, keinsafan, dan ketaatan. Agar potensi-potensi keburukan, kesalahan,
kekhilafan, dan keinkaran dapat diminimalisir sekecil dan sesempit mungkin
peluang tumbuh dan geraknya.
Akan tetapi, satu hal yang perlu kita perhatikan, wahai Ayah dan Bunda.
Kejujuran. Ya, kejujuran!
Bahwa apapun yang terjadi dan dilakukan oleh anak kita, pastikan tidak
hilang kejujuran darinya. Bahwa seberapapun besarannya keburukan, kesalahan,
kekhilafan, maupun keinkaran yang dilakukan oleh anak kita, pastikan tidak
menghilangkan nilai-nilai kejujuran darinya. Inilah pentingnya kita memandang
dan bersikap wajar terhadap kesalahan anak kita. Sebab sikap wajar tidak akan
melenyapkan kejujuran.
Bahwa kebohongan itu muncul ketika adanya tekanan, baik itu keterdesakan
maupun ketersudutan. Tetapi bila semuanya hadir sewajar pemakluman, maka
kejujuran akan dapat bertahan di situ. Sehingga yang paling utama perlu kita pastikan
adalah tiadanya kemarahan yang berlebih terhadap kesalahan. Biarkan anak-anak
kita jujur atas kesalahan yang telah ia lakukan. Tetaplah hargai kejujuran itu,
dan jangan tergesa-gesa beralih pada sanksi atas kesalahannya.
Ingat! Bila fokus kita mengubah kesalahan, maka apa artinya sanksi? Toh,
sanksi bisa ditiadakan, bila kesalahan itu telah dapat diubah tanpanya. Toh,
sanksi fungsinya hanya sebagai sarana menuju perubahan, maka ia bisa ada dan
tiada. Sebagaimana hukum sarana pada umumnya, keberadaannya menyesuaikan ruang
dan waktu. Terkadang dibutuhkan, terkadang ditinggalkan. Sebab bukan itu
tujuannya, bukan itu substansinya.
Kembali kepada kejujuran. Apa pentingnya kita menjaga kejujuran agar
tetap ada dalam diri anak-anak kita? Hal ini yang perlu kita pahami dan hayati dengan
baik. Yang paling mendasar adalah bila kejujuran tiada maka akan hilang pula
jiwa penyesalan dalam diri anak kita. Padahal penyesalan adalah salah satu
syarat pertaubatan. Maka bagaimana seorang anak akan bertaubat atas
kesalahannya dan tidak akan mengulanginya lagi bila tidak ada penyesalan pada
dirinya?
Sungguh penting menjaga penyesalan agar tetap bersemayam dalam jiwa anak
kita. Dan untuk itu kita perlu menjaga nilai-nilai kejujuran agar tetap ada
dalam dirinya. Sebab inilah kunci menuju pertaubatan.
Maka dahulu begitu sumringahnya seorang anak muda yang hendak memeluk
Islam namun berat baginya meninggalkan beberapa hal yang dilarang oleh Islam. Tanyanya
pun beruntut kepada Rasulullah. Apakah seorang muslim mungkin mencuri? Apakah
seorang muslim mungkin minum khamr? Apakah seorang muslim mungkin berzina? Dan
semua dijawab oleh Rasulullah dengan jawaban singkat, “Ya.”
Bergembiralah anak muda itu dan berkenan masuk Islam. Saat hendak pergi,
Rasulullah menegurnya pelan. “Tapi satu hal yang tidak mungkin dilakukan oleh
seorang Muslim,” kata Rasulullah. “Apa itu wahai Rasulullah?” rasa penasaran
segera menggelayut ubun-ubun anak muda itu. “Berbohong!” tegas Rasulullah
singkat.
Sejak itu, sang anak muda pun paham bahwa satu larangan itu ternyata
membuat ia tak mungkin melakukan larangan-larangan lainnya. Bagaimana mungkin
ia mencuri, mabuk ataupun berzina, bila kemudian harus jujur mengakuinya?
Itulah kejujuran, kepalanya kebaikan. Sebab kebohongan adalah kepalanya
dosa-dosa.
Begitulah kejujuran merupakan nilai utama yang harus ada dalam setiap
jiwa anak-anak muslim. Tidak ada keimanan tanpa kejujuran. Dan kejujuran itulah
yang menjadi kunci utama setiap jeda pertaubatan. Bahwa sepanjang hayat sangat
mungkin ada kesalahan-kesalahan yang terlakukan, dan di sepanjang itu pula
tersebar pemberhentian-pemberhentian taubat. Jujurlah yang menjadi kunci setiap
pemberhentian itu.
Memang demikian, yang terpenting dari sebuah kesalahan adalah
terantarkannya ke arah pintu taubat. Dahulu Rasulullah berpesan kepada para
sahabat sebagaimana diriwayatkan oleh at Tirmidzi dan Ibnu Majah, “Setiap
anak Adam bersalah dan sebaik-baik orang yang bersalah ialah mereka yang
bertaubat.”
Oleh karena itu, wahai Ayah dan Bunda! Selalulah mampu bersikap wajar
terhadap setiap kesalahan anak-anak kita. Kita berharap dengannya mampu menjaga
nilai kejujuran yang terkandung dalam jiwanya. Kita pun berharap dengannya
dapat mengantarkan anak kita menemui pintu-pintu pertaubatan di setiap
kesalahan yang dilakukannya.
Sebab jangan pernah menjadikan diri kita sebagai faktor utama pertaubatan
anak kita. Biarkan anak kita memiliki faktor utamanya sendiri bagi pertaubatannya
di setiap kesalahan. Biarkan ia memiliki daya imun pribadi terhadap segala
peluang kesalahan dan dosa. Karena usia Ayah dan Bunda sangatlah terbatas.
Sedang anak-anak kita memiliki usianya sendiri.
Jangan sampai ia berpaling dari kebaikan dan kebenaran setelah tiadanya
Ayah dan Bunda. Jangan sampai ia tak lagi memiliki keinsafan dan ketaatan
setelah tiadanya Ayah dan Bunda. Titipkanlah kebaikan anak-anak kita pada
kejujurannya sendiri. Dan kejujuran yang sejati adalah kejujuran pada dirinya
sendiri. Semua itu kita awali dengan sikap wajar, sewajar kesalahan yang
mungkin berujung pada pertaubatan.
Depok _ 5 Agustus 2016
Yang pernah menjadi anak,
Muhammad Irfan Abdul Aziz
Tidak ada komentar:
Posting Komentar