Kamis, 16 Juni 2016

MENULIS : Dari MINAT Lalu HOBI Hingga BAKAT


-I-
Pengenalan Tulisan (Sastra)

Pena. Ia adalah sarana. Saya menggunakannya untuk dua aspek; diri sendiri dan orang lain. Bagi diri sendiri, sarana ini berfungsi untuk menata keilmuan yang telah kita kumpulkan. Bagi orang lain, sarana ini berfungsi untuk menyalurkan keilmuan, baik dalam rangka sosialisasi maupun memberikan batas capaian atas ilmu agar dapat dilanjutkan oleh pihak lain. Inilah urgensi pena.


Tulisan. Itulah titik mula sejarah. Sebab sejarah adalah yang tertulis. Maka zaman sejarah adalah zaman tulisan. Pena tadilah yang digunakan untuk merangkai tulisan. Maka menulis artinya menyejarahkan segala hal yang kita kehendaki. Inilah urgensi tulisan.

Perangkat Otak. Tulisan itulah perangkat otaknya atau yang disebut dengan Brain Ware. Pada era digital, kita jauh lebih membutuhkan perangkat ini. Seiring perkembangan media, maka semakin tinggi kebutuhan pada konten. Perangkat otak inilah kontennya; berupa ide dan narasi. Inilah urgensi perangkat otak.

Sastra. Saya cukup tertarik dengan ungkapannya Muhammad Iqbal. “Penyair mampu memuatkan ketak-terbatasan dalam satu baris,” katanya. Menarik! Sebab ide itu sangatlah banyak. Narasi lebih-lebih sering kali berpanjang kalam. Maka bagaimana menghimpun beragam ide dan berpanjang narasi itu dalam nash yang ringkas, itulah seninya sastra. Dengan demikian, inilah urgensi sastra.


-II-
Minat

Dunia kita adalah dunia tinta ulama dan darah syuhada. Hanya itu pilihannya, maka bila tidak yang satunya seharusnya yang satunya lagi. Bila tidak dua-duanya, maka tiada makna bagi dunia kita. Oleh karenanya, menulis merupakan pilihan salah satu darinya; yaitu Tinta Ulama.

Mutlak bagi penulis menjadi seorang alim. Sebab tulisan sejatinya merupakan perangkat otak, maka ranahnya memang kerja otak. Toh bila kita fungsikan pena sebagai alat penata keilmuan kita, maka bila tiada ilmu apa yang akan ditata? Toh bila kita fungsikan pena sebagai alat penyalur keilmuan, maka bila tiada ilmu apa yang akan disalurkan?

Segala proses awal, tentu memunculkan minat. Dan kita akan berminat pada sesuatu karena telah memahami urgensi sesuatu tersebut. Sebagaimana kita telah memahami urgensi pena dan tulisan, maka seharusnya mulai tumbuh dalam diri kita minat menulis.

Tapi dari minat ini yang ingin dicapai tidak mesti kemampuan menulis, cukup mengenali pola menulis. Sebab yang disebut tinta ulama tidak mesti kecakapan menulis, karena banyak pula ulama yang kecakapan lisannya tak sebanding dengan kecakapan tulisannya. Maka yang terpenting adalah mengenali pola menulis. Ini seperti membaca, yang penekanannya pada memahami pola membaca. Sebab perintah Iqra’ tidak hanya pada ranah teks, namun juga konteks. Begitupun menulis, tidak selalu teks namun juga konteks. Ingat! Ini hanyalah sarana untuk menata keilmuan kita dan menyalurkan keilmuan kepada orang lain. Sebagai sarana ia bisa berubah-ubah bentuknya, namun yang pasti pola kerjanya tetap sama.


-III-
Hobi

Setelah kita memiliki minat, maka kita mulai memiliki kecenderungan. Inilah yang menggerakkan diri kita untuk menggeluti minat tersebut secara ajeg berkala. Bila ini yang terjadi, maka inilah hobi. Kita telah memiliki hobi.

Tapi, ingat! Jangan berpikir parsial. Sebab menulis tidak akan pernah menjadi seakan hobi kalau kita masih berpikir parsial. Yaitu menganggap menulis sebagai bidang kehidupan sendiri, mempersempit makna aslinya sebagai sarana yang luas menjangkau apa saja. Sebagaimana firman-Nya, “Yang mengajarkan dengan pena.” Itulah penetapan pena sebagai sarana, bukan bidang kehidupan tersendiri.

Maka seharusnya, kita pun hanya menjadikan menulis sebagai sarana. Untuk internalisasi bidang gelutan kita, dan untuk aktualisasi bidang gelutan kita. Misalkan bidang kita adalah teknik, maka menulis kita adalah sarana internalisasi pemahaman kita akan bidang teknik dan aktualisasi pemahaman kita akan bidang teknik tersebut. Kita menulis teknik, terus dan terus. Itu artinya hobi kita teknik, adapun menulis hanyalah sarananya.

Sehingga tidak tepat kalau kita mengatakan seseorang hobinya menulis. Sebab hobinya tetaplah bidang yang ia selami, sedangkan tulisan hanyalah sarana untuk bidang yang ia hobi padanya. Dengan demikian, tidak dapat pula kita benturkan dengan mengatakan, “Hobi saya bukan menulis.” Loh, menulis memang bukan hobi. Menulis hanyalah sarana. Namun sarana ini memiliki urgensitas yang tinggi sebagaimana telah kita paparkan. Karenanya hendaknya kita gunakan sarana ini.


-IV-
Bakat

Bakat sebagaimana telah dimaklumi merupakan hasil latihan berulang-ulang. Dalam hal sarana menulis, kita akan berbakat dengannya bila sering menggunakan sarana ini berulang-ulang. Begitulah hukum alamnya. Camkan dalam diri, kita bukan yang terbaik namun kita yang terlatih. Dan yang disebut latihan adalah proses berkesinambungan.

Karenanya tidak ada standar bakat. Yang selama ini disebut memiliki bakat menulis sesungguhnya hanya soal nasib pasar. Sebab bakat bukan hasil, ia adalah proses. Siapapun yang berlatih, maka akan berbakat. Dengan gaya apapun yang dimilikinya, itulah bakatnya dari hasil latihannya.


-V-
Epilog

Setelah kita memiliki bakat karena terus berlatih, maka sesungguhnya kita telah mengemban peran penting dalam kancah kehidupan. Menulis bagi perspektif Muslim tetaplah sarana bagi dua tujuan hidupnya; Ibadah dan Khilafah.

Kita beribadah membutuhkan ilmu, dan ilmu itu diikat dengan menuliskannya. Maka semakin banyak menulis, semakin banyak pula ilmu yang kita ikat. Itu artinya semakin berdayanya ibadah kita.

Kita menunaikan peran khilafah membutuhkan perbendaharaan yang terus tumbuh. Dan menulis berguna memperkaya perbendaharaan umat Islam. Semakin banyak yang umat tulis, semakin banyak perbendaharaan yang dimiliki umat Islam. Ingat, tulisan adalah sejarah. Dan perbendaharaan utama suatu peradaban adalah sejarahnya.

Seperti Baghdad tempo hari, tiba-tiba runtuh saat perpustakaannya hancur. Itulah hangusnya perbendaharaan yang mengakibatkan keterpurukan strata sosial. Semakin sedikit tulisan, semakin terpuruk dalam kemiskinan.



Persembahan untuk rekan-rekan di Persatuan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia (PPMI) Pakistan

Muhammad Irfan Abdul Aziz, Indonesia – 16 Juni 2016

Tidak ada komentar: